07

6.6K 846 91
                                    

"Pecundang yang tidak berani untuk menegakkan keadilan, Park Jimin."

Jimin sedikit terkejut mendengar perkataan Seulgi yang tiba-tiba. Gadis itu melanjutkan kembali, "Dan sekarang dia merupakan salah satu penegak keadilan bagi masyarakat. Benar-benar sampah," tutupnya dengan senyum sinis.

Bisa dikatakan Jimin cukup tersanjung dengan ingatan Seulgi. Jarang sekali ada orang kedua yang mengingat kejadian lima belas tahun yang lalu. Jimin tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Ayolah, saat itu aku masih berumur delapan tahun. Dan aku masih terlalu takut untuk membantah perkataan Ayahku," jelas Jimin.

"Ya, terima kasih untuk Ayahmu yang seorang polisi karena telah mengurungku didalam penjara semalaman sehingga aku tidak perlu merasa takut lagi ketika mendekam untuk yang kedua kalinya. Kalian lah yang memberikanku kekuatan itu."

Sebenarnya ucapan Seulgi sedikit menohok hati Jimin, namun ia berusaha untuk tidak terlihat lemah dihadapan gadis yang liar ini. "Itu semua bukan mutlak kesalahanku. Kau yang mencuri dan aku hanya sebagai seorang saksi," bela Jimin atas apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Lelaki itu berdiri sambil berkacak pinggang.

Kali ini Seulgi terkekeh kecil. "Tentu saja itu salahmu." Gadis itu kembali menatap Jimin geli, walaupun Jimin bisa melihat kesedihan dari sorot mata gadis tersebut. "Kami mencuri karena terdesak dengan keadaan. Sedangkan kalian, orang-orang diatas, bahkan untuk melirik kearah kami pun kalian tidak sudi. Karena itu kami tidak ada pilihan lain selain mencuri. Kau paham, Tuan Polisi?"

Seulgi benar. Jimin mengakui itu.

Lelaki yang semula membusungkan dadanya kini sedikit tertunduk. "Kau tidak seharusnya mengajakku berdebat, Park Jimin." Seulgi berkata dengan nada bangga.

Tidak. Ia tidak tertunduk malu karena kalah berdebat dengan gadis dihadapannya itu. Ia hanya teringat kejadian lima belas tahun yang lalu. Ia teringat pada gadis kecil rapuh yang menangis ketakutan di kantor polisi, Kang Seulgi.

"Kang Seulgi, bisakah kau kembali menjadi gadis kecil lima belas tahun yang lalu?"

Permintaan itu mengalir begitu saja dari mulut Jimin. Seulgi sejenak terdiam, lalu berkata,

"Apa kau bodoh? Aku ini sudah dua puluh tiga tahun! Bagaimana mungkin aku kembali menjadi anak umur delapan tahun!? Kau pikir ini dunia Harry Potter?!" serunya kesal. Ia menarik paksa Jimin untuk keluar dari apartemennya.

"Pergi kau, Brengsek!"

Pintu itu tertutup dengan keras. Belum sempat Jimin menyentuh gagang pintu tersebut, ia bisa mendengar teriakan Seulgi dari dalam.

"Pergi sebelum aku membunuhmu!" Membuat lelaki itu mengurungkan niatnya.

Dengan lunglai, Jimin meninggalkan tempat tersebut tanpa mengetahui bahwa Seulgi hampir saja kehilangan keseimbangan setelah pintu tersebut memisahkan pandangan mereka. Gadis itu dengan cepat menangkap tepian meja dan berjalan perlahan mengambil obat-obat kecil yang ia sembunyikan di balik pot tanaman. Seulgi menegak beberapa obat sekaligus hanya dengan berbekal segelas air.

Gadis itu kini bisa bernafas lega. Jari-jarinya meremas tepi meja dengan keras. Diantara semua orang yang ia benci, mengapa harus Park Jimin yang muncul pertama? Mengapa selalu Park Jimin? Seulgi menggertakkan giginya kuat.

Ia bersumpah akan membunuh Park Jimin.




###




Yerim benar-benar terbangun. Suara-suara berisik dari arah dapur sangat menganggunya sejak tadi. Ia yakin pasti Joy sedang memasak walaupun hasilnya selalu terasa mengerikan. Gadis muda itu berniat untuk mengabaikan suara tersebut, tapi kali ini terdengar sangat menganggu.

Dengan malas, gadis itu turun dari kasurnya. "Oh, ayolah Unni, ini masih terlalu pagi untuk memasak..." ucapnya sambil memejamkan mata yang masih mengantuk. Tidak ada balasan dari Joy. Yerim mendesah berat dan akhirnya melangkah kearah dapur.

