Chapter 17

2.1K 174 17
                                    

Evan kembali menutup pintunya. Pelayan itu sudah pergi, makanan sudah terhidang di meja kecil yang berada di tengah ruangan. Ia kembali melepas handuknya dan lagi-lagi aku dibuatnya menelan ludah. Ia mengangkat satu alisnya dan menatapku dengan jahil.
"Masih mau diteruskan?"
Aku bingung, aku ingin melakukannya dengan Evan mengingat mungkin inilah memang waktu yang pas untuk aku melakukannya. Tetapi, di sisi lain aku takut, karena ini memang pengalamanku. Meskipun sudah lama aku menyukai pria, namun aku belum pernah melakukan hal itu.
"Sebaiknya nanti saja. Kau harus makan Evan"
Evan menghembuskan nafasnya lesu. Bahunya yang tegap kini merosot ke bawah karena mendengar pengalihan pembicaraan dariku. Ia mengambil handuknya kembali yang sengaja ia jatuhkan.
"Tunggu" kataku.
Tangannya berhenti mengambil handuk. Dengan segera aku menghampirinya. Aku memeluknya. Evan sedikit bingung dengan apa yang kulakukan padanya.
"Bukannya aku tidak mau, tapi aku rasa ini bukan waktu yang tepat. Aku masih takut"
"Maksudmu kau takut dengan ini"
Dia menggesekkan kemaluannya padaku. Aku mengangguk malu. Gelak tawa muncul ketika aku selesai mengangguk. Evan mencium puncak kepalaku dengan lembut.
"Ya sudah jika kau masih takut. Kita lakukan hal itu nanti saja jika kau sudah siap. Aku tidak mau memaksamu sayang"
Ia menciumku lagi. Kali ini bibir kami yang saling berpagutan.
"Tapi bolehkah aku meminta yang lain padamu?"
"Apa?"
"Pakaikan baju untukku, mulai dari celana dalam sampai baju. Kau mau?"
Aku mengangguk lagi, meng-iyakan keinginannya. Evan tersenyum dengan girang.

