[01] MARTHA

204 43 109
                                    

Dalam satu jam lebih tiga puluh menit, sudah enam perawat masuk ke salah satu kamar inap mewah rumah sakit, hanya untuk menegur seorang pasien dan penjenguk pasien supaya mereka dapat mengondisikan suara tawa yang amat keras hingga menggema ke sepanjang koridor rumah sakit divisi penyakit dalam.

"Nona May, sudah kuperingatkan bukan. Jangan terlalu keras!" suster berseragam merah jambu masuk untuk memberi obat siang, memperingatkan sekali lagi. "Ke tujuh!" jawab May dengan santainya diiringi tawa kecil dari teman-temannya.

"Suster tau tokek? Mereka kalau bersuara tujuh kali filosofinya horor lho. Ini sudah tujuh kali suster-suster kasih saya peringatan. Hiiiy!"

May sukses mengubah warna wajah suster gemuk itu. Ketiga temannya tertawa. Seketika diam ketika suster gemuk ganti melihat mereka. "Sudah jam tiga lewat, kalian juga harus pulang bukan? Kalian tidak perlu setiap hari ke sini," kata suster itu lalu pergi menuju pintu dan menghilang. Mereka melanjutkan tawa mereka termasuk May.

"Kelewatan lo sama orang tua," ujar laki-laki yang kembali menggeret kursi lipat ke samping ranjang May dan duduk disitu. "Tapi bener juga kata suster 'ndut itu. Udah jam tiga. Pulang yoh, Adek udah ngantuk tuh," Tunjuknya pada gadis yang serupa dengannya-sedari tadi duduk di sofa panjang dengan tangan yang menopang kepalanya.

"Eh, tunggu dulu," Aya-gadis berkacamata mengeluarkan beberapa catatan dari backpacknya. "Lo udah seminggu nggak masuk, kan. Kemarin gue sengaja nggak bawain catetan. Sekalian aja hari ini. Lusa lo udah keluar kan, nih," Aya menyodorkan buku-buku itu. "Tega banget sih lo, Nek. Bunda mana?" tanya May.

"Lo kayak nggak tau Ferry aja. Anak rumahan mana boleh pulang telat," Jawab Aya dengan santai. "Lo nyindir gua?" sahut laki-laki di samping May. "Badai, lo 'tuh bukan anak rumahan tapi anak ayam. Kemana-mana lo ngikutin adek lo. 'kek ayam ngikutin induknya kemana aja," Balas Aya.

"Emang elo, Nek? Anak jalanan? Hobinya nari-nari nggak jelas di jalanan," Sahut May. Dia sedang mengambil gambar tiap halaman catatan yang disodorkan Aya tadi. Tingkahnya itu membuat Aya geli ditambah olokannya tadi. Apa? Anak jalanan? "Lo kata gue anak jalanan!? Gue nggak nari di jalanan tau!" jari-jari Aya menggelitik pinggang May.

May terkekeh geli. Dua saudara kembar mengamati mereka dengan tidak sabar. Pemandangan ini sudah terlalu biasa bagi kakak beradik itu. Tapi kembaran Badai sudah berdiri di sampingnya dan menjawil lengannya, "Abang?"

Badai menoleh, dilihatnya mata belo kembarannya itu terbuka separo-benar-benar sudah mengantuk karena lembur semalaman mengerjakan tugas. "Hah, udah yoh, pulang. Nek Aya tinggal aja," Badai merangkul pundak adiknya dan dibalas tangan adiknya yang dilingkarkan ke pinggangnya.

"Eh, duo badai! Bawa dulu nih nenek-nenek," Ucap May yang melindungi pinggangnya dari jari-jari nakal Aya. Aya menghentikan aktivitasnya, "Iya nih, masa nenek ditinggal, Cu?" Aya menghentikan aktivitasnya dan memasukkan beberapa catatan yang tadi dikeluarkannya ke dalam backpacknya. "Ulu-ulu... kebanyakan duit aja sampe ngamar gegara maag," ucap Aya sambil memeluk May.

"Balik dulu ya, cepet sembuh okey. Catetannya 'jan lupa dipelajari. Oh ya, nanti Bebi kirim lo jawaban dari tugas matematika, gue kirim yang bahasa inggris, entar Ferry juga bantu kirim soal ulangan harian biologi buat lusa. Dan sebagai gantinya lo harus kerjain soal ulangan fisika! Entar si--kece--badai kirim soalnya dari anak IPA 4."

"Bokap gue yang banyak duit," balasnya dengan jutek. "Tenang aja. Dalam semalam gue langsung kembali pulih. Sehat wal'afiat. By the way, thanks a lot, kalian koneksi gue yang paling '4G'," katanya kembali riang dan mengangkat tanganya seperti memperagakan atlet binaraga yang memamerkan otot lengannya.

"Oh iya, Bebi, entar sebangku sama gue lagi, ya?" tambanya sambil menaik turunkan alisnya kepada kembarannya Badai.

"Eh, jangan mau, Dek. Ngapain lo berlagak kayak gitu. Nggak kayak binaraga tau. Tapi binarangka. Tu liat lo udah kurusan gara-gara infus," ledek laki-laki bermarga Badai itu. Gadis gemuk itu mengankat vas yang berisikan bunga mawar palsu di meja sebelah ranjangnya itu ke arah laki-laki itu sambil mengerutu.

"Iye-iye. Kite-kite pamit pulang dulu ye, Non," mereka berempat pamit melambaikan tangannya dengan senyuman dan dibalas senyuman olehnya. Pintunya tertutup.

May menghela napasnya tanda tak puas. Ruangan besar mewah itu kembali sepi. Dia kembali memposisikan tubuhnya tidur di ranjang. Menyalakan TV LED yang tertempel di dinding lalu mematikan lagi. Menatap pintu seolah menunggu kehadiran seseorang lalu memalingkan wajahnya dari pintu dan mengambil ponselnya sambil memiringkan badan. Dia mencoba mencari hiburan di dalamnya, tapi sepertinya tidak ada yang menarik. Dibukanya kolom pesan, tidak ada apa-apa. Bosan. Itu yang gadis itu rasakan.



GRADASI : Bukan Kisahku! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang