Beauty Meet The Beast

53.1K 1.6K 22
                                    

Southampton Meadow Lane, New York, 1988.

Rumah sepi, tentu saja. Tidak pernah ada yang mengharapkanku pulang tepat waktu di rumah sebesar ini. Aku membanting pintu mobil. Segera berlari masuk sambil melempar tasku sembarangan dan langsung menuju ke dapur. Dan sebelum aku sempat membuka kulkas seseorang berdecak pelan. Aku menelan ludah, dengan amat perlahan membalikkan tubuh ke asal suara.

Seorang gadis berdiri menjulang di belakangku. Tinggiku hanya mencapai separuh lengan atasnya. Ia sedang berkacak pinggang dan melotot ke arahku.

"Aku tidak tahu kalau kau sudah datang," akuku pelan sambil nyengir salah tingkah.

Si Gadis tidak mengubrisku. "Aku melihat tas ranselmu di pintu depan. Dan Fiola sudah mengepel sejak tadi siang. Lihat apa yang sudah dilakukan sepatu kotormu di sepanjang rumah." Gadis itu masih melotot juga.

Aku menurunkan tanganku yang berada digagang kulkas. Masih dengan pandangan galak ia mengawasiku membuka sepatu. Si Gadis mengekoriku ketika aku memungut ranselku yang tergeletak di pintu depan. Ia baru menurunkan tangannya ketika sepatuku telah kuletakkan di ruang cuci dan ranselku sudah ditaruh di kursi meja belajar. Ia bahkan menunggui hingga aku selesai mencuci tangan dan wajah lalu berganti pakaian.

Apa ia sudah lupa hari apa hari ini?

Aku bersungut-sungut ketika ia menyuruhku kembali ke dapur. Aku duduk di meja konter persegi dengan wastafel di seberang. Seperti biasa ia memetik bunga mawar merah dari semak yang ia rawat bersama Fiola, Si Pembantu Rumah Tangga di dekat kolam renang. Aku memerhatikannya menghirup aroma bunga itu. Ia terlihat berbeda dengan gadis yang tadi melotot dan memarahiku.

Si Gadis kembali masuk dengan beberapa tangkai bunga mawar segar. Ia segera memasukkannya ke dalam vas yang berisi air.

"Kenapa wajahmu jelek begitu?" tanyanya ketika ia sudah selesai dengan bunganya.

Aku mendengus lalu membuang wajah. Dari sudut mataku aku bisa melihat ia sekarang mencondongkan tubuh di atas konter dengan telapak tangannya menopang dagu. "Apa ada yang salah, Yang Mulia?"

Karena kau tidak kunjung menjawab ia lalu memutari konter untuk membuka kulkas. Aku masih menolak berbalik hingga mendengar suara pemantik api. Di tangannya terlihat cake cokelat kecil dengan dua lilin angka "1" dan "0" .  Aku langsung tersenyum sumringah. Setelah Sang Gadis mulai menyanyikan lagu selamat ulangtahun muncullah Fiola, Chris-Si Sopir, dan Paul-Si Tukang Kebun dan ikut bernyanyi. Masing-masing dari ketiga orang itu membawa kado besar.

Lagupun berakhir. Si Gadis membawa cake itu ke hadapanku. "Ayo, tiup lilinnya. Dan jangan lupa ucapkan keinginannmu."

Aku menatap lekat-lekat mata cokelat itu cukup lama sebelum memejamkan mata. Menyebut sederet permintaan dalam hati lalu mengamininya kuat-kuat. Setelah itu aku meniup kedua lilin itu disusul oleh tepuk tangan riuh.

Sebelum Si Gadis sempat menaruh kuenya ke atas konter aku sudah meraupnya dalam pelukanku. Rambut pirang jahenya terasa lembut di lenganku ketika kulingkarkan tanganku di lehernya.

"Terimakasih, Ann. Aku kira kau tidak mengingatnya..."

***

(Lower Manhattan, New York. 1996)

Setelah acara kelulusan berakhir (dan tentu saja yang tidak sempat dihadiri oleh ayah dan ibuku) aku langsung membawa BMW M Roadster berwarna merah keluaran terbaru untuk menemui orang yang paling berjasa atas kelulusanku. Siapa lagi kalau bukan Si Pengasuh yang merangkap sebagai guru privat-ku, Ann. Ia menetap disebuah apartemen sederhana disalah satu kawasan elit New York. Ia sekarang bekerja di bank setempat.

