2 - A Cute Visit From Daniel and Him

112 8 5
                                    

Jam sekolah usai. Aku buru-buru keluar kelas setelah Pak Budi pergi. Segera aku menuju tempat dimana langganan bentorku nongkrong. “Bang Udin, langsung pulang aja,” aku langsung melompat masuk ke bentor.

Sampai di rumah aku disambut oleh Mama yang sedang sibuk mengunyah ceri merah segar, seluruh permukaan wajahnya ditutupi oleh masker bengkoang. “Siang, Ma,” aku duduk lesu disamping Mama, mencomot dua-tiga biji ceri dan langusng mengunyahnya.

“Papa nyolotnya ke Mama gara-gara kamu telat tadi,” Mama memulai. Aku menggumam, “Ah Mama. Maafin Mona, lah. Lagian kan ini pertama dan terakhir kalinya aku bangun jam setengah delapan kayak gitu,”

“Mama pegang janji kamu,” Mama beranjak ke dapur, mungkin menyiapkan makan siang. Aku menghela nafas dan langusng melesat ke kamarku. Segera aku mengganti seragam dengan celana pendek merah dan kaos biru polos, setelahnya aku menyalakan stereo­-ku dan menyetel Purple Sky dengan volume empat puluh delapan persen.

“Mooon...!!! Diem...!!! Mama lagi nonton TV!!! Matiin sekarang atau Mama yang matiin...??!!” teriak Mama melengking dari lantai bawah. Aku mendengus kesal dan mematikan dengan kasar, “Belum juga reff-nya,”

 Suara Mama hebat juga, bisa mengalahkan alunan chorus si Greyson.

                                                            ***

Tadinya aku sedang menonton MV Sunshine and City Lights sebelum akhirnya Mama dari bawah berteriak minta dibelikan margarin. Habis katanya. “Cih,” umpatku, menutup laptop dengan kasar.

Aku turun, menerima lima puluh ribu (kata Mama sisanya bisa aku tabung), dan segera ke Alfa Midi terdekat diantar dengan kedua kakiku− yang syukurlah masih lengkap dan sehat-sehat.

Desiran kipas angin Alfa Midi menyambutku saat aku melangkahkan kakiku masuk. Aku segera ke bagian makanan, lebih tepatnya kumpulan margarin. Disana aku mulai memilih merek yang Mama pesan. “Blue Band atau Forvita?” aku menimbang-nimbang sejenak. Akhirnya aku membeli Blue Band. Dan setelah membayar beberapa rupiah, aku kembali pulang.

Aku hendak membuka gerbang rumah tapi terhenti karena mataku terundang oleh kehadiran seseorang di seberang jalan yang membelakangiku. Postur tegap 178 cm, rambut coklat. Haha. Mas Dodi kayak gelandangan aja nggak langusng masuk rumah. Dengan usilnya aku melemparinya kerikil dan itu mengenai kepalanya. “Sori, Mas!”

Dia berbalik dan aku sangat malu telah melemparinya kerikil dan aku juga sangat kaget mengetahui bahwa dia bukan Mas Dodi. Aku mendekatinya dan menyipitkan mata, seakan berusaha mengenalnya lebih dalam. Astaga. Aku terguncang.

“Astaga!” aku langusng memeluknya, “What are you doing here?!” tanyaku bertubi-tubi. Yang dipeluk hanya memberi tahu agar aku melepaskannya. “Daniel, apa kabar?” aku tersenyum lebar.

Daniel hanya tersenyum. Aku menarik rambutnya− yang ternyata wig coklat. “Lo kok nggak ngasih tau gue kalau mau ke sini?” aku menarik tangannya masuk ke dalam rumah, dan menyuruhnya duduk di kursi tamu.

Aku melesat kedalam memberi tahu Mama bahwa Daniel Refano− teman masa kecilku sedang berkunjung. “Daniel? Temenmu yang cakep itu? Yang sekarang tinggal di Jakarta?” Mama seakan tak percaya.