Author P.O.V

Angin musim semi yang sebentar lagi akan menghilang, berhembus menyapa Stefan yang sedang duduk di depan rumah. Ia sedang menikmati secangkir teh sore itu. Baru saja ia menelfon adiknya, Adrian masih bersama Evan. Entah kapan ia akan pulang, tapi tadi adiknya bilang kalau ia tak akan menginap.
Tadi ia sempat kesal karena adiknya harus dibawa pergi ketika ia sedang menikmati kebersamaan dengannya. Akhir-akhir ini Stefan memang sering cemburu ketika Adrian membicarakan tentang kekasihnya.
Sebuah telepon memecah keheningan. Stefan tersadar dari lamunannya. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di meja.
"Halo"
"Stef, sebaiknya kau cepat pergi ke gedung apartemen miliki keluarga Darren cepat!" Suara keras itu membuat kuping Stefan terasa sakit.
"Nicholas, bisa kah kau berbicara sedikit lebih pelan?"
"Maafkan aku, tapi cepatlah kemari. Kami butuh bantuanmu. Darren sedang mencoba untuk bunuh diri sekarang"
Stefan terkejut. Ia mematikan sambungan telepon dan segera mengambil kunci mobilnya untuk pergi.
Ia memacu mobilnya di jalanan dengan cepat. Untung saja hari ini jalanan sedang lenggang. Jantungnya berdebar cepat. Stefan kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia tidak tahu masalah apa yang dihadapi oleh Darren sehingga ia melakukan hal segila ini. Setibanya di lokasi, ia melihat banyak orang berkerumun disana. Semua orang tengadah, melihat seseorang di lantai delapan sedang berdiri di ujung balkon.
Satefan berlari keluar dari mobilnya. Menembus kerumunan orang hingga ke barisan terdepan. Disana ia menemukan teman-temannya yang lain, James, Peter, dan Nicholas. Ketiga temannya segera menghampiri Stefan yang baru saja tiba.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Tanya Stefan dengan panik.
"Aku tidak mengerti, yang pasti sebelum ini ia dan kekasihnya bertengkar" jelas Peter.
"Lalu kenapa kalian tidak naik ke atas untuk mencegahnya"
"Kami sudah melakukannya Stef, tetapi pintu apartemennya dikunci. Lalu Darren mengancam kami, jika kami mencoba menerobos masuk, ia akan menjatuhkan dirinya"
"Sial!"
Stefan berlari masuk ke dalam. Ia menaiki lift menuju lantai delapan. Keadaan lorong lantai delapan sangat sepi. Ia mendobrak masuk kamar nomor tiga. Dalam dua kali dobrakan, pintu itu terbuka. Ia masuk ke dalam dan melihat Darren sedang terisak. Kedua tangannya masih berpegangan pada pembatas balkon.
"Darren apa yang kau lakukan. Apa kau sudah gila!" bentak Stefan yang mengejutkan Darren sehingga ia menoleh ke belakang.
"Diam disana! Jangan maju selangkahpun atau aku akan terjun" Darren tak kalah keras membentaknya.
Stefan diam, tak bergerak sedikitpun. Namun ia tetap waspada.
"Ceritakan padaku apa masalahmu, ayolah Darren jangan melakukan ini"
"Dia telah menyakitiku Stefan, dia telah menyakitiku."
"Siapa maksudmu? Julian"
"Lelaki itu sudah memiliki istri, dia telah menghianatiku. Padahal aku sudah berkorban segalanya untuk dia. Aku telah mengorbankan cintaku sendiri demi dia."
Stefan diam sejenak. Ia tahu bagaimana rasanya jika ia berada di posisi yang sama dengan Darren.
"Jangan bersedih. Kau masih memiliki aku dan yang lainnya. Jadi ayolah pergi dari sana. Aku mohon"
"Tidak Stefan, tidak! Aku sudah tidak layak lagi utnuk hidup bersama kalian."
"Aku mohon Darren aku mohon"
Darren tidak menjawab sedikitpun. Ia kembali menatap kedepan. Stefan mendengar Darren menghela nafas panjang.
"Maafkan aku Stefan, aku mencintaimu"
Darren melepaskan pegangannya, lalu ia menjatuhkan diri. Stefan berteriak, berlari untuk menggapai tubuh Darren. Namun ia tak berhasil. Ia melihat tubuh Darren melayang jatuh ke bawah. Beberapa detik kemudian, tubuh itu menghantam aspal jalanan dan menimbulkan jeritan histeris dari banyak orang yang melihatnya.

