Prolog

1.3K 195 66
                                    

Apa yang manusia lihat pada laut? Bentangan air tiada tepi? Ombak menampar pantai tanpa lelah? Sumber penghidupan? Wilayah tak terjamah?

Adidaya. Menjanjikan kebaikan sekaligus menakutkan.

Dan tugas Baruna menjaga keseimbangan di antara kedua sifat itu, sebagai dhanyang pengawas laut di sekitar kepulauan Nusantara. Paling suka menggunakan wujud lumba-lumba ketika ia harus berpatroli ke palung-palung sempit. Sesekali menjadi paus untuk menyisir samudra dengan cepat.

Satu wilayah yang akhir-akhir ini dihindari Baruna, Lautan Hindia. Melewatinya selalu menimbulkan perasaan bersalah. Berturut-turut pada 2004, 2006, dan 2007 penanggalan manusia, kerak bumi di dasar samudra bergerak, menghasilkan Tsunami yang menelan ratusan ribu jiwa manusia.

Di mana ia saat itu?

Sedang melawat dan bersuka cita di kerajaan Triton. Mewakili Sang Hyang Penguasa Bawanapraba untuk meninjau ulang perbatasan di antara kedua negeri. Baruna curiga, dulu Sang Hyang sengaja mengirimnya jauh-jauh karena tahu pasti ia akan mencegah bencana itu sekuat tenaga. Persis seperti yang dilakukan Ayah, Sang Pengendali Air, hingga pupus.

Sang Hyang tidak mau Baruna mengalami nasib yang sama, karena tidak ada yang bisa melawan takdir Sang Maha Pencipta. 

Baruna mengangkat buntut pausnya tinggi-tinggi dan menampar air . Ombak yang tercipta bergulung dan mengempas jauh hingga ke dalam muara sungai.

Tak lama kemudian, air sungai berbalik ke arahnya, tanpa membawa saudara kembarnya, dhanyang penunggu perairan segar. "Segar apanya? Butek dan banyak sampah begitu!" Baruna menggerutu.

Terdengar tawa seorang pemuda yang tiba-tiba mewujud di tepi sungai. "Sudah kubilang, Kak, manusia yang berbuat, manusia pula yang harus bertanggung jawab dan menerima akibatnya."

"Dhanu, apa gunanya penunggu kalau begitu?" Baruna melompat naik sebagai pemuda berparas identik, dan berdiri di depan adik kembarnya. "Huh, kamu bau lumpur."

"Terima kasih. Kuanggap itu pujian, karena jauh lebih baik daripada Kakak yang bau amis."

Tawa mereka pun pecah. 

"Jadi, ada kabar apa dari atas sana?" tanya Baruna setelah gelak mereda. "Tugas lagi? Sudah kamu sampaikan permintaan maafku tidak bisa hadir sendiri? Apa kata Sang Hyang? Kamu bertemu Dewi Barat Laut?"

Dhanu terkekeh. "Ya, tugas lagi. Ya, sudah kusampaikan. Sang Hyang tahu kok Kakak masih kesal soal Tsunami. Kata beliau, pada panggilan berikutnya, tidak boleh ada alasan lagi. Ya, Dewi Barat Laut datang. Dan dia tidak kehilangan dirimu ...."

"Uuh!" Baruna menunduk.

"Aku belum selesai. Dia tidak kehilangan dirimu, karena seusai tugasnya nanti, katanya mau mampir ke tempatmu." Dhanu memukul punggungnya keras-keras, sampai Baruna terbatuk-batuk.

"Aku tidak suka wujud manusia. Harus merasakan sensasi yang tidak bisa dijelaskan. Dan fisiknya terlalu mudah terpengaruh perasaan aneh itu." Baruna siap melompat kembali ke air, tetapi Dhanu menahannya.

"Dengarkan dulu tugasmu, Kak. Setelah itu terserah mau jadi apa saja. Aku tidak punya waktu banyak karena harus segera pergi juga melaksanakan bagianku." Dhanu mengeluarkan gulungan daun teratai dari balik jubahnya. Mengajak Baruna duduk. Kemudian menciptakan kacamata dan memakainya.

Baruna menyeringai. Adiknya senang sekali meniru-niru manusia dengan segala tetek bengeknya. Tapi kacamata? Ya ampun!

"Aku catat di sini," kata Dhanu, memperbaiki letak kacamatanya yang sama sekali tidak melorot. "Tugas untuk Dhanyang Baruna: mencari pecahan kristal mustika yang terlempar di sekitar Samudra Hindia. Kembalikan kepada Sang Hyang secepatnya, sebelum kristal itu disalahgunakan oleh si penemu."

Baruna terbelalak. "Mustika dari tongkat Sang Hyang?"

"Ya."

"Samudra Hindia ...." Baruna mendesah.

"Sayangnya begitu. Dan tebak, siapa yang menemukannya?"

Baruna menggeleng.

"Naga Smong."

Baruna sampai terjengkang. "Serius? Si tua sisik kusam kutilan sok sakti yang mengaku-ngaku mampu membuat tsunami itu?"

"Hati-hati, Kak. Setelah mendapatkan kristal itu, bisa jadi ia benar-benar mampu melakukannya kali ini."

"Oh."

"Nah, selamat bertugas. Aku pergi dulu."

"Hei, Dhanu, tugasmu sendiri apa?" Baruna menjangkau bahu adiknya, tapi sosok Dhanu telanjur menguap. Baruna mendecak kesal. Datang dan pergi seenaknya seperti hantu air. Ah ya, mereka memang bisa dibilang begitu. Julukan dari manusia yang pernah melihat Dhanu.

Buru-buru Baruna terjun ke air, sebelum ada manusia sial melihatnya. Tujuannya, laut lepas, di kurun masa lampau. Pada dimensi waktu yang berbeda pun, rasa jeri tetap mengikuti. Ia berusaha menekan perasaan yang mengerutkan inti keberadaannya itu. Bukan, bukan takut pada Smong. Tapi pada kekuatan lain tak kasatmata yang menunggu sejak zaman purba, di antara patahan-patahan kerak bumi.

(bersambung)







You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 13, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Nabang Sang Penunggang PausWhere stories live. Discover now