“Astaga...iya Mama. Tadi aja aku juga nggak percaya,” aku meyakinkan Mama, “yaudah...Mama sapa dulu aja. Biar aku yang siapin minuman,” tambahku terburu-buru. Mama pun menemui Daniel.

Setelah cocktail jadi, aku membawanya ke ruang tamu. “Danny...minum dulu lah,” tawarku. Daniel membantuku meletakkan tiga gelas cocktail di meja tamu. Lalu ia meminumnya.

Mama memulai duluan, “Lho Daniel kok nggak ngabarin Mona sih kalau mau berkunjung?”. Daniel tersenyum manis dan meneguk minumannya dahulu sebelum menjawab, “Iya tante, nggak sempat. Nomer Mona nggak aktif,”

“Hahaa...iya, aku lagi diet sama yang namanya HP,” sahutku, “tadi lo ngapain berdiri-berdiri gaje depan rumah sambil pakai wig gitu?” godaku, memandang rambut hitam cepaknya.

“Ya, gue cuma mau nggoda lo aja− masih inget atau udah lupa sama temen lo yang satu ini,” Daniel menjulurkan lidah sambil membentuk dua jemarinya menjadi ‘peace’.

“Umm... Mon, mama mau pergi arisan dulu. Kamu jaga rumah ya,” Mama tiba-tiba mengecup pipiku dan keluar. Ikut arisan? Tapi kok nggak dandan dulu?

“Jadi lo bolos demi ngapelin gue?” aku terkikik, “nyokap-bokap lo gimana jadinya tau ini semua,” sambungku. Daniel mengedikkan bahu, “Iya sih...gue bolos. Cuma hari ini doang tapi. Mau jalan nggak?”

                                                            ***

Empat jam di Mal Astro bareng Daniel sungguh asyik. Dua jam kami menonton film terbaru di bioskop dan dua jam setelahnya kita sekedar window-shopping dan menyesap coklat hangat di Excelso.

Sayangnya, Daniel nggak bisa ngantar aku pulang, katanya sih dia mau cepat-cepat balik ke Jakarta. Haha. Aku juga bingung. Kok Daniel jauh-jauh datang dari Jakarta ke Malang cuma buat empat jam di mal?

Alih-alih aku masuk ke dalam taksi, “Perumahan Cemara, F.12,” kataku singkat, setelahnya memainkan Temple Run Brave. Setelah bosan, kubiarkan karakter Merida menghantam kayu dan layar menunjukkan skor 2.567.000. Kubuka aplikasi twitter dan men-stalk @greysonchance.

Aku nggak pernah bosan kalau lagi enchancing...entah mengapa. Padahal kan yang di fan-girling cuma satu orang dan itu-itu terus. Sopir taksi mengagetkanku, “Sampai!”. Aku segera membayar ongkos dan turun.

Hendak kubuka gerendel pintu tapi urung karena mataku lagi-lagi tertuju pada Daniel yang berdiri gaje membelakangiku seperti insiden tadi siang. Aku geleng-geleng kepala dan menarik wig-nya, “Katanya mau balik? Kok masih disini?!” godaku.

Ia berbalik, dan sama sekali bukan Daniel.

Bukan juga Mas Dodi.

                                                            ***

“Woy!” Farah menamparku di paha dengan penggaris lima puluh senti, “are you still daydreaming about that gay guy? Mimpiin ketemu dia terus foto bareng?” tambahnya sengit. Aku hanya memandangnya sekilas dan memperlihatkannya wallpaper-ku.

“Kenapa? Nunjukkin ke gue si homo itu? Gue udah tahu. Itu foto pas di Manila!” teriak Nayla dari kejauhan. Aku menggeleng, dan untuk pertama kalinya aku sudi untuk membuka mulut buat mereka, “Lo semua ga liat ini depan perumahan gue? Itu mata taruh dimana?” kataku santai. Sedetik, mejaku persis seperti bunga bermadu yang dikerumuni oleh lebah-lebah serakah.

to be continued ......

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 09, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

From Oklahoma With Love [Greyson Chance Love Story]Where stories live. Discover now