3 : Telat :

61.6K 10K 400
                                    

3

: t e l a t :


2014


Pertemuan ketiga terjadi ketika Leia mendatangi rumah Aksel.

Niatnya, dia datang hanya untuk memberi beberapa berkas hardcopy milik Aksel yang ketinggalan di kantor. Berhubung rumahnya yang paling dekat dengan rumah Aksel dibanding karyawan sedivisi lainnya, jadilah Leia yang memberikan berkas itu. Ketika Leia menekan bel rumah, bukanlah Aksel yang menerima dirinya sebagai tamu, melainkan Bara.

Sudah dua bulan lebih terlewati dari kali terakhir Leia bertemu Bara. Rambut lelaki itu sudah lebih panjang. Melewati telinga, tetapi tidak sampai menyentuh bahu. "Assalamualaikum, Kak," sapa Leia sembari tersenyum. "Aksel-nya ada?"

"Wa'alaikum salam. Aksel ada di dalam. Masuk aja," balas Bara sambil melebarkan pintu, mengajak Leia masuk.

Leia menggeleng, tersenyum sopan. "Nggak usah, Kak. Saya cuma mau kasih ini, kok." Map berisi berkas yang Aksel butuhkan segera Leia sodorkan kepada sang lelaki.

Bara mengambil map itu. "Oke, nanti saya kasih ke anaknya."

"Eh, Lei!" seru Aksel dari belakang tubuh Bara, spontan membuat kedua orang di depan pintu menoleh. Aksel mendekati sang gadis. "Sini, masuk aja! Banyak makanan nih! Mau nggak lu?"

Senyum Leia berubah canggung. "Nggak usah, Sel."

Aksel mengibas tangannya. "Alah, nggak usah malu-malu meong, Lei! Sini masuk!"

Tawa Bara pun menyusul. "Jangan dipaksa gitu, Sel."

"Orang dikasih makanan gratis, masa Leia nggak mau, sik?" tanya Aksel dengan tampang sengak. "Banyak oleh-oleh dari saudara gue yang abis dari Bandung. Sampai bingung gue ngabisinnya."

Bara mendengus. "Makanan gratis mah, kasih Zraka aja, Sel. Pasti habis semua."

"Yaela, Bang. Zraka mah emang murahan." Aksel memutar bola mata.

Bara lalu menatap Leia, mengedikkan kepala ke arah dalam rumahnya. "Lei, masuk sini. Ambil aja beberapa makanan oleh-oleh, abis itu pulang."

Leia terdiam sejenak. "Beneran nggak apa-apa?"

"Ya nggak apa-apa lah," yang membalas adalah Aksel. "Ada banyak makanannya. Mending dibagiin, kan?"

Leia mengangguk. Dia pun ikut bersama kedua bersaudara itu ke arah ruang makan, tempat berkumpulnya oleh-oleh. Beberapa menit selanjutnya dihabiskan dengan Leia yang hanya duduk dan Aksel yang memberikan beberapa bungkus makanan serta kue.

Dering sebuah ponsel lalu mencuri perhatian ketiganya. Adalah Aksel yang meraih ponsel di meja dan mengangkatnya. Dia berbicara di telepon sambil memilah oleh-oleh yang akan dia berikan kepada Leia. Setelah selesai berbicara di telepon, Aksel lalu memanggil Bara. "Bang, lo ingat si Tamara, nggak? Adik kelas lo pas SMA tuh."

Bara mengangguk. "Ingat. Kenapa?"

"Tadi gue abis ditelepon sama Tamara. Mau cerai doi. Suaminya selingkuh, masa."

Mata Bara membeliak. "Serius? Perasaan terakhir kali ketemu, masih pada adem-ayem aja mereka."

"Auk." Aksel mengangkat bahu. "Malah katanya, suaminya selingkuh udah dua tahunan gitu. Edan maneh. Selingkuhnya gimana ya, dua tahun kagak ketahuan?"

"Trus Tamara sekarang gimana? Mereka udah punya anak?" tanya Bara.

Aksel menggeleng. "Untung belum punya anak. Kalau punya anak kan, kasihan anaknya juga, ya."

"Ya iyalah," ujar Bara, lalu menghela napas.

