II

16 3 0
                                    

Aku berdiri di barisan paling depan ketika acara pemakaman berlangsung. Semua orang menangis melihat ayah. Aku diam tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Nenek yang berada di samping ku melihat ku dengan perasaan sedih, "Sayang, tidak baik menutupi kesedihan mu dengan menahan air mata, keluarkan saja, jangan dipendam."

Namun aku tetap diam, satu-satu nya yang aku inginkan adalah keluar dari kerumunan dan menangis sendiri. Tapi aku tak akan berhasil keluar dari sini, karena pemakaman ini begitu ramai seakan ayah seorang pejabat negara atau artis papan atas yang meninggal dunia.

Nyanyian terakhir menghantarkan ayah keperistirahatan terakhir nya dan kini peti ayah telah tertutup tanah dengan sempurna. Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat ini. Seseorang berjalan mendekati ku, aku bisa melihat bayangan nya yang tinggi ditanah.

"Latu."

Aku melihat ke belakang dan menemukan Juan yang mengenakan kemeja hitam, celana jeans hitam dan sepatu sneakers berwarna abu-abu.

"Juan?" jawab ku.

Juan langsung memelukku dengan erat sambil menangis, aku tidak tau kapan dia datang, setau ku Juan sedang berada di Australia, mengikuti ayah nya yang sedang menjalankan bisnis di sana.

"Maaf, gue baru bisa dateng sekarang, maaf gue gak ada waktu lo bener-bener butuh sandaran.." Dia bicara dengan suara yang bergetar, aku terkejut dia mengatakan hal ini karena sebelum nya dia tak pernah serius ketika berbicara.

Aku menarik nafas dan membenamkan kepala ku dalam pelukan nya, "Ini bukan salah lo, gak perlu minta maaf Juan." Juan mengelus rambut ku, aku sangat nyaman setiap kali berada di dekat nya.

Juan defino, ia adalah teman dekat ku, ketua osis di SMA tempat aku bersekolah, kebetulan aku adalah wakil nya, setiap keputusan selalu kami diskusi kan bersama. Kami juga selalu menghadiri undangan dari sekolah lain berdua, sebagai ketos dan waketos. Hubungan kami terjalin professional  sebagai partner  dalam organisasi. Namun di luar dari organisasi, kami tetap saja selalu bersama, seperti kembar siam.

Banyak yang mengira kami memiliki hubungan spesial karena kami selalu bersama di setiap situasi, kecuali di kelas, karena kami berbeda kelas. Tapi sebenar nya tidak ada apa-apa antara kami, hanya seperti sahabat yang selalu bersama.

"Makasih banyak, udah datang ke sini."

"Iya Latu, sama-sama." Kata nya sembari melepaskan pelukan nya.

Sebelum Juan kembali bicara, aku melihat Sean di seberang sana, di dekat pohon besar yang daun nya sedang berguguran. "Sumpah, gue gak percaya secepat ini om Haris pergi, gimana sih cerita nya, kok mendadak gini?"

Aku tak menjawab pertanyaan Juan, aku tetap memperhatikan Sean yang ternyata sedari tadi melihat ke arah ku. Sean tersadar ketika aku sedang memandangi nya, dia langsung berjalan pergi, meninggalkan pohon besar itu. Kepala ku mengikuti arah Sean sedang berjalan, ia menuju mobil dan segera masuk ke dalam nya. 'Sean ikut ke pemakaman ayah?' kata ku dalam hati.

Juan ikut melihat ke arah yang sedang aku lihat, dia melihat sebuah mobil sedan putih sedang melaju meninggalkan pemakaman. Juan tidak tau bahwa itu mobil Sean.

"Latu..."

"Eh iya, kenapa?" jawab ku.

"Lo liat apaan sih?"

"Eng.. Enggak ada! tadi lo nanya apa?" jawab ku mengelak.

"Ayah lo Latu, gimana kejadian nya?" tanya Juan lagi.

Aku menarik napas panjang, "Gue juga gak tau, masih diselidiki polisi. Tapi gue percaya satu hal, ayah gak mungkin mabuk malam itu. Ayah bukan tipe orang yang suka minum-minuman keras, gue juga bingung kenapa dokter dan polisi bilang gitu. Kata nya karena itu ayah kecelakaan, mobil nya tumburan dengan mobil lain, karna ayah lagi mabuk."

"Lo yang sabar ya, gue juga gak percaya. Gue harap polisi nemuin jawaban dari kasus kecelakaan om Haris."

Aku mengangguk, "Ayo pulang!" Juan mengajak ku pulang, dan aku menyetujui nya. Pemakaman sudah sepi, tinggal nenek dan paman yang juga bergegas pulang. Aku melihat kuburan ayah sembari berjalan mengikuti Juan yang sedang menggenggam tangan ku.

Pengharum mobil milik Juan membuat ku mengernyit, sudah sering aku menyuruh nya mengganti pengharum mobil, namun dia tetap memakai pengharum yang sama. Bau nya sangat menyengat di hidung ku.

"Juan, bau banget!" aku mengeluh.

"Bau apaan? ini harum kali! maskulin cocok buat cowok gentle kayak gue!" kata nya sambil membaikkan rambut nya di depan kaca.

Aku membuka kaca jendela dengan lebar dan melihat keluar sambil memasang muka cemberut. Hal itu membuat Juan tersenyum, aku bisa melihat nya dari kaca.

Entah kenapa, aku tak bisa berhenti memikirkan Sean. Aku benar-benar tidak menyangka dia datang ke pemakaman ayah, padahal tadi pagi aku melihat dia dengan jelas, masih mengenakan baju kaos putih dan berdiri di jendela sambil meminum sesuatu di gelas bertangkai.

Tapi aku yakin, dia pasti dipaksa orang tua nya untuk ikut. Kalau tidak, mana mungkin dia ada di pemakaman ayah.

Angin menerpa wajah ku, membuyarkan lamunan ku, dan mengacak-acak rambut panjang ku yang tergerai. "Lat, tutup aja kaca jendela nya. Angin nya kencang, ntar lo masuk angin!" Juan menyuruh ku untuk menutu kaca, tapi aku tidak mau.

"Biarin masuk angin, dari pada mati sesak napas gara-gara parfume mobil lo!"

Juan menatapku, "Gue serius Latu! langit nya mendung, pasti bentar lagi hujan. Ntar air nya masuk ke dalem, mending tutup aja!"

Aku melihat langit, benar juga, langit berubah warna menjadi gelap. "Iya, iya gue tutup!"

Tak lama setelah itu hujan turun, seakan mereka ikut menangisi kepergian ayah. Aku hanya diam memandangi air yang jatuh dari langit, Juan menatapku dengan lekat. Dia menggenggam tangan ku. Aku tersenyum melihat nya.



LATULIPWhere stories live. Discover now