Salah satu permohonanku di ulangtahun yang ke-sepuluh waktu itu adalah aku akan menyampaikan perasaanku padanya. Cinta pertama yang begitu melekat sampai-sampai aku tidak pernah berkencan serius dengan siapapun selama di sekolah menengah.

Aku memilih menaiki tangga daripada harus menaiki lift reyot dengan pagar tralis. Keringatku menetes deras dan aku harus mengatur napasku sejenak sebelum berani mengetuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam. Aku sedang mengelap keringat ketika ia membuka pintu.

Ann terkejut, tentu saja. Aku segera menariknya dalam pelukanku. Ada yang mengganjal ketika memeluk tubuh yang sekarang seluruhnya masuk ke dalam dekapanku itu. Namun aku masih mempertahankan senyumku ketika ia melepaskan pelukan kemudian menyuruhku masuk.

"Ya Tuhan, aku tidak tahu kalau kau sudah... Kau lulus tahun ini, kan?!" Serunya heboh. Ternyata ia masih sama persis dengan Ann delapan tahun lalu. Ann menyuruhku duduk di sofa cokelat pudar yang terlihat nyaman di ruang tengahnya. Ia lalu muncul lagi dengan segelas air dingin di tangan.

"Yeah, bahkan togaku masih ada di jok mobil." Aku mengucap terimakasih sambil meraih gelas dingin yang ia sodorkan. Aku langsung meminumnya dengan rakus. Lututku membentur tepi meja rendah yang diatasnya terdapat setangkai mawar di dalam vas kristal kecil. Aku mendengus pelan memandanginya.

Ann memberiku tatapan penuh simpati. "Mr. dan Mrs. Wyatt masih jarang di rumah, ya? Fiola masih menemanimu di sana, kan?" Ia duduk berdampingan denganku. Wangi mawar menguar dari tubuhnya, membuat relung dadaku terasa sakit. Aku yang tidak tahan menatapnya terus sekarang beralih pada gelas yang meneteskan embun dingin yang ada di dalam genggamanku.

"Yeah, Fiola masih ada. Bahkan Si Tua Paul-pun masih ada." Aku mencoba tersenyum tapi tidak berhasil. Aku menghembuskan napas berkali-kali untuk menguatkan diri. "Ann, aku..."

"Ya ampun! Ia bergerak!" Tiba-tiba Ann memekik girang. Aku langsung mendongak ke arahnya, mata cokelat itu berbinar bahagia. Tanpa menunggu persetujuanku ia meraih tanganku dan meletakkan telapaknya di perutnya. Aku merasakan ada yang bergerak di sana.

"Ann, kau hamil," ucapku lirih. Tanganku yang tidak berada dalam genggamannya bergetar hebat di atas lutut.

"Yeah, lima bulan sekarang. Jimmy sedang mencari apartemen yang lebih luas dari ini untuk keluarga kecil kami." Ia mendesah bahagia, menghiraukan aku yang sedang berusaha keras untuk tidak berteriak tidak tentu arah.

Tidak ada lagi pernyataan cinta yang perlu diucapkan. Aku harus segera pergi dari sini sebelum aku bertindak bodoh dan mulai menghancurkan barang-barangnya yang tidak seberapa. Aku yang bangkit tiba-tiba membuatnya tersentak.

"Aku harus kembali. Aku... Perjalanan ke sini lebih lama dari perkiraanku," kataku sambil berjalan menuju pintu depan. Dalam hati aku berdoa ia tidak mendengar suaraku yang bergetar.

"Kenapa buru-buru? Jimmy sebentar lagi kembali dan aku... aku masih merindukanmu, Ian..."

Tanganku yang sudah berada di gerendel pintu berhenti sejenak. "Kalau aku berlama-lama di sini bisa-bisa aku melukaimu dan juga diriku. Bye, Ann."

Aku mendengarnya memanggil namaku berulang kali, namun aku tetap berlari menuruni tangga. Aku segera memasuki kursi pengemudi dan menancap gas. Aku tidak akan sanggup lagi jika harus tinggal beberapa menit lagi di sana.

Aku mengebut di jalan dan dihadiahi makian dan suara klakson yang bertubi-tubi. Tidak ada yang kupedulikan lagi. Sekarang adalah bagaimana caranya menghilangkan nama Ann dari setiap detak jantungku.

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak melihat lampu yang berwarna merah di perempatan. Tidak sempat menginjak rem aku sudah disambut oleh truk gandeng yang melintas...

***

Beauty Meet The BeastWhere stories live. Discover now