Satu

3.3K 259 40
                                    

Kalau aku ada salah, tolong kasih tau yaahhh. karena aku nggak tau banget soal korea. heheheh

Soal judul, ini benar kok karena diambil dari satu lagu yang judulnya sama dengan cerita ini.

***

Ayah pernah bilang, aku harus bekerja keras agar hidupku bahagia. Mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah, juga mendapatkan pekerjaan yang nantinya bisa membantu keuangan keluarga.

"Jangan menjadi pemimpi seperti ayah." Begitu katanya.

Dulu ayahku memang seorang pemimpi yang ulung. Ia nekat membawa kami sekeluarga untuk pindah ke Seoul tanpa pekerjaan yang jelas, hanya bermodalkan bahasa korea yang ia kuasai dari hasil menonton drama beberapa tahun, juga sedikit rupiah yang ia dapatkan dari pesangon usai kena PHK. Alhasil, selama bertahun-tahun, hanya warung makan di lantai satu rumahku lah yang menjadi penghasilan utama keluarga kami. Kalau sampai warung makan itu bangkrut, aku tak bisa membayangkan akan seberat apa hidupku nanti.

Kringggggggggg... Kriinngggggggg...

"Hana, mau pulang bareng nggak?"

Aku menoleh, menemukan Ji sung sudah berdiri di sampingku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Ransel hitam miliknya menyampir di bahu sebelah kanan, meninggalkan kesan cuek yang terlihat keren di mataku. Satu tangannya keluar, menyapukan rambut poni kecoklatannya ke arah belakang. Ia tersenyum, membuat diriku makin terpana.

"Gimana?"

"A--aku... pulang bareng Bo na." Aku menoleh ke arah Bo na yang duduk di belakangku, menatapnya dengan tatapan memohon. "Iya kan, Bo na?"

Mataku mengerjap-ngerjap. Sampai akhirnya Bo Na mengangguk dengan penuh keterpaksaan.

"Oke. Mungkin besok." ucap Ji Sung dengan nada kecewa.

Setelah Ji Sung pergi meninggalkan kelas, Bo Na langsung menghampiriku. Dengan wajah kesal, ia mencubit lenganku keras.

"Awww! Sakit, Bo Na!!!" Aku meringis.

"Hih! Kenapa nggak iyain aja sih ajakan Ji Sung?"

"Nggak tahu ah. Aku grogi."

Bo na melotot, "Tahu gitu mendingan aku saja yang pulang dengan Ji Sung tadi."

Aku mengernyit, "Memangnya dia mau? Kan yang tadi diajak pulang aku, bukan kita. Dasar gadis genit!"cibirku sebelum berjalan melewati Bo Na menuju pintu kelas. Aku yakin dia pasti sangat kesal, terbukti dengan umpatannya yang terdengar sampai keluar kelas.

"Aiisshh. Sialan kamu!" Bo na memutar bola matanya, lalu berlari ke arahku. Cewek itu menubruk bagian belakang tubuhku. Tangannya memiting leherku keras, membuatku hampir saja limbung karena terkejut dengan serangannya.

"Terima ini, Hana!" katanya berapi-api.

Aku meronta-ronta, berusaha menyingkirkan tangannya dari leherku. "KIM BO NA, KAU GILA!!"

***

"Apa?! Jadi kau akan melanjutkan kuliah di Amerika?" Tanyaku takjub selesai mendengarkan cerita Bo na tentang rencana kuliahnya.

Bo Na memang gadis beruntung yang lahir dari keluarga Kim. Ayahnya seorang sekretaris di perusahan kosmetik bernama Belle petite. Seminggu sekali, Bo na selalu mendapatkan pasokan kosmetik dari sang ayah. Tapi bukan itu yang aku maksud beruntung tadi. Tapi yang ini:

Bo na mengangguk, "Perusahaan tempat kerja ayahku yang membiayai semuanya."

"Daebakkk!"

"Kalau kamu gimana?"

Pertanyaan Bo na itu belum sempat kujawab karena bus yang sejak tadi kami tunggu akhirnya datang. Aku dan Bo Na masuk dan duduk di tempat favorite kami, di kursi paling belakang bus.

Dari tempatku sekarang, aku bisa melihat aktivitas apa saja yang sedang terjadi di dalam bus. Ibu muda yang sedang bercerita dengan anaknya di bangku depan, seorang kakek tua yang sedang menatap keluar jendela di bangku tengah, juga seorang laki-laki dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya duduk selisih dua bangku di sampingku. Bus yang kami tumpangi melaju menuju rute 5, Dongjak-gu, Gwanak-gu, dan berakhir di Geumcheon-gu, tempat tinggalku.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Hana." ucap Bo Na di tengah perjalanan.

"Aku belum tahu mau kuliah di mana. Menurut kamu, aku cocoknya jadi apa?"

Bo na terlihat berpikir, sampai akhirnya ia menjawab, "Dokter?"

"Dokter?" Aku membeo.

Bo na menggeleng cepat-cepat, "Tidak! Jangan Dokter! Gimana kalau... Aktris?"

"Hah? Aktris?" Sekarang gantian aku yang menggeleng. "Kerja di dunia entertainment itu nggak pasti, Bo na. Buang-buang waktu saja."

"Kau cantik, Hana. Lebih baik ikut audisi pencarian bakat dari pada kuliah. Justru bagiku kuliah lah yang buang-buang waktu."

"Bo Na, Aku mau pekerjaan dengan gaji yang pasti, yang tetap, bukan Aktris dengan gaji yang tak pasti. Seperti orang yang baru masuk itu." Aku menunjuk perempuan dengan setelan kerja yang baru saja masuk ke dalam bus. "Kalau aku jadi sekretaris seperti ayahmu bagaimana?"

"Aku pikir itu bukan ide yang buruk," katanya. "Tapi asal kau tahu saja ya, jadi sekretaris itu bukan pekerjaan yang mudah. Tidak menyenangkan pula." ujar Bo na.

"Setidaknya itu lebih baik dibanding jadi pelayan di rumah makan," balasku sengit.

Bo na memutar bola matanya. "Ah sudahlah. Terserah kamu saja. Aku duluan ya, Hana."

Bo Na bangkit dari tempat duduknya tak lama setelah sang supir mengatakan jika kami sudah sampai di distrik Gwanak-gu. Bo Na melambaikan tangan sebelum pintu tengah bus terbuka dan cewek itu melompat turun. Dari balik jendela bus aku melambaikan tangan ke arahnya.

"Bye bye!" ucapku tak bersuara.

Aku memalingkan pandanganku dari arah jendela setelah bus kembali melaju menuju distrik Geumcheon-gu. Dalam perjalanan, mataku tak sengaja bertemu dengan cowok bermasker yang sejak tadi duduk menyandar pada jendela di sudut bus, satu baris denganku. Dengan jarak dua bangku sebagai pemisah, aku bisa melihat ekspresinya dengan jelas. Jika tak salah melihat, mata sipitnya tersenyum seolah menyapa. Aku terdiam sejenak sebelum membalas sapaannya dengan anggukkan ragu, lalu bangkit dan mendekat pada pintu tengah ketika bus berhenti di salah satu halte di distrik Geumcheon-gu.

***

Cerita ini terlepas dari cerita i'm yours.

Aku buat cerita ini usai menonton video clip iKon. Semoga kalian suka yaaa.

Jangan lupa Vote dan Komen ya guys

Love you :*
Putrilagilagi

What You DoingWhere stories live. Discover now