HARI KE-2

55.7K 3.4K 344
                                    

"Hallo, Cireng. Gue di depan gerbang rumah lo neh. Kalau mau bareng cepetan keluar!" Dendy lekas mematikan teleponnya.

Tidak berapa lama, Sally keluar dari gerbang rumahnya sembari menjinjing sepatu converse. Dendy membukakan pintu dari dalam mobil dan menahan tawanya. "Gila, lo ceritanya mau bikin surprise gitu? tapi nggak mesti sepagi ini juga kali!" seru Sally setelah memasuki mobil.

"Anak perawan nggak boleh bangun siang-siang, nanti jodohnya brewokan," ujar Dendy yang mulai menjalankan mobilnya.

"Ih, mau gue kalau brewokan cem Om Max atau Om jo. Tapi, jangan om Juju nanti anak gue bisa somplak," jelas Sally yang memakai sepatunya.

"Mereka semua udah sold out. Tinggal yang klimis kaya gue yang masih availabel," timpa Dendy.

Sally hanya melirik sekilas dan kembali memakai sepatunya. Seperti kebiasaanya Dendy yang selalu ber-car-pool-ria saat di dalam mobil, ia lekas menyalahkan player. Ia berhenti saat sebuah lagu mulai memainkan nadanya.

"Mayan buat ngegalau dipagi hari," ucapnya.

"Ya ilah Kak, lagunya. Gue paham kok lo mirip andre stinky, tapi nggak nyanyiin lagu ginian juga sih," ujar Sally.

"Biar. Gue mau ngegalau." Dendy terdiam tepat disaat lirik mulai dinyanyikan.

tetes air mata basahi pipiku
di saat kita kan berpisah
terucapkan janji padamu kasih
kutakkan ku lupakan dirimu
begitu beratnya kau lepas diriku
sebut namaku jika kau rindukan aku
aku akan datang

mungkinkah kita kan selalu bersama
walau terbentang jarak antara kita
biarkan ku peluk erat bayangmu
tuk melepaskan semua kerinduanku ooh


"Kak, lo masih sayang sama Cicil?" tanya Sally hati-hati.

"Gak tau." Dendy mengangkat bahunya.

"Jujur aja sih, Kak. Gue orangnya nggak bocor kok kalau mau curhat." Sally memandang iba pada Dendy yang kini memilih memantap jalan di depannya.

"Gue sih udah lupa," ucap Dendy santai.

"Masa? baru setahun yang lalu loh!" balas Sally.

"Yang jelas gue berusaha lupa. Berusaha move on. Hidup hanya sekali. Sayang kalau cuma buat merana dan meratapi nasib doang." Dendy tersenyum dan mengedipkan matanya.

Yang Sally tahu, ia bisa melihat sebuah kesedihan di mata Dendy. Sebuah perasaan hancur yang teramat dalam. Hanya saja, ia memilih untuk menyembunyikannya.

"Lo sendiri gimana? udah punya pacar lagi belum? bukannya kata Indra dulu cowok lo brondong." Dendy menghentikan mobilnya karena mulai memasuki area macet.

"Sama udah setahun yang lalu juga. Gue belum nemu penggantinya aja sih."

"Putusnya karena apa?" kepo Dendy.

"Tangannya hobi banget 'main piano'," ucap Sally sembari mengangkat kedua jarinya membentuk sebuah tanda di udara.

"Maksudnya?"

"Ck. Lupa gue ngomong sama orang tua. Main piano alias hobi grepe-grepe. Belum lagi, bibirnya nyosor mulu. Udah dikasih bibir eh minta leher. Dari pegangan tangan eh minta pegang tete," jawab santai Sally.

"Anjir!" pekik Dendy.

"Nah, anjir kan."

"Bukan. Bukan anjir masalah tuh cowok. Gue anjir karena lo ngomongnya nyatai banget. Urat malu lo udah abis?" Dendy mengerutkan keningnya.

CEO SOMPLAK (TERBIT)Where stories live. Discover now