Story To Remember

20 0 0
                                    

Story to Remember

By Orina Fazrina

SEORANG wanita datang dan mengatakan kalau dia adalah ibu dari anak itu. Han Shin- Hye, yang tak bisa bertemu dengannya setelah hari ulang tahunnya langsung menahan napas. Apa yang terjadi pada pria yang dikasihinya?

Wanita itu menyerahkan sebuah amplop.

"Untukmu," ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Shin-Hye mengambil amplop berwarna biru muda tersebut dengan gugup. Dia membuka amplop itu perlahan. Ada beberapa lembar kertas di dalamnya. Perasaannya langsung tidak enak.

"Bacalah!" lirih wanita di depan Shin-Hye. "Dia sengaja menulisnya untukmu," jelasnya singkat dengan raut wajah sedih.

Ada apa ini? batin Shin-Hye gundah. Menuruti saran wanita tadi, dia pun membaca lembaran tersebut. Dalam hitungan detik kabut mulai menggantung di pelupuk matanya. Ini bukanlah surat cinta yang akan membuat siapapun berbunga-bunga membacanya. Kertas ini berisi...

***

"Harapku, Kau Mengenangku..."

Aku memandang penuh kagum pada lukisan yang ada di depanku. Lukisan matahari tenggelam bersama langitnya yang berubah jingga. Lagi, senja yang indah. Terasa sangat tenang. Seolah bisa kurasakan hembusan angin senja yang lembut di lukisan itu. Senja yang menghiasi sebuah kota. Pelukisnya seolah-olah sedang melihat senja dari sebuah gedung tinggi.

Kusentuhkan tanganku ke langitnya. Dadaku bergetar. Betapa inginnya aku melihat senja ini dengan nyata. Dengan kedua mataku sendiri. Sayangnya, aku tidak bisa.

Kubaca nama pelukisnya. Han Shin-Hye. Ah, kau lagi. Kau pelukis yang selalu melukis pemandangan siang yang indah. Kau yang selalu berhasil menggetarkan hatiku untuk kembali melihat lukisan-lukisanmu. Aku tak berbohong jika menyebut betapa indahnya lukisanmu.

Kau lebih sering melukis senja. Lukisan senja dari sebuah pedesaan. Senja di atas jembatan. Senja yang memayungi jalanan sempit. Senja di sungai Han. Senja yang menari di atas bunga Canila di Pulau Jeju. Senja yang menenangkan di pinggir pantai. Senja yang terjadi di musim panas, gugur dan semi. Senja saat mendung menggantung. Senja saat langit penuh dengan awan. Senja saat langit tanpa awan. Senja dengan semburat jingganya yang berbeda-beda. Ah, betapa banyak senja yang dilukismu.

Kau juga melukis pelangi, salju yang turun, bunga sakura yang bermekaran di ruas-ruas jalan, daun-daun yang berguguran di musim gugur, juga hujan yang membasahi padang rumput hujau.

Tak pernah kudapati kau melukis pemandangan malam. Seandainya ada, aku pasti berbahagia. Aku yakin aku tak akan sebegitu ingin melihat dunia saat matahari masih di luar peraduannya.

"Bagaimana menurutmu?"

Kau membuyarkan ingatan yang berlari dalam benakku. Aku menoleh. Kau memperlihatkan lukisan terbarumu padaku memandang penuh harap.

"Noona1) sudah sering melukis senja, tapi tetap saja tak membuatku bosan." Aku memujumu tulus.

Kau tertawa. Lalu memukul pundakku pelan.

Ah, aku jadi teringat hari itu.... 



<baca lengkap di bukunya ya. Masih proses cetak nih hehe... :D>

Perjalanan HatiWhere stories live. Discover now