Kurban Perdana

46 1 2
                                    


Belajar Dari Nina

Oleh Fuatuttaqwiyah El- Adiba

Nina adalah salah satu muridku. Dia termasuk murid yang sangat istimewa bagiku. Darinya aku belajar banyak hal. Salah satunya adalah saat dia kelas tiga SMA. Sekolahku merupakan sekolah yang didirikan untuk anak-anak korban Tsunami di Aceh, korban konflik, dan fakir miskin. Nina termasuk kategori yang terakhir yakni miskin.

Awal perjumpaanku dengannya, aku sama sekali belum jatuh hati. Apalagi dia waktu itu terkenal sebagai siswa yang sangat keras kepala dan egonya sangat tinggi. Dia juga sangat temperamental. Namun, seiring berlalunya waktu, dia mulai berubah. Rasa egoisnya perlahan-lahan mulai berkurang. Dia yang awalnya cuek mulai peduli dengan teman-temannya. Kepedulian itu tidak hanya kepada teman sebaya, namun juga adik- adik kelasnya.

Waktu itu, aku sedang mengajarkan tentang konsep sedekah. Sedekah dari hal yang kecil semisal senyum hingga sedekah berupa benda yakni uang. Setelah mendengar ceritaku tentang dahsyatnya berbagi( sedekah), Nina pun mulai melakukan hal itu. Setiap ayahnya datang membawa uang bulanannya, ia pasti menyisihkan Rp5000,00 hingga Rp10.000,00 untuk diberikan kepada adik- adik kelasnya yang di asrama, yang tidak bisa jajan. Bahkan pernah sampai Rp20.000,00. Nominal angka itu termasuk besar untuk anak SMA seusianya. Aku pun sangat terkejut dan dibuat kagum oleh sikapnya. Meskipun pas-pasan ia mau berbagi. Itu berlangsung selama dia kelas tiga SMA. Tidak ada seorang pun temannya yang tahu akan hal itu. Karena selama ini akulah yang menyalurkan uangnya.

Puncaknya adalah ketika dia melaksanakan ibadah kurban perdananya. Persis di tahun yang sama. Tahun terakhirnya di SMA. Aku sendiri dibuat kaget oleh sikapnya. Aku sempat mempertanyakan sikapnya. Apakah sudah yakin dengan keputusannya? Bayangkan setiap bulan menyisihkan uang kirimannya, ditabung di tempatku, dengan niat awal untuk biaya kuliah. Tiba-tiba sore itu mau diambil semua untuk kurban tanpa disisakan sedikit pun. Waktu itu jumlah tabungan Nina Rp. 900.000,00. Memang belum cukup untuk membeli seekor kambing. Namun Nina bilang, sisanya akan ditambahi oleh ayahnya. Ketika kutanya alasannya kenapa memtuskan untuk berkurban? Dia menjawab dengan mantapnya, "Nina ingin seperti yang umi( panggilan Nina selama ini kepadaku) bilang dalam pengajian kemarin. "

Aku jadi teringat kemarin mengisi tentang kurban dan perjuanganku untuk kurban pertama kalinya. Ternyata Nina ingin mewujudkan impianku yang tidak pernah terwujud. Dulu, aku ingin kurban di kelas tiga SMA. Tapi karena keluargaku sangat miskin kala itu, kurban adalah barang yang sangat mewah. Sepertinya Nina tersentuh dan tergerak hatinya untuk mewujudkan mimpiku yang tertunda. Mimpiku kali ini diwakili oleh Nina.

Ya, lagi-lagi aku harus belajar dari keikhlasannya. Untuk anak seusianya kurban adalah barang mewah. Anak remaja sekarang pasti lebih memilih hand phone daripada kurban. Tapi Nina tidak. Aku sampai berkali-kali bertanya sekedar untuk menggoyahkan kemantapan hatinya. Namun, Nina tetap seteguh karang di lautan. Dia tidak mempan dengan godaanku. Dia hanya memohon kepadaku, agar kurbannya diterima oleh Allah dan diganti dengan hal yang lebih dari yang dia kurbankan. Subhanallah, Aku kembali memuji Asma-Nya. Semua pasti karena bimbingan-Nya.

Hari hari selanjutnya tidak tampak penyesalan di mata Nina. Ia tetap ceria dan optimis menjalani hari- harinya. Dia sudah lupa dengan kurbannya. Konsentrasinya ke Ujian Nasional dan UMPTN. Berkali-kali gagal dengan tes masuk UI maupun UGM tidak menyurutkan langkahnya. Hingga keajaiban itu terjadi.

Tanggal 30 Juni 2009 adalah hari yang sangat membahagiakanku dan Nina tentunya. Berkat keikhlasannya berkurban, Allah menggantinya dengan sesuatu yang sangat luar biasa. Nina diterima di ITS jurusan Planologi dengan beasiswa penuh sampai selesai. Tidak hanya biaya kuliah saja namun juga biaya hidup di kota Surabaya. Aku selalu berpikir itu buah dari ketekunannya belajar dan keikhlasannya berkurban serta bersedekah selama ini.

Saat ini Nina masih di ITS semester ke enam. Prestasinya juga lumayan. Dan hingga sekarang aku belum mendapatkan murid seperti Nina lagi. Aku bermimpi mendapatkan murid seperti dia. Namun sepertinya masih jauh.

Cerita ini kutulis tahun 2009. Saat ini 2017, Nina sudah menjadi asisten dosen di Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe, Aceh.


Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Aug 04, 2017 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

Belajar dari NinaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant