Dua (fin)

274 5 0
                                    

25 tahun lalu

Segores noda kecil yang terlupakan

Waktu menguar bagai uap secangkir teh hangat.

Rasanya mengerikan: dunia ini ternyata dipenuhi konspirasi yang tidak dipahami anak yang hampir genap dua belas tahun.

Lima belas musim kemarau telah berlalu sejak hari yang membahagiakan itu. Awalnya finansial keluargamu memang membaik, namun itu ternyata bukan akhir dari penantian panjang Ayah. Ada satu, bahkan banyak, problematika lain yang lebih besar---problematika sosial yang menjadi akar penantian itu, di mana semuanya bertumpuk dan bercokol menjadi sebongkah beban di bahu Ayah. Apalagi setelah partai menunjuk Ayah untuk maju ke ke pemilihan DPRD Provinsi.

Tapi itu bukan masalah. Ayah adalah pekerja keras yang amanah, a man of his words, begitu istilah yang dipakai orang-orang barat.

Hanya saja masalahnya...

...tidak semua orang di lingkungan kerja Ayah yang berpikiran sama. Sebagai jiwa yang telah hidup selama dua puluh tahun lamanya di dunia, kau bisa menebaknya lewat kerutan di dahi Ayah, makin jelas dari tahun ke tahun.

Pernah ketika keluarga kecilmu tengah makan malam, di satu ruangan sunyi nan teduh. Ayah berkata dengan takzim, "Jangan melihat politik hanya dari satu sisi, karena politik adalah tempat di mana lawan bisa menjadi kawan, dan kawan bisa menjadi lawan. Ingat itu sampai kau dewasa kelak." Mata bijaksana itu mengarah padamu, menelusuri terang di hatimu, hingga kata-katanya dicerna sudah oleh otak cerdasmu.

Kau mengangguk takzim dengan tiap sudut bibir tertarik satu senti.

Namun, dua hari berikutnya. Ketika sang fajar tengah menyongsong pagi, ketika langit perlahan-perlahan melukiskan gradasi jingga-biru...

Beberapa orang bertubuh tegap dengan seragam penegak hukum memaksa untuk menggeledah rumah kecilmu. Kau tak tahu apapun. Kau tak pernah tahu apapun.

...karena sejujurnya, kau tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang ada di balik kulit kehidupan.

Beberapa orang bertubuh tegap itu tiba-tiba menangkap Ayah dengan paksa, tangan-tangan indahnya yang selalu digunakan untuk mengetuk masalah dengan lembut itu terpaku dalam borgol besi yang mengekang dan tampak menyakitkan. Ayah tidak berontak, tidak melawan dengan keras, hanya mengangkat satu alisnya dan bertanya dengan lembut, "Ada apa ini, wahai bapak-bapak sekalian yang terhormat?"

Kau membenci sifat Ayah yang ini; sifatnya yang terlalu lembut ini. Salah satu titik lemah yang bisa menjadi mata pisau untuk melumpuhkannya.

Semua adegan dramatis itu ditampilkan dengan baik, tepat di hadapan dua pasang bola mata yang terkejut bukan main; kau dan Ibu. Adegan drama sempurna, jika tidak untuk ketiadaan latar belakang musik yang menambah erat kepalan di tanganmu.

Oknum-oknum berseragam itu membawa Ayah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Berminggu-minggu kau mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Lihatlah, air mukamu yang selalu ceria itu kini seakan tak bertenaga lagi. Ayah tidak bersalah, Ayah harus bebas. Genap dua minggu kau mencari, kau akhirnya menemukan sesuatu: Anggota Dewan Tertangkap Basah Melakukan Kecurangan Pemilu, tajuk rencana yang dibacakan di salah satu program berita senja hari. Kau tak begitu peduli, peristiwa biasa. Namun ketika pembawa berita menyebutkan nama Ayah dengan lengkap, kau terperangah. Ayah terbukti bersalah? Kau sungguh tak menyangka akhir cerita Ayah akan berujung seperti ini. Ibu yang mendengarkan televisi dari dapur langsung datang menghampirimu dan mengambil remote televisi, kemudian mematikannya.

penantianWhere stories live. Discover now