Prologue

197 12 3
                                    

© Nindya Kim ©

__________________________________

Bunyi gedebuk terdengar. Sosok pria paruh baya menggebrak meja dengan keras di hadapan anak gadisnya yang berumur kurang lebih dua puluh tahun.

Tuan Kim menatap sang putri bungsunya penuh amarah.
Satu jam yang lalu, anaknya berhasil membuat sebuah keluarga pergi dengan hati dongkol dan juga kesal.

"Aku mohon padamu!" seru sang ayah memohon. Dia menatap anak bungsunya yang masih kukuh berdiri dengan pandangan lurus dan datar.

Kim Seunggi menatap ayahnya datar, menolak mentah-mentah apa yang sang ayah minta. Persetan dengan warisan yang tidak akan dia dapat. Lagi pula, siapa gadis zaman sekarang yang mau dijodohkan? Tidak ada. Itu pasti.

Tidak lama, sebelum Tuan Kim melayangkan tamparan, ibunya melangkah cepat mendekati sang suami, menahan pergerakan untuk melindungi Seunggi.

"Biar aku yang bicara," bisik Nyonya Kim pada suaminya kemudian menarik lengan Seunggi dengan lembut. "Kita harus bicara, Gi-ya."

Seunggi hanya pasrah ketika diseret pergi ibunya. Dia ingin memberontak atau kabur dari rumah ini, namun melihat raut wajah wanita itu, Seunggi lebih memilih diam.

Ketika sampai di kamar Seunggi, ibunya menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Wanita paruh baya tersebut menatap putri bungsunya sendu. Dia melangkah mendekati Seunggi lalu duduk di tepi ranjang.

"Kau tahu kalau keluarga kita sangat bergantung pada mereka, Gi. Kau tahu itu. Kenapa kau menolak?" Suara ibunya teredam isak dan Seunggi benci itu. Dia mendekati sang ibu, memeluk beliau dari samping.

"Maafkan aku, Ibu. Aku tidak mencintainya. Kami tidak saling mengenal," bisik Seunggi. "Kumohon, biarkan aku bahagia."

Nyonya Kim memutar tubuhnya menghadap Seunggi. "Kau yakin? Ayah sakit parah dan kau tahu itu. Apa kau mau Ayahmu bangkrut dan tidak bisa berobat?"

Suhu ruangan mendadak panas ketika Nyonya Kim berucap. Seunggi mematung, menatap sang ibu dengan tatapan kosong. Masih ingin menolak. Tapi, mengingat Tuan Kim yang sakit parah, Seunggi lagi-lagi memilih diam.

"Selamatkanlah Ayahmu."

Seunggi tahu dengan jelas bahwa perjodohan ini hanya untuk menguntungkan ayah dan ibunya. Ibu dan ayahnya terbiasa hidup bergelimang harta dan hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Seunggi dan sang kakak tidak hidup bergelimang harta juga. Mengingat mereka hidup seperti ini karena bantuan, Seunggi sadar benar bahwa dia harus menerima perjodohan walau sebenarnya dia tidak mau.

"Baiklah."

______

Senyum lebar merekah di wajah Tuan Kim ketika mengiringi anaknya menuju altar. Dia tersenyum semakin lebar ketika Seunggi menerima uluran tangan dingin dari seorang pemuda Min.

Pria Min itu tersenyum tipis, melihat Seunggi yang meraih tangannya lalu berdiri berhadapan dengannya.

Min Yoongi mengucap janji sebelum diikuti oleh Kim Seunggi yang sebentar lagi akan merubah marganya menjadi Min. Min Seunggi. Yoongi pikir itu nama yang cantik seperti orangnya. Namun tidak dengan Seunggi, gadis itu menatap tidak minat ketika Yoongi memasang sebuah cincin berlian di jari manisnya. Seunggi melakukan hal yang sama pada sang suami tanpa tersenyum sedikit pun.

Semua orang bertepuk tangan bahagia ketika Yoongi mencium dahi gadis yang kini sah menjadi istrinya.

_____

Rumah megah berdiri dengan kokohnya di hadapan sepasang pengantin baru. Sang pria tersenyum manis seraya menuntun istrinya memasuki bangunan megah tersebut.

Mereka segera disambut oleh tiga sampai lima orang pelayan yang berpakaian rapi. Mereka seperti sedang menyambut presiden bersama istrinya, pikir Seunggi. Agak menggelikan memang. Apa mereka akan berbulan madu dengan para pelayan berlalu-lalang di dalam rumah ini? Tidak apa. Memangnya siapa yang mau menikah jika tidak terpaksa dan memikirkan penyakit sang ayah? Dan Yoongi cukup pintar, batin Seunggi.

"Gantilah pakaianmu. Aku harus pergi."

Seunggi hanya mengangguk, tidak minat untuk bertanya ke mana sang suami akan pergi. Persetan. Gadis itu hanya butuh tidur, tidak lebih.

"Pergilah, memangnya siapa peduli kau akan ke mana?"

Yoongi menaikkan alis matanya bingung ketika Seunggi berucap sambil menurunkan gaun panjangnya.

"Kau benar-benar tidak menginginkanku, ya?" tanya Yoongi. Kali ini Seunggi yang menaikkan alisnya remeh, terkesan mengejek.

"Bukankah sebaliknya?"

Terdengar helaan napas panjang dari Yoongi sebelum pria itu mencengkram bahu Seunggi keras. Seunggi meringis sakit. Pria ini gila, pikirnya.

"Memangnya siapa yang menyuruhmu untuk menerima perjodohan ini, huh?" Yoongi berseru keras. Rahangnya mengeras dan tatapan tajamnya menusuk ulu hati Seunggi tanpa ampun.

"Kaupikir aku mau dijodohkan? Kalau bukan karena Ayahku, aku lebih memilih mati!" seru Seunggi tidak kalah keras. Dia mendorong tubuh Yoongi hingga pria itu bergerak mundur beberapa langkah.

"Kalau begitu mati saja."

Pintu tertutup keras meninggalkan Seunggi yang mengepalkan tangannya di sisi tubuh.

"Brengsek!"

______

-Nindya Kim-

[24 April 2017]

Everything Has Changed [ON HOLD]Where stories live. Discover now