KITA PUTUS

9.9K 567 57
                                    

Gue lagi kejar tayang nih. He hehehe....

Selamat membaca ya, jangan lupa tinggalkan jejak anda dengan vote and comments ya....

===

Dilla memang sangat menggairahkan, segala apa yang ada pada dirinya selalu membuatku berdesir hebat. Terlepas bagaimana cara dia bersikap dan bertingkah, itu malah membuat hubungan kami aman. Meski kadang di balik tubuhnya yang jantan, tersimpan sifat cemburuan akut.

"Apaan? Cemburu? Situ oke buat dicemburuin?"

"Kan aku sudah bilang semuanya, masa kamu kagak mau ngerti?"

"Emang aku bilang kalo aku gak ngerti ya, mas?"

"Suara kamu yang bilang."

"Lagian apa susahnya sih bilang kalo kamu ada janji sama orang lain? Gak usah pake bohong kayak gini, sampe aku liat kamu lagi makan berdua sama siapa itu, brondong yang bodinya kayak kacang panjang?"

"Itu mahasiswa aku, dia lagi bimbingan skripsi."

"Emang kampus tempat kamu ngajar udah digusur ya, sampe bimbingan skripsi aja pake janjian di cafe?"

"Aku gak janjian, cuma kebetulan aku lagi dijalan pulang, dia telepon, sedangkan dia juga ngejar deadline buat ACC tiga hari lagi biar bisa sidang. Udah deh! Kamu maunya apa sih?"

"Aku mau ngewe, sekarang! Sesuai jadwal!"

Dan obrolan kami via telepon selesai, tapi tidak terselesaikan. Aku tidak bermaksud menghindari masalah. Hanya saja, kondisi tubuh aku benar-benar kurang fit.

Kejadian itu sudah berlalu hampir satu bulan, dan sejak itu, kami tak jua berusaha untuk saling menghubungi atau menyelesaikan kesalahpahaman.

Berawal dari kepulanganku dari kampus di jum'at sore, seharusnya aku memang ada jadwal untuk mengunjunginya, tapi mengingat aku benar-benar sedang kelelahan maka aku putuskan untuk pulang dan istirahat. Aku juga tidak lupa untuk mengabarkannya. Tapi semua kacau, saat ada mahasiswa yang mengejarku untuk bimbingan skripsi dan aku katakan untuk menunggu di salah satu kedai pinggir jalan searah aku jalan pulang. Dan sialnya, Dilla tiba-tiba sms.

"Udah sampe rumah, mas? Jangan lupa istirahat ya, supaya cepat sehat."

"Iya, ini juga baru sampe rumah, lagi siap-siap istirahat."

"Iya, aku tahu kok. Posisi duduk kamu juga aku tahu, sambil liatin brondong jelek yang lagi ngoceh didepan kamu."

Dan aku blingsatan, langsung mengitari pandangan sekitar kedai, mencari keberadaan Dilla, tapi nihil. Namun aku tetap melanjutkan obrolan dengan mahasiswa yang ada di depan ku sekarang, sampai ia berhasil menjelaskan sedikit mengenai isi skripsinya. Lalu aku tutup dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar persetujuan bahwa skripsinya sudah siap untuk di sidangkan. Tanpa banyak bicara lagi aku pulang.

Di tengah perjalanan sambil menyetir mobil, aku berkali-kali menghubungi Dilla, namun tidak berhasil. Bukan artian selulernya tidak aktif, tapi tidak ia tanggapi. Baru keesokan harinya aku berhasil menghubunginya, dan hasilnya seperti yang tadi aku ceritakan. Kami malah ribut.

Dulu sebelum aku mengenal Dilla, hubungan yang aku jalani dengan beberapa pria, selalu berakhir dengan putus dan selesai, dengan sebelumnya aku selalu menjadi pihak yang bajingan. Tapi entahlah, dengan Dilla semuanya berubah dan berbeda.

Aku memang benar-benar payah untuk saat ini, di akhir pekan yang seharusnya aku habiskan dengan Dilla, kini aku lakukan dengan meringkuk di atas kasur. Bukan aku tidak mau bertemu dengan Dilla, yang aku takutkan,jika aku bertemu dengannya gairahku akan terpancing, sedangkan aku dalam keadaan tidak sehat. Tapi sungguh, aku benar-benar merindukannya, suaranya, sentuhannya, juga dirinya seutuhnya.

===

Kalau ada yang pernah mengalami fase jenuh dalam sebuah ikatan percintaan, wajar. Sama halnya dengan yang aku rasakan saat ini. Entah mungkin aku gengsi, atau tidak punya bahan alasan yang bisa membuat Dilla mengerti.

Kegilaanku semakin menjadi tanpa kehadiran Dilla, tanpa pertemuan dengannya, juga tanpa sentuhannya. Ini sudah hampir dua minggu, aku didera rasa rindu hebat.

