Bagian 3

29.7K 1.6K 56
                                    

"Nduk kamu dah bangun?"

Aku mencoba membuka mataku. Saat kubuka mataku cahaya seakan menusuk. Silau.

Kudengar jeritan kegembiraan ibuku. Lantuan kalimat hamdalah terus diucapkannya.

"Nak ibu seneng kamu bangun. Udah dua minggu kamu koma. Ya Allah... ibu bahagia nak." Aku ingin menjawab rasa bahagianya.

Tapi terasa sulit. Aku haus.

Dokter datang setelahnya. Memeriksaku dan aku hanya bisa diam. Dokter bilang ini sebuah keajaiban. Jatuh dari ketinggian seperti itu tapi kedua-duanya tetap selamat. Ini benar-benar anugerah. Katanya.

Aku merasa sesuatu janggal tapi mataku tak sanggup dibuka kembali. Aku mengantuk.

**

Aku masih menggeleng. Aku tidak mau melihatnya. Aku tak mau iba padanya.

"Nak, sebenci apapun kamu pada pria itu tapi anakmu tak berhak dibenci juga." Ibuku kembali mengiba.

Aku diam. Aku memilih menatap diluar jendela. Sudah satu bulan sejak kecelakaan itu terjadi. Aku mengalami patah kaki. Parah. Aku belum bisa berjalan dengan kaki yang di gips sekarang. Pada akhirnya aku hanya bisa berbaring sekarang.

Tapi aku masih harus menerima kenyataan yang tak kuharapkan terjadi. Kenapa bayi itu bisa selamat. Andai posisi ku jatuh tengkurap bukan terlentang pasti bayi itu tak akan bernafas sekarang. Ah sial, kenapa jadi makin rumit? Tak bisakah aku terlepas dari ikatan menyebalkan ini?

Ibu bilang sekarang dia berada dalam inkubator. Kelahirannya prematur. Bayi itu perempuan, mungil dan cantik. Sampai sekarang aku masih menolak bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mau menemuinya.

Dokter tadi pagi pun memintaku bertemu dengan bayi itu, memintaku untuk memberinya semangat. Tapi... aku masih membenci semua hal ini. Aku tak bisa menerimanya. Dia dan ayahnya adalah mimpi buruk bagiku.

"Aku tidak mau tinggal dikota ini. Aku mau pergi." Kataku akhirnya.

Ibuku terdiam, hembusan nafasnya seakan menjelaskan kepasrahannya.

"Ibu nggak mungkin pindah dari kota ini nak, nak kamu tahu kita tak punya apapun jika pindah ke kota lain. Nak, ibu nggak bisa jauh darimu nduk."

Aku menoleh padanya. "Biarkan Ita pergi bu. Ita mau pisah dari anak itu dan kota ini. Ita nggak sanggup bu." Aku menangis mengaung.

"Sagita anak ibu itu kuat. Sagita sekarang seorang ibu, dan ibu yakin Sagita Amanah bisa."

Ibu menggenggam tanganku. Seakan menyalurkan energi positifnya. Tapi aku sudah tak bisa. Aku sudah tak sanggup. Aku sudah tak kuat lagi.

"Bu, Ita mohon biarkan Ita pergi. Saat Ita siap, Ita pasti kembali. Ita mohon...," aku menatapnya sendu seraya mencengkeram erat tangannya.

"Ita, apa kamu tak mau mengurungkan niatmu. Ita lakukan demi ibu."

Aku memberi tatapan memohon padanya. Natasya datang dengan senyum pasrahnya. Aku tahu banyak yang menolak kemauanku. Dokter pun lebih memilih mendukungku setelah mengetahui kisah kelamku. Mungkin dia prihatin dengan kejiwaanku.

Natasya melangkah mendekati kami setelah meletakkan barang bawaannya.

"Ikutlah dengan kakakku Linda ke Medan. Dia disana akan membuka toko kue. Kamu bisa membantunya dan mulai menata kembali hidupmu."

"Sya, terima kasih. Ibu...,"

Aku tahu dia sedih menerima semua kenyataan ini. Seribu maaf yang kulontarkan tak akan mampu mengobati kekecewaannya pada ku.

SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang