Kata Rangga, "Usaha!" (Aron)

4.2K 318 11
                                    

Ditemani lagu Versace On The Floor milik Bruno Mars yang diputar lewat aux, gue mengendarai mobil dengan kecepatan normal di tengah ramainya jalan raya kota di siang yang menyengat ini. Seperti biasa, kalo gue sama dua sahabat gue itu, si David dan Rangga, sudah ada dalam satu mobil, pasti bakal jadi gaduh. Kayak sekarang. Mereka pada nyanyi dengan suara lantang dan menggunakan kepalan tangannya sebagai mic.

Udah biasa, mobil gue dijadiin tempat karaoke supermini.

"SO BABY LET'S JUST TURN OFF THE LIGHTS ..., AND CLOSE THE DOOR! UUU I LOVE THAT DRESS BUT YOU WON'T NEED IT ANYMORE ..., NO YOU WON'T NEED IT NO MORE, LET'S JUST KISS TILL WE'RE NAKED, BABY ..., VERSACE ON THE FLOOR."

It's Rangga, pemirsa.

"Sensor tuh, sensor!" teriak David heboh.

Gue tertawa pelan sambil geleng-geleng kepala melihat Rangga di sebelah gue dan David yang duduk di belakang. Sehabis bernyanyi dengan penuh penghayatan, kini Rangga dan David berjoget ria yang menurut gue ..., ugh! Jijik banget liat mereka berdua. Sumpah! Pengen rasanya gue buka pintu di sampingnya dan nendang dua-duanya ke jalan aspal di luar sana. Hm, anggap aja gue jahat.

"Ron! Gue abis liat snapgram-nya Sopi dia lagi maen ke rumah Eva!" seru Rangga sambil menatap layar ponselnya.

Gue menginjak rem melihat lampu lalu lintas berubah merah.

"Si Eva abis potong rabut, Ron! Sebahu! Gue hampir bilang dia lebih imut dari Sopinya David!"

Gue melotot. "Seriusan, Ga?" Rangga baru akan menyodorkan ponselnya tapi gue udah rebut duluan. Gue menyentuh touch screen ponsel Rangga tanpa melepasnya untuk melihat snapgram Sophia lebih lama.

Bener! Si Adeeva--atau dipanggil Eva di sekolah--motong rambut sebahu, berponi tipis lagi! Serius, keimutannya bertambah. Apalagi kalo senyum dia punya eyesmile, seperti yang gue liat sekarang di foto selca-nya dengan Sophia, sahabatnya.

"Gimana?" David yang duduk di belakang mencondongkan badan ke depan, menanyakan pendapat gue.

Tapi gue masih fokus sama foto itu, jadi Rangga yang mengambil alih untuk menjawab, "Nggak usah ditanya, Vid. Liat aja dia udah senyam-senyum nggak jelas gitu, ya pasti sukalah!"

Masih tersenyum, tepatnya terpesona, gue mengembalikan ponsel Rangga. "Seperti yang lo bilang, dia makin imut."

Gue ngebayangin mukanya kalo lagi biasa-biasa aja. Sepasang mata bulat, hidung kecil dan mancung, dan bibirnya yang selalu berwarna merah cherry menambah kesan imut dengan potongan rambut sebahu plus poni tipis yang menutupi keningnya. Gimana gue nggak tambah suka coba?

Well, gue emang suka dia. Adeeva Christina Kusuma. Temen lama waktu gue masih SD, yang sekarang sekelas sama gue dari kelas sepuluh, dan satu-satunya cewek yang dalam daftar absen namanya menempati urutan lima teratas karena inisial depannya 'A', btw, nama gue berada dua kolom di bawah namanya. Gue harap, sebelum kita lulus, gue bisa sekelompok sama dia kalo ngerjain tugas kelompok.

Gue suka Eva sejak masuk kelas duabelas. Bukan karena keimutannya--dulu aja gue nggak pernah sadar dia cantik plus imut--but because her kindness, yang belum pernah gue temuin dari seorang cewek. Intinya, dia cewek paling baik dan murah senyum yang pernah gue kenal. Dia juga nggak banyak bicara. Dan untuk hal itu, gue sebenernya nggak begitu yakin, sih. Soalnya dia gitu ke gue, tapi yang gue sering amati selama ini, gue malah lihat dia sebagai sosok yang ceria dan bersemangat.

"Jadi, Ron, kapan nih lo mau nembak dia?" tanya Rangga.

Pertanyaan itu selalu berhasil buat gue bingung sendiri. Gue menaikkan posisi kacamata gue dengan canggung. "Gue ...."

"Lah gimana mau nembak, Ga? Orang dia aja bahkan masih berdiri di garis start, belum niat buat gerak," potong David.

Gue diem aja, sih, karena kenyataannya emang gitu. Gue ..., terlalu malu buat bergerak maju dari garis start.

Tiba-tiba Rangga nepuk bahu gue. "Ron, jadi cowok lo harus beranilah. Kalo lo nggak gerak, gimana lo bisa tau perasaan dia ke elo gimana? Siapa yang tau kalo dia beneran suka sama lo tapi dia juga malu. Kalo dua-duanya sama-sama malu, ya gimana dong?" Gue menghela nafas panjang mendengar ocehan Rangga. Yang semua dia bilang emang bener. Gue bukannya malu, tapi gue cuma nggak punya cukup keberanian di depan dia. Buat minta tolong sesuatu sama dia aja gue selalu ragu.

"Sebelum semuanya telat, Ron."

💘

Gue memarkir mobil di depan pagar rumah gue.

Menyusul dua sahabat gue, gue mematikan mesin mobil kemudian turun. Namun, baru aja sedetik kedua kaki gue menginjak tanah dan gue nutup pintu mobil, gue mematung di tempat. Nggak sengaja mata gue menangkap sosok dua pengendara sepeda yang akan melewati gue, sampai akhirnya gue sadar kalau salah satu pengendaranya yang berada di depan itu ..., si Eva!

Satu detik, tatapan kami bertemu.

Belum sampai dua detik, dia memalingkan muka. Refleks, gue juga melakukan hal yang sama.

"David!" Gue denger suara Sophia manggil David. Oh, ternyata pengendara sepeda di belakang Eva tadi si Sophia. Dengan semangat dia melambai ke arah David yang juga membalas lambaiannya, kemudian tetap mengayuh sepedanya mengikuti Eva yang sudah berada jauh di depan.

Rangga, dengan senyum yang seolah menyiratkan sesuatu, menghampiri gue. "Kesempatan, Ron. Ambil sepeda lo, kejar dia. Anggap aja lo pengen main sama dia. Nggak ada salahnya, kan, bersikap layaknya temen?" Gue melirik dia dengan tatapan apa-gue-harus-ngelakuin-itu? "Ajak si David juga noh, pas banget, kan, ada si Sopi juga. Jadi dia nggak curiga-curiga amat."

Kata Rangga lagi, "Usaha!" sambil memelototi gue.

Gue masih diem sebentar, berpikir keras. "Yaelah, Ron! Ribet amat deh hidup lo. Udah, ikut gue aja. Gue bakal bantu lo," sahut David sambil mengisyaratkan gue untuk ikut dia masuk rumah dan ambil sepeda.

Dua detik kemudian, gue akhirnya mengikuti David masuk. Dia ngambil salah satu sepeda dan memberinya ke gue, lalu dia mengambil sepeda yang satunya lagi.

Tak berapa lama kemudian, gue sama David udah keluar dari garasi sambil ngayuh sepeda. "Ga, lo masuk duluan, ya!" pesan gue seraya melempar kunci rumah yang langsung ditangkap dengan mudah olehnya. Dia mengacungkan jempol ke arah gue kemudian segera berlalu.

Selagi gue mengayuh sepeda mengikuti David di belakangnya, jantung gue berdetak cepat sampe rasanya mau lompat keluar dari tubuh gue. Berkali-kali gue narik nafas dan hembusin, berusaha menenangkan detak jantung yang kian memburu. Nggak jarang ini terjadi kalo soal Eva. Eva ..., kenapa lo selalu buat gue dag dig ser kayak gini, sih?

Gue kaget David tiba-tiba noleh ke belakang. Dia tersenyum, "Sekarang," ucapnya pelan. Mendengar David berucap seperti itu, gue sadar Eva sudah nggak jauh lagi dari gue. Gue makin gugup. Saking gugupnya, gue sampe mengabaikan David yang menepi bersama Sophia--mereka tetap bersepeda meski dengan kecepatan yang dikurangi. Lalu, gue tetap melaju nyaris menyamai posisi Eva yang masih dengan santai bersepeda tanpa noleh sekalipun ke gue.

Gue harus nyapa! Nyapa! Nyapa, Ron! Pikiran gue serasa bersahut-sahutan dalam kepala gue. Gue memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mematikan suara-suara yang mengusik gue itu.

"Kalo lagi ngayuh sepeda jangan sambil tutup mata, Ron, nanti celaka loh."

Gue refleks membuka mata mendengar suara yang nggak asing itu.

Dia, Eva, sedang tersenyum ke arah gue--yang menurut gue manis pake banget, sampai membentuk eyesmile.

Akhirnya gue ikut tersenyum meski masih gugup, sampai tanpa sadar mulut gue berucap, "Hai."

Dan sedetik kemudian gue menyadari kebodohan diri gue sendiri. Dia ngomong kayak gitu kok gue malah bales 'hai'? Sumpah, nggak nyambung banget gue!

💘

Too Shy And Too Late [COMPLETED]Where stories live. Discover now