Dan semua terobati kala aku terbangun di awal pagi akhir pekan ini, setelah aku menghabiskannya dengan tidur, aku menghidupkan televisi, dan menyaksikan berita. Pembaca berita itu benar-benar membuatku terkesima, wajahnya tampan, bersih, dan tubuhnya menarik, berbalut batik lengan pendek, membawakan berita dengan cara yang santai. Lokasinya di ambil di sebuah sudut kota yang bebas kendaraan karena waktunya car free day. Ia berdiri sambil memegang tab berisikan kesimpulan berita yang harus ia eksplor. Ya Tuhan, itu Dilla. Bagaimana bisa ia tidak pernah cerita bahwa ia alih profesi menjadi news anchor?

Bagaimana mungkin Dilla mengatakannya jika kami tak pernah lagi ada komunikasi. Kami lost begitu saja, tanpa ada keterangan apapun. Entah dari aku, maupun Dilla.

Ah, aku benar-benar merindukannya. Tapi aku bingung bagaimana caranya memulai. Inilah yang membuat aku berbeda bersama Dilla, seakan hatiku terikat dengannya, namun lepas tanpa bekas.

Dan akhirnya, setelah mengalami gejolak batin, aku menyerah. Aku bosan hanya menggugurkan rasa rindu dengan menatap wajahnya melalui layar kaca di setiap akhir pekan, maka aku putuskan untuk menemuinya.

Cukup lama aku mempersiapkan diri dan perjalanan juga hingga waktu sudah menandakan siang, dengan pakaian santai, aku sudah datang di lokasi tempat Dilla mereportasekan berita. Aku memandangnya dari kejauhan, Dilla sepertinya sudah selesai dengan tugasnya. Ia sedang duduk di salah satu tempat berkumpulnya para crew berita. Sambil merokok dan ditemani secangkir kopi hitam. Kebiasaannya itu sangat aku kenali. Namun ada sedikit pemandangan yang mengganggu ku, ia tengah bercengkrama dengan temannya, Bimo. Aku mengenalnya, Bimo adalah rekan join usahanya di cafe. Mereka seperti sedang bersenda gurau, karena ada tawa cerita di tengah obrolan mereka. Dan itu membuatku kesal. Aku tahu Bimo menyukainya, dalam artian terobsesi padanya. Karena aku selalu memperhatikan cara Bimo menatap Dilla, penuh minat, hasrat, dan nafsu. Bahkan saat ini, di depanku, Bimo tengah memeluknya dengan erat. Yang mengejutkan, Dilla membalasnya dengan mengusapkan tangannya pada punggung Bimo.

Jadi selama ini, setelah kami tak jua berhasil menyelesaikan kesalahpahaman, Dilla sudah menemukan tambatan lain? Temannya sendiri? Bagaimana aku tidak cemburu?

Aku ingin segera menghampiri mereka, lalu melayangkan bogem ke muka brengseknya Bimo. Agar tak lagi menyentuh milikku. Namun terhalang sebuah panggilan untuk ku.

"Mas?" Dan aku menoleh sumber suara itu, aku mengenalinya.

"Iqbal?" Balasku.

"Mas, apa kabar? Lama juga ya kita nggak ketemu lagi."

"Baik." Namun mataku tidak menatapnya, melainkan melayangkan pandangan pada sosok yang aku rindukan. Lalu aku segera mengambil seluler milikku dari saku. Mengirimkan pesan padanya. Tanpa menghiraukan Iqbal yang entah sedang bertanya apa.

"Apa kabar?" Cukup, aku rasa itu saja. Untuk memancing apakah Dilla juga merindukanku. Pesanku terbaca, dari notif  yang aku terima. Dan aku juga melihat Dilla dari kejauhan tengah menatap layar seluler nya, lalu menutupnya, tanpa membalas pesanku. Dan ia kembali bercengkrama dengan Bimo. Brengsek!

Aku kembali mengirimkan pesan, dan yakin, setelah ini Dilla pasti tak akan peduli.

"Hebat ya, news anchor ini. Sudah berhasil mengalihkan perasaannya dengan membalas pelukan sahabatnya. Kita putus!"  Emosiku tampak, dan terlihat jelas setelah mengirimkan pesan terakhir. Iqbal mengatakannya, seperti yang dulu selalu kami lalui, setelah kami ribut, Iqbal pasti tahu apa yang aku inginkan setelah ini.

"Kebiasaan kamu gak hilang ya, mas." Ujarnya, sambil ikut mengarahkan pandangannya pada satu objek yang sama denganku. "Mas Dilla sudah bahagia sekarang." Tambahnya. Dan aku langsung menjatuhkan pandangan tajam pada Iqbal. Namun ia balas dan menantang. "Aku tahu apa yang selalu bisa meredakan emosi kamu." Ucapnya lembut. Lalu menyentuh dadaku, pelan dan merayu. "Perlu pelampiasan?"

Ucapan Iqbal penuh hasrat, dan aku pun membalasnya dengan merubah tatapan menjadi delik nafsu dan seringai birahi.

===

26 Mei 2017

Bikin konflik aaaahhhh....
Hehehe...

Jangan lupa vote and comments ya....

BOTTOM KU MACHO ABIS!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang