SATU

7 0 0
                                    

Sedikit menyilaukan, kemudian terasa hangat. Mataku menyipit, seberkas cahaya kuning menyumbul dibalik jajaran pepohonan yang seperti sengaja berbaris menyapaku, membuat cahaya itu seperti sedang meledek, timbul dan tenggelam. Terasa menyilaukan, tapi entah kenapa tiba-tiba aku justru merasa bahagia, seberkas senyum merekah dikedua sudut bibirku. Rasanya seperti suntikan vitamin dipagi hari. Tak ingin kehilangan kesempatan langka ini, aku langsung mengambil kamera dan membidik beberapa gambar. Pagi yang indah.

Tidak sampai 30 menit, laju kereta melambat. Beberapa orang mulai sibuk dengan barang bawaan mereka. Seseorang mulai berbicara dari balik speaker. Sebentar lagi kami akan tiba ditujuan akhir, stasiun Tugu Yogjakarta. Aku mulai ikut menyiapkan barang bawannku, tak banyak hanya sebuah tas ransel dan sebuah koper kecil. Beberapa orang mulai berjalan antri keluar, tapi aku masih berdiri dengan mata menyipit menatap layar lensa kameraku, fotografi adalah hobi baruku belakangan ini, salah satu alasan kenapa aku pergi jauh-jauh ketempat ini. Handphone-ku bergetar lembut, Nanda. Kembali aku memasukkan ponsel ku yang masih berdering kedalam saku jaketku.

"Kenapa Nda?" tanyaku langsung saat setelah mendengar suara cemas Nanda yang berkali-kali mengatakan hallo padaku.

"La.. ini loe kan?" tanyanya aneh

"Iya ini gue, kenapa sih?" tanyaku mengernyikan kening.

"Loe tuh ya, bikin gue jantungan tau nggak, dari semalem gue BBM, WA, telepon ngga loe angkat juga. Bikin gue panik tau nggak, loe dimana sekarang?" ocehnya.

"Gue udah nyampe Jogja, barusan aja gue turun dari kereta. Masih didalem stasiun Tugu" jelas gue santai.

"Pamellaa.... Loe bener-bener gila ya, nekat banget loe pergi sendirian ke Jogja, kalau loe kenapa-napa gimana. Loe di Jakarta aja pergi kemna-mana selalu sama gue, ini keluar kota loe nekat pergi sendirian" oceh Nanda

"Kan emang udah gue rencanain dari jauh-jauh hari kalau gue pengen nge-trip ke Jogja sendirian, gue juga pergi kesini bukan tanpa tujuan yang jelas kok, semua udah gue persiapkan dengan matang" jelas gue.

"Loe bukan pergi karena kejadian kemaren kan?" tanya Nanda tiba-tiba.

Gue terdiam sejenak "Salah satunya mungkin iya" jawab gue jujur.

"Arga tahu loe pergi?" tanya Nanda dengan nada suara yang mulai melembut.

Aku mengangguk "Tahu kok, kemarin dia yang nganterin gue ke stasiun Gambir"

"Terus?"

"Apanya yang terus?"

"Ya.. dia nggak ada omongan apaan gitu sama loe, nyegah loe buat pergi atau inisiatif ikut loe ke Jogja setelah kejadian kemarin?" tanya Nanda.

"Ya.. awalnya dia ngomong lagi ke gue. Tapi gue bilang kalau gue butuh waktu. Ya mungkin ini memang saat yang tepat buat gue berfikir lagi tentang hubungan kami. Yang jelas gue pasti kasih jawaban ke dia setelah gue balik dari Jogja" jelas gue.

"Jangan kelamaan mikir, lagian bodoh kalau loe sampai bilang nggak. Arga itu sempurna buat loe"

Nanda adalah satu-satunya orang selain nyokap yang selalu khawatir tentang gue. Mulai dari kerjaan, kesehatan, cinta apalagi, bahkan dia juga orang pertama yang selalu ngingetin gue buat makan. Setelah bokap dan nenek gue nggak ada hidup gue hancur, gue kayak kehilangan arah. Rasanya nggak ada lagi yang bisa gue perjuangin, mereka adalah satu-satunya alasan gue buat sukses. Kepergian mereka yang mendadak dan bersamaan bener-bener membuat gue seperti kehilangan separuh hidup gue.

Sampai akhirnya gue ketemu dengan Arga, cowok yang dikenalin Nanda ke gue. Junior dia di kampus dulu. Dulu, satu-satunya orang yang paling gue benci adalah Nanda, sepupu gue itu. Bisa-bisanya disaat gue lagi terpuruk dia malah nyuruh gue buat pacaran. Buat bangun dari tempat tidur aja gue ogah, ini dia nyuruh gue buat dandan dan ketemu sama cowok yang sama sekali nggak gue kenal.

REMEMBER MINEOnde histórias criam vida. Descubra agora