Leia yang memasukkan oleh-oleh ke dalam goodie bag hanya menyimak dalam diam dari tadi. Selesai memasukkan makanan ringan, dia lalu duduk sambil merapikan isi oleh-oleh dalam goodie bag-nya.

Aksel mendesah, geleng-geleng kepala. "Suka heran gue sama yang udah nikah tapi malah selingkuh."

Satu alis Bara meninggi. "Heran kenapa?"

"Ya maksudnya... ke mana aja gitu mereka. Kalau mau nakal-nakalan mah, dari awal aja kali. Biar nggak kebawa-bawa sampai nikah," jawab Aksel.

Leia yang mendengarnya pun mengernyit. "Maksudnya, Sel?"

Aksel berbalik untuk melihat anak buahnya itu. "Maksudnya, kalau mau nakal mah, dari muda aja, Lei," balas Aksel, mencomot kerupuk udang di toples. "Biar nggak telat nakal."

"Telat nakal?"

"Iya. Telat nakal." Aksel menggigit kerupuknya. "Jadi, harusnya nakal di masa muda, tapi malah nakal setelah udah nikah, udah punya jabatan, dan sebagainya."

Leia mengerjap. "Emang kalau cowok kayak gitu, ya?"

"Logika aja, sih." Suara krauk-krauk dari kunyahan kerupuk udang di mulut Aksel terdengar. Lelaki itu menelan ludah sejenak sebelum menjelaskan, "Gini, ngaku aja, dah. Manusia tuh biasanya selalu penasaran dengan hal-hal yang dilarang. Nakal itu adalah ketika lo malah melakukan hal-hal yang dilarang itu. Logikanya gini, kalau lo udah ngelakuin kenakalan itu, ya udah lo udah nggak penasaran lagi dong? Gitu aja."

Kernyitan Leia masih urung sirna. "Tapi, kan ada juga orang yang dari lahir sampai dia meninggal, dia nggak melakukan kenakalan dan emang biasa aja."

"Tapi, lo nggak bisa menjamin semua orang bisa kayak begitu, kan? Apalagi di zaman sekarang." Aksel tersenyum. "Gue ngaku, gue emang brengsek. Tapi, mendingan jadi 'bekas orang jahat' daripada 'bekas orang baik', kan?"

Kernyitan Leia justru makin bertambah. Apa iya, seperti itu? Apa iya, semua orang sebaiknya melakukan kenakalan sedari muda agar mereka tidak penasaran lagi di masa tua?

"Hidup tuh cuma sekali, Lei," lanjut Aksel. "Kita emang harus memanfaatkan segala hal sebaik-baiknya, termasuk pengalaman. Kalau udah tahu rasanya nakal mah, pas nikah udah nggak bakal penasaran lagi karena udah tahu gimana rasanya nakal. Lo nggak pernah bisa nebak masa depan orang. Orang-orang yang dulunya alim di sekitar gue, malah sekarang jadi pada ngerokok, main cewek, dan nyoba-nyoba minum, di saat temen-temen gue yang dulu pernah ngelakuin itu udah tobat."

Sejenak, Leia melirik Bara yang terlihat tak berekspresi atas penjelasan Aksel. Lelaki itu hanya diam saja dari tadi. Entah menyimak ucapan adiknya atau tidak.

Apa mungkin Kak Bara diam karena dia setuju dengan ucapan Aksel? batin Leia.

Aksel menyeringai. Leia tahu sekali bahwa ini tipe seringai yang akan membuat para cewek di kantornya menjerit 'Ganteng banget, ya Allah!' dalam hati mereka. "Doesn't every girl always want a bad boy who turn good just for her?"

Leia hanya mengangkat alis, sementara Bara menguap keras. "Sel, gue ke kamar dulu, yak. Leia, saya duluan."

Aksel dan Leia mengangguk.

Kemudian, tak ada lagi pembicaraan kecuali saat Leia pamit pulang dan berterima kasih atas oleh-oleh yang dibagikan. Namun dalam hati, dia bertanya-tanya.

Apakah Bara akan jadi orang yang 'telat nakal' seperti yang Aksel ucapkan? 

Sebab, seperti kata Aksel. Masa depan orang tidak pernah ada yang benar-benar tahu, bukan?

[ ].

Remediasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang