Sesampainya di apartemen, Jeje segera berlari menuju ruangan Ve. Tanpa suara, ia bergegas mencari dua wanita yang kini hanya ada di pikirannya.
Sampai akhirnya ia menemukan Shania sedang terduduk di pinggiran ranjang di kamar Ve.
"Nju.." Jeje menatap bingung ke arah Shania yang sedang terisak menangis. "Ve.." ucap Shania segera menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Jeje.
Jeje memeluk erat tubuh wanita yang jauh lebih tinggi darinya. Tangannya tidak berhenti untuk mengusap punggung dan juga rambut panjang Shania.
Sementara tangannya sibuk menenangkan Shania, matanya terus menelisik kondisi kamar Ve yang terlihat baik seperti biasa.
Lemari putih besar di depan mereka yang mengisi satu dinding guna menaruh pakaian Ve terlihat seperti biasanya. Meja rias putih yang terdapat perlengkapan make up Ve juga tertata rapih tanpa celah, masih pada posisi semula. Pandangannya beralih ke meja belajar Ve yang lebih banyak berisikan buku daripada meja belajar miliknya yang seorang mahasisiwi dan keadaannya masih sama, tidak ada yang berubah. Jeje sangat hapal dengan kondisi kamar Ve, oleh karena itu ia merasa tidak ada yang janggal dari kamar Ve.
Lalu ia menatap nakas samping tempat tidur Ve. Disana masih hanya ada telepon dan juga beberapa tumpukan buku serta gelas transparan yang selalu diganti Ve setiap malamnya.
Pandangannya kali ini menelisik ke kasur Ve. Tidak ada yang aneh. Masih dengan serba putihnya, kasur tersebut masih rapih tanpa jejak kusut sedikitpun.
Lalu apa yang ditangisi oleh Shania hanya dengan membuka kamar Ve?
"Je.." panggil Shania melepas pelukannya. Ia menghapus sisa air matanya dan meredakan isaknya.
"Hm.." jawab Jeje merapihkan rambut Shania yang beberapa helainya sempat basah terkena air matanya.
Shania mengulurkan tangannya dan memberikannya pada Jeje. Jeje yang menerima benda dari Shania, sempat menahan napasnya selama beberapa saat..
.. Jeje memejamkan matanya merasakan sakit..
.. Ia menghirup napas dalam dan cukup lama..
.. Dan ia menghembuskannya secara perlahan dan sedikit kasar.
"Je.." panggil Shania karena melihat Jeje tanpa ada respon suara. "Gw butuh bodrex, Nju" ucap Jeje menjatuhkan badannya ke atas kasur Ve.
"Je.. Gimana?" tanya Shania menatap Jeje yang menutup matanya. Dalam diam, perlahan air mata menetes dari ujung kelopak mata Jeje yang terpejam. Shania diam. Ia tahu, Jeje lebih sakit daripada dirinya saat ini.
Tidak butuh waktu lama, Jeje bangun dan mengusap air matanya. Ia tersenyum hambar menatap Shania yang sedang menatapnya iba.
"Kita ke club" ucap Jeje yang langsung dijawab anggukan oleh Shania.
Di lain tempat, Naomi sedang menatap sendu ke arah Sinka di hadapannya. Saat ini mereka sedang menonton TV bersama di ruang keluarga dengan Naomi duduk di sofa cream berbentuk L sedangkan Sinka duduk di karpet bawah. Karpet dengan warna senada namun bermotif coklat susu yang terbentang sepanjang sofa. Sedangkan Kell sedang membuat minuman untuk mereka bertiga.
"Ci.." panggil Sinka yang masih duduk di atas karpet dan menyandarkan punggungnya pada sofa tanpa berniat untuk menoleh apalagi berbalik badan.
"Iya, kenapa, dut?" tanya Naomi menaruh hp nya yang daritadi hanya dilihat semua notifikasinya tanpa berniat untuk membalas semua pesan dari siapapun.
"Cici yakin melepas?" tanya Sinka sedikit menjatuhkan badannya sehingga membuatnya setengah tiduran dengan siku sebagai penopang badan dan kepala yang berada di ujung sofa.
"..."
"Bahkan cici aja pasti bingung ada definisi dari melepas ya?" ucap Sinka telak membaca pikiran Naomi.
"..." lagi, Naomi hanya diam dengan ucapan-ucapan Sinka. Baginya, Sinka terlalu mengerti dirinya. Tanpa perlu berucap, Naomi yakin Sinka bisa membaca pikiran dan hatinya meski saat itu Naomi sendiri tidak tau apa yang sedang ia pikir dan rasa.
"Itu rindu, ci. Namanya yang sering kamu sebut saat igau, suaranya yang sering terdengar saat kau terlelap, bayangnya yang selalu datang dalam mimpi. Itu rindu. Hal yang membuat hatimu lelah itu disebut rindu" ucap Sinka yang membuat Naomi menghembuskan napasnya lelah.
"Semarah-marahnya kamu, kamu masih mencintainya. Secinta-cintanya kamu, kamu masih marah padanya. Namun tetap saja itu disebut cinta, Mi" imbuh Kell yang membawa nampan berisi pitcher lemon tea dan tiga gelas yang telah isi minumannya.
Kell memberikan kedua gelas kepada kedua kakak beradik yang sedang dalam tahap meyakinkan hati sang kakak.
"..." Naomi hanya diam. Dia masih enggan merespon. Ia hanya ingin mendengarkan.
"Kak Ve itu cinta dan juga luka terhebat buat Ci Omi. Sekarang, Ci Omi sedang bertahan pada ketidakpastian. Dimana jika ada satu saja alasan yang membuatnya bertahan, tentu ia akan melepas kata melepas, bang. Karena sesungguhnya melepas kak Ve sama saja merenggut nyawa tiba-tiba kala sehat. Iya kan, Ci?" ucap Sinka melirik ke arah Naomi yang dijawab anggukan cepat dari Naomi. Anggukan layaknya boneka anjing yang sering terpasang pada dashboard mobil.
Kali ini, Kell yang menghela napas panjang akan problematika dari sang adik keras kepala.
"Untuk masalah lo ini.."
"Gw gak anggep ini masalah, Kell" potong Naomi seketika.
"Oke.. Oke.. Gw tau mencintai Ve adalah cara paling sederhana menjatuhkan air mata. Tapi kita semua juga percaya, cinta yang berhenti diucapkan belum tentu rasanya memudar. Memang sih.. Lelah hati itu melelahkan segalanya. Jadi ga ada salahnya lo nangis, Mi. Nangis aja kalo lo sakit. Lo bisa nangis di depan kami. Lo ga lemah kok, itu justru negasin kalo lo manusia" ucap Kell yang membuat Sinka untuk kali ini mengangguk dengan cepat.
"Gw belum tau mau gimana tentang hubungan kami. Satu hal yang gw tau, gw mau merayakan kehilangan. Bagaimana caranya? Entahlah.. Mungkin diawali dengan gw mengemas beberapa baju dan mendatangi beberapa tempat yang belum pernah gw datangi. Menyampaikan pada ruas tiap jalan bahwa aku kehilangan dan jangan ada yang berani bertanya mengapa gw datang sendirian. Mungkin juga gw akan memesan sepuluh tusuk sate madura, sebungkus nasi padang, seporsi bebek banjay, sepiring nasi gudeg dan semangkuk rawon pedas yang akan gw habiskan semuanya sendirian lalu cuci tangan dengan air-air yang menempel di luaran gelas es teh manis" ucap Naomi menyandarkan badannya dengan kedua tangannya yang menopang kepalanya.
Sementara Sinka dan Kell menatap Naomi dengan mata membulat tanpa kedip serta dahi yang berkerut penuh tanda tanya.
"Ajaib" ucap Kell spontan yang membuat Sinka meneguk lemon tea nya hingga menyisakan seperempat gelas.
"Berjalan dan tetaplah hangat, Ci. Your heart full of pain and your head full of stress, jelas kamu membutuhkannya. Satu hal yang pasti, kami ada, disini" ucap Sinka setelah meredakan keterkejutan awalnya.
Naomi tersenyum mendengar ucapan adiknya. Adik yang selalu menjadi bahan keisengannya saat mereka kecil, sekarang telah bertransformasi menjadi wanita yang sangat bisa ia andalkan. Ia sangat bersyukur dan beruntung memiliki Sinka.....dan juga Kell, lelaki yang entah mengapa dan sejak kapan dapat membuatnya merasakan mempunyai kakak, sahabat dan juga ayah. Meski Naomi menganggap Kell gila, tidak dapat dipungkiri, Kell sangat mengerti dirinya dan Sinka.
