Lesson 19

533 73 7
                                    

Zen masih berbalut seragamnya duduk di atas sofa empuk berwarna putih sambil membaca buku naskahnya dengan secangkir teh di tangan kanannya. Dari Chiaki, ia dimintai tolong juga untuk membantu Mahiru agar dapat berakting dengan baik tapi dari yang ia alami dari pertama kali latihan hingga sekarang, harapannya untuk mengabulkan hal itu menjadi sangat tipis.

Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa sambil menghela napas panjang. Ia merasa belakangan ini terlalu banyak beban di dalam dirinya padahal ia sudah cukup pusing untuk memikirkan bagaimana caranya mengambil hati Saori. Tapi, kenapa orang ini lama sekali? Pikirnya ketika menyadari Mahiru belum muncul-muncul juga.

“Kau tahu Mahiru-kun? Zen itu suka banget makan omelet! Dulu dia pernah rengek-rengek ke bibi karena bibi jarang bikin omelet. Dia lucu banget loh!” seru suara seorang wanita yang lembut tapi terlihat sangat bersemangat. Zen menepuk dahinya, mengetahui siapa yang sedang membicarakan tentang dirinya itu. Ia menoleh dan mendapati ibunya sedang berbicara kepada Mahiru dengan penuh semangat.

“Ibu.. jangan sembarang cerita tentang Zen ke siapa pun dong,” ujar Zen ketika ibunya menyadari dirinya. “Siapa pun? Dia kan temanmu bukan siapa pun,” ujar ibu dengan polosnya. Zen menghela napas. Ibunya memang tidak bisa membedakan yang mana yang teman dia dan yang mana yang cuma sekedar kenal. “Dia bukan temanku. Aku hanya membawanya ke sini karena aku menumpahkan air ke tubuhnya,” jelas Zen.

“Eh? Padahal aku sudah senang akhirnya Zen membawa temannya..,” ibunya memasang wajah memelas. Melihat itu, buru-buru Mahiru angkat suara, “Bu-bukan begitu bibi! Nakaya-Zen! Itu temanku kok! hahahaha.. kau bilang apa sih Zen, jangan main-main begitu dong!” ujar Mahiru sambil tertawa bohong. Zen ingin protes tapi kembali bungkam ketika mendapati pelototan dari Mahiru. Ibu Zen yang mendengar itu langsung gembira kembali.

“Aduh! Zen ini! jangan main-main dong! Ternyata Mahiru memang teman Zen! Senangnya!” seru ibunya sambil berjalan menuju dapur. Setelah ibunya tidak terlihat lagi, Zen melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap tajam Mahiru. “Jadi.. apa maksudmu?” tanyanya dengan suara yang tajam.

Mahiru memutar bola matanya ke atas, tidak berani menatap Zen. “Kan kasihan. Padahal ibumu sudah senang banget pas tahu kau bawa teman tapi malah jadi sedih begitu karena ternyata aku bukan temanmu,” jelas Mahiru. Zen masih menatap Mahiru selama beberapa lama lalu akhirnya menghela napas.

“Kali ini aku biarkan saja karena memang aku yang salah. Terima kasih sudah menyadari perubahan suasana hati ibuku,” ujar Zen dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Mahiru membelalakkan matanya. “Apa?” tanya Zen. Wajahnya kembali seperti semula. “Ah.. tidak apa-apa,” ujar Mahiru dengan cepat. Yang tadi itu beneran atau cuma halusinasi?

“Kau, sini!” perintah Zen sambil menunjuk tempat duduk di sebelahnya, menarik Mahiru kembali dari lamunannya. Mahiru buru-buru duduk di sebelah Zen. “A-ada apa?” tanya Mahiru berusaha tidak terdengar takut. “Kau ini serius mau mensukseskan penampilan drama kita atau tidak?” tanya Zen yang membuat Mahiru sedikit tersinggung karena ia merasa sedang dibilang tidak berusaha sama sekali.

“Te-tentu saja! Kalau tidak aku tidak akan datang pagi-pagi hanya untuk latihan!” seru Mahiru yang langsung ia sesali karena ia takut akan mendapatkan sesuatu yang menyeramkan dari Zen. Tapi ternyata Zen hanya menatap tajam ke arahnya sambil mengangguk-angguk. “Keluarkan sepatu hak tinggi yang tadi kau pakai!” perintah Zen.

Mendengar sepatu hak tinggi, ia teringat dengan kaki Zen. “Kaki kau sudah tidak apa-apa? Masih sakit?” tanya Mahiru cemas seraya menunduk untuk melihat keadaan kaki Zen. Ketika Mahiru mau menggapai kaki Zen, Zen langsung menarik kakinya menjauh dan membuka suaranya, “Aku tidak apa-apa, dari pada itu, keluarkan sepatu hak tinggi itu!” ujar Zen mengulang perintahnya.

Perfect X Worst [BxB] ✔️Where stories live. Discover now