Stefan P.O.V

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Darren sudah meninggal. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tubuhnya yang melayang di udara dan menghantam aspal jalanan. Darah yang berceceran membuatku mual. Untuk beberapa menit tadi aku tergeletak begitu saja, duduk di lantai apartemennya dengan lemas. Tubuhku bergetar, mataku bercucuran air. Untung saja ketiga temanku segera menghampiri dan menyadarkan diriku yang begitu terkejut dengan segalanya yang terjadi dengan cepat itu.
Ketiga sahabatku menangis dalam pelukanku. Mereka terus menyebut nama Darren berkali-kali di sela-sela isak tangisnya. Sekitar sepuluh menit kemudian polisi mulai berdatangan dan mengamankan lokasi kejadian. Garis polisi mulai dibentangkan di sekitar apartemen. Aku dan ketiga temankupun diamankan.
Mayat Darren sudah diangkut dari jalanan. Tubuhnya yang tak bernyawa sudah dimasukan dalam kantung mayat yang kini disimpan dalam mobil ambulance. Tapi aku masih bisa melihat darahnya yang berceceran di tempat tergeletak mayatnya tadi.
"Lalu sekarang kita mau bagaimana?" tanya Nicholas disela-sela tangisnya.
"Kita harus pergi ke rumah sakit untuk mengurusi semuanya. Peter, kau telepon ayahnya Darren." Perintahku.
"Sudah aku lakukan, ayahnya sudah menunggu di rumah sakit"
"Baiklah kalau begitu, kita pergi sekarang. Kalian semua naik ke mobilku saja"
Kami berempat mengikuti mobil ambulance yang membawa jenazah Darren. Selama dalam perjalanan, hatiku tak bisa tenang. Bayangan tentang dirinya yang terjatuh tadi seolah-olah menghantuiku. Aku jadi kesal dengan diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa menahannya. Padahal, harusnya tadi aku segera memeluknya dan menggusurnya untuk menjauh dari sana. Aku bisa melakukannya, namun aku terlalu takut.
"Kau baik-baik saja?" Peter mengusap punggungku.
Aku hanya mengangguk sambil menahan air mataku agar tak terjatuh.
Rumah sakit langsung ramai ketika mobil ambulance masuk ke tempat parkir. Para perawat dan beberapa orang lainnya yang tidak aku ketahui segera bekerja. Kantung mayat dari dalam ambulance dikeluarkan. Disimpan di atas brankar dan dibawa masuk ke dalam. Aku dan ketiga temanku mengikuti.
Ketika sampai di lorong kamar mayat, aku melihat ayah Darren menunggu di pintu kamar mayat. Lengkap dengan stetoskop dan jas putih dokternya. Aku melihat matanya sembab karena tangis. Ketika aku menghampirinya ia memelukku dengan erat. Tangisnya kembali pecah di pelukanku. Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut punggungnya.
"Aku tidak mengerti dengan anakku sendiri. Apakah aku telah salah mendidiknya Stefan?"
"Sudahlah, ini memang sudah menjadi takdir. Aku harap kau bersabar"
Beberapa saat aku menenangkannya. Lalu ia masuk ke dalam kamar mayat untuk melihat tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa.
Lagi-lagi aku terduduk lemas di bangku yang berjajar di sisi lorong. Begitupun dengan ketiga temanku. Mereka masih merasakan sedih, saring merangkul dan menangis. Aku menghela nafas untuk menenangkan diriku, dan teleponku berdering. Sebuah panggilan masuk ku terima dari Adrian. Aku lupa mengabarinya tentang hal ini.
"Halo"
"Halo Stef, kau dimana? Rumah terkunci. Apa kau di dalam"
"Maafkan aku Adrian, aku pergi tanpa mengabarimu terlebih dahulu. Sekarang aku sedang berada di rumah sakit."
"Hah di rumah sakit? Kenapa? Apa yang terjadi?"
"Darren meninggal"
"Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi Stef?"
"Sebaiknya kau kemari saja. Akan kujelaskan nanti"
"Baiklah, aku pergi kesana sekarang dengan Evan. Tunggu saja"

........

Maaf atas keterlambatan postingannya ya. Jaringan disini jelek banget, maklum namanya juga di kampung. Untuk chapter selanjutnya akan ditunda dulu untuk tidak diposting. Stok chapternya belum terkumpul banyak karena saya sedang menikmati liburan sebelum kembali kuliah di tanggal 3 nanti hehehehe.. (saya juga ingin rehat). Selain itu, saya juga mau kalau tulisan saya itu dikomentar. Baik atau buruknya. Terus apa kurangnya. Kebanyakan disini silent reader yaa :'( tapi gak apa-apa sih daripada gak ada yang baca sama sekali. Cuma saya harapkan, kedepannya banyak yang komentar dan vote.

Saya harap kalian juga gak canggung ya untuk kirim pesan dan sebagainya kalau ada saran. Pokoknya terima kasih banyak untuk kalian semua. Jangan lupa komentarnya.

Sayang kalian

Muuuaaaacchhhh #kecuppipisatusatu

Winter SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang