Sepenuhnya Aku Cinta

11 0 1
                                    

INI kisahku dan Mia.

Aku bertemu dengan Mia ketika aku sedang makan bersama dengan teman-temanku di warung khas Bandung yang ada di jalan Setaji kota Palangkaraya ini. Saat aku sedang bercanda dengan teman-temanku, aku mendengar tawanya. Aku menoleh ke mejanya (terpisah dua meja dari mejaku) dan menemukan ekpresi lucu di wajahnya. Entah apa yang dia dan teman-temannya obrolkan, yang jelas Mia tertawa tanpa henti. Bahkan bisa kuduga teman-temannya tertawa bukan karena cerita yang mereka bahas tapi karena melihat Mia yang tertawa terpingkal-pingkal. Samar-samar kudengar temannya menyebutnya tawa limited edition. Entah apa hubungannya, tapi aku menyetujui julukan itu. Sebabnya, orang seperti dia sangat terbatas.

Baiklah. Biar kugambarkan bagaiamana sosok Mia itu. Dia bisa dikategorikan cantik, berwajah agak lonjong, bermata besar, berbulu mata lentik, dan rambut hitam sebahu yang tergerai. Dagunya tak lancip, dan bibirnya tak mungil. Tak apa jika kalian tak setuju denganku yang menyebutnya cantik. Kalian sendiri tahu kan, bagaimana orang yang jatuh cinta itu bicara tentang orang yang dicintainya? Pasti memujinya. Begitupun aku.

Kupikir pertemuan itu –yang tak bisa dibilang pertemuan sebenarnya karena aku dan Mia tak saling sapa apalagi berkenalan-, hanya bagian dari cerita sampingan di kehidupanku. Namun rupanya aku salah. Aku bertemu lagi dengan Mia di rapat Himpunan Mahasiswa Jurusan. Di sanalah aku tahu bahwa gadis limited edition itu bernama Mia. Lengkapnya Mia Anggreini.

Di rapat itu aku membawa status sekretaris Himpunan Mahasiswa Kimia sedang Mia bendahara Himpunan Mahasiswa Matematika. Lihat! Kimia dan matematika, serasi bukan?

Awalnya aku dan Mia hanya berbicara soal agenda yang disusun Himpunan Mahasiswa jurusan (karena aku menjabat sebagai sekretaris kedua di Himpunan Mahasiswa Jurusan itu dan Mia jadi bendaharanya). Kadang juga membahas acara-acara kampus yang akan diselenggarakan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UNPAR. Namun, waktu sepertinya merubah segalanya. Waktu telah membuat aku dan Mia makin dekat dan sering sekali bertemu. Menjadikanku terbiasa akan keberadaan Mia di sekitarku. Terbiasa mendengar tawanya. Terbiasa juga memperhatikan tingkahnya. Dan tawanya -yang akhir-akhir ini menurutku lebih tepat disebut unlimited- bagai nyanyian merdu di telingaku. Mengubahku yang jarang tersenyum jadi mudah sekali tersenyum hanya karena melihat tawanya itu.

Lantas, aku mulai memaknai yang kurasakan ini adalah rindu. Apalagi lebih dari seminggu aku tak melihatnya. Ditambah lagi kami beda gedung kuliah meski sama-sama di jurursan MIPA. Kuliah Mia sering di gedung D. Sedang aku kadang-kadang di gedung M -yang berdekatan dengan gedung D namun terhalang beberapa bangunan lain-, kadang juga di gedung P dan lebih banyak di gedung MIPA –yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari gedung D.

Jujur saja sewaktu tak bertemu dengannya, aku merasa resah. Uring-uringan. Juga kesal. Rindu ternyata amat menyiksa. Karena terlalu rindu itulah aku memutuskan menanyakan nomor ponselnya pada temanku yang kuliah di Matematika juga. Untunglah dia tahu.

Lega sekali rasanya ketika aku berhasil menelpon Mia –dengan kegugupan yang tak bisa kututupi, dan mengobrolkan banyak hal. Setidaknya rinduku yang menggebu ini sedikit terobati.

Keresahan kembali melandaku saat mengetahui Mia tak hanya dekat denganku. Tapi juga dekat dengan mahasiswa lain. Dan karena tak ingin kedekatannya terbagi, aku memutuskan menyatakan cintaku padanya. Aku melakukannya lewat pesan. Tak punya muka juga untuk berhadapan langsung. Apalagi dengan kemungkinan 50:50. Ditolak banding diterima. Hfff...

Walau sudah kuprediksi, tetap saja aku merasa putus asa. Mia baru akan menjawab pernyataan cintaku jika aku mengatakan langsung perasaanku padanya, tidak lewat pesan singkat.

Sial! Aku bingung setengah mati! Aku ingin tahu jawabannya, tapi di sisi aku takut setelah susah payah menyusun keberanian untuk menembaknya langsung, dianya malah menolakku.

Akhirnya, setelah dilema yang panjang, aku memutuskan mengajaknya ketemuan. Makan di kafe yang lumayan mahal sambil membawa boneka yang kuharap Mia akan menyukainya.

Aku dan Mia duduk di kafe dengan canggung.

Ah, selalu di situasi seperti ini cowok yang harus berperan ekstra.

Baiklah. Dari pada nanti aku membuang-buang waktu akupun memberikan boneka yang kubawa itu pada Mia. Toh sekarang dan nanti tak akan ada bedanya.

Mia mengambil boneka itu dan tersenyum seraya berterima kasih.

"Jadi, apa jawabanmu?" tanyaku akhirnya dengan suara bergetar. Ya, aku gugup sekali. Siapa sih yang tidak gugup disaat perasaannya sedang dipertaruhkan? Antara menjadi sejuta kali bahagia, atau hancur berkeping-keping.

"Jawaban apa?" tanya Mia santai. "Kau tak menanyakan apapun padaku," katanya lagi tanpa merasa berdosa. Padahal kata-katanya itu membuatku ingin segera lari dan menutup mukaku.

Nyaliku jelas menciut. Tapi aku juga menyadari, cewek memang begitu. Suka memperumit hal-hal yang sederhana.

Aku menghela napas.Mengumpulkan keberanianku yang berhambur entah ke mana tadi. "Aku bilang akumenyayangimu," ujarku walau dengan suara yang masih bergetar.Masih dengan kegugupan yang sama. "Lebih dari sekedar teman atau rekan sesamaorganisasi," tambahku. "Aku tak tahan melihatmu dekat dengan yang lain." Kaliini kuberanikan diriku menatapnya yang ternyata sedang menatapku dengan wajahgembira. Membuatku merasa pernyataan cintaku ini akan berakhir bahagia. "Akuingin kau hanya dekat denganku dan yang lain tak mendekatimulagi," lanjutku. "Jadi, maukah kau jadi kekasihku?" 


>>> Selengkapnya baca versi cetaknya yang akan terbit September nanti ya ^^ >>> 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 19, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Perjalanan HatiWhere stories live. Discover now