✰ Counting Stars || 7

1.3K 214 35
                                    

“Mom, beri aku waktu untuk berpamitan pada Camryn.” Seru Harry seraya berkemas pakaiannya. Anne yang ada diambang pintu menghampiri putranya kemudian duduk ditepi kasur.

Sejenak ia melihat wajah Harry yang murung dan sedih. Sungguh, meremukan hati seorang ibu. “Baiklah. Tapi, kita tidak bisa berlama-lama okay?”

Kemudian, Harry mengangguk senang dan memeluk sang ibu. “Terima kasih, hanya dua hari, Mom.” Tuturnya. Setelah itu, dia kembali berkemas. Sudah dari 2 jam yang lalu, Harry pulang dari rumah sakit dan harus segera berkemas saat itu juga mengingat pengobatannya harus segera dilaksanakan tanpa ganggu gugat.

Melihat Harry sedang sibuk, Annepun memilih keluar. Ia tahu anaknya itu butuh waktu. Harry memandangi sebuah figura, disana terpampang jelas dirinya sedang merangkul Camryn, keduanya terlihat sangat gembira. Tidak ada wajah pucat Harry sekarang ini, yang ada hanyalah sebuah kebahagiaan diantara mereka berdua.

Terlintas dipikiran Harry, ia harus membuat sebuah pesan untuk Camryn sebelum dirinya benar-benar pergi jauh. Iapun mengambil kamera untuk mem-video dirinya. Kemudian, Harry menduduki tepi ranjang dan langsung merekam dirinya pada video tersebut.

Harry berusaha sesempurna mungkin, ia berusaha tersenyum walaupun berat sekali untuknya. Bibirnya sedikit bergetar. Iapun memberanikan diri dan mulai berbicara.

Hai, Camryn. Kesayanganku, kecintaanku, mungkin setelah kamu melihat ini, aku sudah tenang diatas sana. Senang rasanya membayangkan kalau aku akan kesana dan menari dengan para bidadari yang cantik. Oh  maaf, membuatmu cemburu.” Harry memotong perkataannya dengan terkekeh pelan, sungguh sebenarnya ia ingin menangis tapi ia tidak boleh menangis.

Cam, terima kasih sudah membuat hari-hariku penuh warna. Terima kasih karena dulu kamu ingin menjadi temanku. Tapi, sekarang aku harus pergi dan setelah kamu melihat ini aku juga sudah pergi. Cam, kau tahu betapa berartinya dirimu untukku. Aku tidak ingin melihat kamu menangis, aku ingin kamu bahagia. Sangat, bahagia. Walaupun bukan bersama diriku. Hitunglah seluruh bintang diatas sana dengan yang lain. Kemudian, sebut namaku dalam hati dan katakan kau sudah bersama orang yang tepat. Tapi, aku selalu menjagamu dari atas sini. Ya, Camryn kau harus percaya. Aku mencintaimu.”

Rasanya aku sudah lelah, Cam. Aku ingin tidur panjang, tenang saja oke? Aku kan sudah bilang akan menjagamu dari atas sini. Cam, jika kamu merindukan aku cukup lihatlah bintang, cukup menghitung ada berapa bintang diatas. Jika, kamu menunjuk satu bintang yang terakhir, itu mungkin aku yang sedang memperhatikan mu dari sini. Aku senang pernah memilikimu, sayang dan satu lagi; Aku tidak ingin melihatmu menangis. Selamat tinggal selamanya, Camryn Anderson.”

Setelah dirasanya cukup, Harry mengambil gitar kesayangannya dan bernyanyi. Kemudian, lelaki itupun mematikan kamera video-nya dan menulis sebuah surat. Setelah itu, ia menghampiri Gemma yang sedang berkutat pada laptopnya. Kakak perempuan Harrypun langsung melemparkan senyum ketika melihat adiknya diambang pintu.

“Masuklah.” Suruh Gemma, Harrypun menurutinya, kemudian duduk bersebelahan dengan Gemma.

“Aku mau kamu memperlihatkan video ini pada Camryn jika aku sudah tidak ada, aku mohon bagaimanapun caranya. Dan, surat ini kamu bisa titipkan pada bibi yang menjaga rumah ini selama kita tidak ada, pasti Camryn akan menghampiriku.” Jelas Harry. Gemma mengangguk cepat, ia sedikit sedih melihat adiknya berkata seperti itu. Gemmapun memeluk adiknya, kemudian menangis.

Harry menatap Gemma nanar, “Tenang saja, Gemma. Dan oh, aku mau kamu tidak menangisi aku nanti ya.”

Tidak ada jawaban, Harrypun memilih untuk melepaskan pelukan Gemma dan keluar dari kamarnya. Harry hanya tidak ingin melihat seseorang menangis karena dirini dan itu akan membuat pertahanannya jatuh, dan menangis juga. Sebelumnya, Harry sudah sangat berani mengalami kematian tetapi ketika gadis itu datang semuanya runtuh. Ia takut sekali. Takut akan meninggalkan gadis itu selamanya.

