Rumah Panggung

477 14 14
                                    

Gerungan motor beradu dari arah berlawanan maupun yang searah. Saling mendahului. Sinar lampu penerang sepanjang jalan menerpa. Dengan penuh hati-hati, Aditya membelokkan motor yang dikendarainya di pertigaan. Tersenyum sendiri. Air mukanya teraliri kebahagian dari dalam. Motor itu patuh membawa sang majikan menjajaki jalan raya. Tak lama kemudian, Aditya berhenti tepat di depan rumah komplek satu desain itu. Taman mini berhias bunga-bunga yang tertata rapi mulai dari gerbang hingga ke dalam, senantiansa menyambutnya.

"Kak, masuk dulu, aku belum selesai," teriak Vina yang berdiri di pintu. Ia kemudian tersenyum simpul.

"Tidak usah aku di sini aja," jawab Aditya sambil membuka helemnya. Ia lalu turun dari motor untuk meregangkan otot, ke kiri dan kanan.

Vina pun menurut saja, ia lantas masuk dan kembali berhias buru-buru. Vina tidak perlu memoles dirinya dengan beranekaragam alat make-up. Bedak yang tipis alakadarnya saja malah membuatnya lebih terlihat manis. Ia lalu menarik sweter coklat yang tersampir di sudut tempat tidurnya. Sepatu hak tinggi miliknya buru-buru ia kenakan. Ia lalu keluar tergesa dengan merasa benar-benar bersalah atas keterlambatan itu.

"Sudah siap?" Aditya tersenyum yang sedang duduk santai di atas motor. Sejenak ia terkesima dengan penampilan sederhana itu.

"Iya," jawab Vina.

* * *

Aditya menarik gas motor itu dan melaju hingga menembus jantung kota. Aditya merasakan kegugupan dalam hati. Ia tahu persis, detakan itu mulai muncul kemarin, saat pertemuan terakhiranya dengan Vina. Apa lagi saat ini, bermotor berduaan.

Vina menepuk pelan pundak Aditya seraya berkata, "Kak, di depan belok kanan, ya!"

Aditya mengangguk pelan.

Dengan instruksi dari Vina, Aditya menghentikan motor itu tepat di depan rumah panggung. Berdinding papan. Rumah itu terlalu sederhana dengan keberadaannya di pinggiran kota. Tak ada tanaman hias di halaman. Layaknya yang sering dinikmati Aditya di depan rumah Daeng Sulham.

"Eh, Kak Aditya. Ayo naik." Yory berlari kecil menuruni anak tangga untuk menyambut tamunya. Sejenak kemudian, pelukan berhamburan menghiasi kedua sahabat itu.

Kerinduan mendalam akhirnya terijabahkan. Semenjak ujian akhir nasional di sekolah selesai, Yory pulang ke Palopo. Iya tidak lagi kuliah seperti Vina. Ia malah memilih pulang kampung terlebih dahulu. Dan, kedatangannnya saat ini–di rumah neneknya–belum punya tujuan pasti. Antara kuliah atau bekerja.

"Ayo, Naik, Kak!" kata Yory sambil menggopong manja Vina untuk menaiki anak tangga rumah panggung itu.

Lantai papan berlapis karpet tua berwarna merah menjadi tempat duduk di rumah itu. Tak ada kursi tamu di ruangan. Aditya mengedarkan pandangan. Terdapat sebuah potret kusam berukuran 10 x 5 cm menempel di dinding. Vina dan Yory yang menjadi model dari poster tersebut. Mereka menggunakan seragam putih abu-abu. Dari poster terlihat kedekatan mereka yang tak terpisahkan di sekolah dahulu.

Aditya duduk sendiri di ruangan tamu. Sementara Vina, Yory dan Nenek bersileweran di dapur. Mereka sibuk menyediakan makanan. Sesekali Aditya dapat memperhatikan Vina dalam diamnya. Mulai lagi perasaan itu muncul. Semakin disembunyikan semakin kuat pula ia menampakkan diri. Bahkan, semakin jelas.

Kuakui, aku jatuh cinta! kata Aditya dalam hati. Besar usaha Aditya untuk menghindari rasa itu. Akan tetapi, arus balik yang datang pun lebih besar. Apa benar ini cinta? Rasa yang begitu percaya diri lagi-lagi merasuk ke batinnya. Terbius sempurna. Cinta, pada umumnya dijabarkan sebagai simbol kebahagiaan. Namun, berbeda dengan yang dirasakan oleh Aditya. Ia malah bingung seperti apa itu cinta.

* * *

The Story of SailorWhere stories live. Discover now