"Sooyoung Unn―"

Yerim terpekik histeris. Ia melotot saat menyaksikan wanita yang ia panggil 'unni' itu tengah menangis dengan mulut yang disumpal kain dan tubuh yang terikat. Joy menatap nanar pada Yerim dengan airmata yang berjatuhan.

"Oh, lihat siapa disini? Aku sangat suka gadis muda..."

Langkah Yerim semakin mundur ketika lelaki itu mendekat padanya. Ia menangis ketakutan. Ia ingin berteriak namun semua itu hanya akan memperburuk keadaan. Tubuh Yerim bergetar hebat. Hanya ada ia dan Joy malam ini, jadi ia tidak bisa meminta pertolongan pada siapapun.

"Kumohon he-hentikan..." pinta Yerim sambil menangis. Namun lelaki itu semakin mendekat padanya. Menggapai pipi mulus Yerim sambil berkata,

"Aku penasaran dengan tubuhmu. Buka bajumu untukku."

Hampir saja baru Yerim terenggut oleh lelaki didepannya sebelum sebuah tangan besar berhasil membanting tubuh lelaki itu dengan satu putaran.

"Tidak semudah itu, Bangsat!"

Yerim tidak bisa melihat siapa yang menyelamatkannya. Semua mendadak gelap dan gadis itu tak sadarkan diri.

Di lain sisi, Jimin yang baru saja menutup pintu rumahnya langsung diterjang oleh seorang gadis yang memegang pistol. Dengan cekatan Jimin menjatuhkan pistol tersebut dan menatap tajam siapa yang berani menyerangnya. Namun orang itu balas menatapnya lebih tajam.

"Kang Seulgi, apa yang kau lakukan?!" seru Jimin.

"Seharusnya aku tahu kau hanya menjebakku," ucap Seulgi dingin. Kedua matanya memerah karena marah. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari. Jimin tidak mengerti. Seulgi menyerangnya dipagi buta ketika ia hendak melakukan olahraga pagi. Dan juga, gadis itu menangis.

"Kang Seulgi, apa yang―"

Jimin terhenti saat Seulgi mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaketnya. Pisau tersebut tepat mengarah pada Jimin. "Mengapa kau lakukan itu? Jika kau menginginkan aku, maka kau harus melakukannya padaku!" jerit Seulgi. Gadis itu frustasi, bahkan pisau yang ia arahkan pada Jimin bergetar hebat.

Lelaki itu semakin tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

Seulgi mengusap kasar airmata yang terus berjatuhan di pipinya. Ia berusaha menormalkan suaranya. "Kau menyuruh anak buahmu untuk memata-matai kami untuk menemukan markas kami dan kemudian menyerang kami..."

Jimin terhenyak. Memang benar ia menyuruh anak buahnya untuk memata-matai kelompok Seulgi, tapi ia tidak pernah menyuruh Jungkook untuk melakukan penyerangan. Ia hanya mengamanati Jungkook untuk sampai menemukan keberadaan markas tersebut.

"...dia memperkosa adik-adikku, Sialan!"

"Itu tidak mungkin!" bela Jimin walaupun lelaki itu mulai ragu dengan perkataannya sendiri. Seulgi menyeringai melihat reaksi yang diberikan Jimin. Ia kecewa.

"Aku akan benar-benar membunuhmu, Park Jimin!"




###




Gadis berambut oranye itu tidak menghiraukan pandangan aneh orang-orang yang menyaksikannya berlari seperti orang gila. Ia langsung berlari begitu mendapat panggilan dari Wendy. Ia tidak peduli dengan pakaian tipisnya di pagi buta. Ia sudah panik.

"Wendy!"

Seulgi berteriak begitu memasuki rumah kumuh tersebut. Baru saja ia sampai, namun ia tak kuasa untuk berdiri begitu melihat tubuh Joy yang dipenuhi lebam dan Yerim yang tidak berhenti menangis. Irene yang berusaha menenangkan Yerim menatap Seulgi sedih.

"Oh, Ya Tuhan, mengapa hal ini harus terjadi?"

Hati Seulgi hancur. Adik-adiknya baru saja mengalami kejadian mengerikan dan ia sebagai seorang kakak tidak ada disana untuk melindungi mereka. Kedua lututnya begetar. Wendy menghampiri Seulgi dan menyerahkan sesuatu padanya.

Sebuah lencana polisi.

"Junhoe menemukannya sewaktu ia melawan orang tersebut. Kang Seulgi, menurutmu siapa yang―"

Wendy terdiam saat Seulgi mengambil lencana tersebut dengan kasar sambil berdesis,

"Ini pasti perbuatan si Setan itu!"

Lalu mengambil sebuah pistol dan sebilah pisau.

Wild LiarWhere stories live. Discover now