 

*

Ia datang kesekolah seperti biasanya, duduk dibangku biasanya, dan diam seperti biasanya. Sama sekali tidak ada yang berubah. Hanya saja mukanya yang pucat membuat semua orang bertanya-tanya.

Setelah duduk ditempatnya, Harry mengambil buku sketsa nya dan mulai menggambar. Tipikalnya dari dulu.

"Harry, kau sudah masuk sekolah. Kenapa kemarin tidak masuk? Apalagi minggu paginya kamu dan keluarga tidak ada." Gerutu Camryn seraya mengambil bangku kosong yang ada dihadapan Harry.

Harry melemparkan senyumannya, "Like i said before, urusan penting dan mendadak."

Yang diajak berbicara hanya mengangguk-ngangguk. Pandangannya berhenti pada buku sketsa milik Harry. Ia menggambar sebuah pemakaman. 

"Harry, kenapa kamu menggambar pemakaman huh?" 

"Aku suka sekali dengan pemakaman, dan uh aku ingin-" Ingin menyesuaikan diri saat aku tinggal disana nantinya.

Bel yang berbunyi menyelamatkan Harry, kemudian seisi ruangan yang tadinya gaduh mendadak sunyi ketika mendapati satu guru yang masuk keruangan.

Kelas berjalan seperti biasanya, Harry yang biasanya selalu aktif menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru, dan sekarang malah diam. 

"Mr. Styles are you okay?" Tanya Mrs. Katie setelah melihat lubang hidung milik Harry mengeluarkan cairan merah yang sangat pekat. Harry tidak menyadarinya dan hanya tersenyum sebagai jawaban.

Seisi kelas memandangi Harry dengan cemas, "Harry, hidung kamu berdarah." Ujar Lea. 

Sontak Harry langsung menutupi hidungnya dan berlalu menuju kamar mandi tanpa pamit. 

"Maaf Mrs. Katie, aku ingin menghampiri Harry. Takut dia kenapa-kenapa." Ucap Camryn seraya berdiri dari tempatnya setelah itu dia keluar kelas tanpa menunggu persetujuan dari Mrs. Katie. Dia begitu panik dan cemas akan keadaan Harry, sesampainya di toilet, ia menunggu didepan pintu. 

Tidak ada tanda-tanda kehidupan didalam toilet, akhirnya ia memutuskan untuk masuk, dan menemukan Harry yang sedang memandangi dirinya dikaca dengan tatapan kosong. 

"Hei, sedang apa?" Tanya Camryn berhati-hati. Harry memalingkan wajahnya kearah Camryn kemudian memeluk gadis itu. 

"Sedang berkaca, wajahku terlihat sama dengan vampir." Jawabnya sambil terkekeh pelan, sejurus kemudian Camryn menangis. 

"Harry, ada apa dengan dirimu? Apa yang kamu sembunyikan? Kamu sakit huh?" tanya Camryn, gadis itu terisak-isak.

"I'm okay, everything is gonna be okay, babe." Jawab Harry seraya mencium puncak kepala Camryn. Sungguh, ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya. Ia sungguh kacau, bibirnya beku ketika ia ingin bicara apa yang sebenarnya kepada Camryn seolah ada yang menahannya untuk tidak bicara dari dalam.

*

Akhirnya, Harry dan Camryn memutuskan untuk membolos. Keduanya memilih untuk berdiam diri di taman sekolah. Tidak ada yang berbicara, hati mereka terasa sesak untuk memulai. Camryn yang merasa ada yang tidak beres pada Harry, seketika itu juga dia membenci lelaki itu, Camryn merasa dirinya tidak bisa dipercaya oleh Harry karena Harry tidak membicarakan apa yang terjadi dengan dirinya.

Melihat Camryn yang hanya diam menatap kosong kedepan, Harrypun membelai rambut pirang milik Camryn. "I love you, Cam." Bisik Harry kearah telinga gadis itu. 

"Tell me the truth, Harry Styles. Let me know, let me know if you love me. Is it easy right?" Tanya Camryn sarkastik.

"I can't. Seiring berjalannya waktu kamu akan tahu itu."

Setelah itu, Harry memilih untuk mengunci bibir Camryn dengan bibirnya. 

Tadinya, ia akan berpamitan pada Camryn kalau akan pergi jauh. Like i said before, dirinya belum cukup kuat untuk memberitahu gadis itu dan membiarkan Camryn selalu bertanya-tanya dalam hati. 

***

TO BE CONTINUED.

DUA CHAPTER LAGI SELESAAAAI. YEAY. 

Vomment please x 

Counting Stars ⇨ stylesWhere stories live. Discover now