03 | Kotak Pos

1.8K 265 26
                                    

💌

Aku merebahkan diri di atas kasur empuk kesayanganku. Perutku rasanya kenyang sekali. Tadi, Zola membuatkanku ramen dan kita makan di meja bar bersama. Langit-langit kamar yang kupandangi saat ini putih bersih dengan satu lampu yang menggantung sebagai penerang. Kamarku tidak sempit, cukup nyaman untuk ku tempati sendirian. Zola tinggal di kamar yang berseberangan dengan kamarku. Kami memang menyewa tempat kos dengan dua kamar tidur.

Sebuah amplop besar dengan tanda cinta merah bata yang sengaja aku tempel di atas kanan amplop itu kuambil dari dalam tas.

Amplop itu berisi foto daun maple yang aku bidik tadi pagi dan secarik surat. Untuk dia yang tidak aku ketahui keberadaannya. Aku rasa kita memang benar-benar berpisah sejak saat itu.

Why you left me, Sam? Do you miss me? Do you ever thinking about me? Aku harap kamu memikirkanku juga layaknya aku memikirkanmu.”

Aku mengambil napas dalam, mengisi oksigen ke paru-paru ku sebanyak mungkin. Kutangkupkan kedua tanganku menutupi wajah.

I miss you, really.

“Argh. Kenapa aku tidak bisa melupakanmu barang sehari saja?” Aku mengusap wajahku gusar dan tanganku beralih untuk menyangga dagu.

Kuambil paksa sling bag yang melingkar di kursi, tidak lupa aku mengambil syal berwarna fanta dari gantungan baju dan melilitnya di leherku. Syal itu yang selalu kupakai saat pergi kemanapun.

Aku melangkah menjauhi tempat kos. Zola mungkin sedang belajar di kamarnya, karena setahuku dia itu sosok yang gila belajar. Aku sengaja tidak pamit hendak pergi pada Zola. Aku selalu diam-diam saat akan ke rumah lama Samuel untuk menaruh suratku.

Aku menaiki kereta bawah tanah untuk sampai ke rumah lama Samuel, dan melanjutkannya dengan berjalan kaki. Tak butuh waktu lama langkahku berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar, namun tidak berpenghuni. Kotak pos yang di depan rumah itu masih sama seperti kemarin, kemarin lusa, dan kemarin kemarin saat aku kesini untuk menaruh surat untuk Samuel seperti biasanya. Kotak pos itu mengingatkanku saat kami bermain bersama dengan dua orang tetangga kami.

Kotak pos belum diisi, mari kita isi dengan isi-isian. Mbak Salwa minta huruf apa?”

“S.”

“Dari tadi kok S terus sih, Wa. Ganti dong,” kata tetangga perempuanku, Arin.

“Nggak mau. Aku sukanya huruf S. Soalnya namaku sama nama Samuel awalannya S.”

Aku tersenyum sambil mengusap kotak pos tua itu. Ingatan mengenai masa lalu itu bahkan masih jernih diingatanku. Meski sudah berdebu, aku tidak berniat untuk membersihkannya. Sebab ada sebuah tulisan 3S; Samuel. Salwa. Selamanya.

Aku takut jika tulisan itu turut menghilang juga.

💌

Letter for Samuel
July, 20.

Letter for SamuelWhere stories live. Discover now