Tiga Bulan Senja Pengikat Hati

22 1 0
                                    

Diperjalanan hidup ayah yang telah mencapai angka delapan puluh saat ini, apalah yang kuharapkan darinya selain hidup bahagia. Namun tuhan berkata lain pendamping hidup Ayah—Ibuku— yang teramat tersayang telah dahulu dijemput oleh sang pencipta. Sedih tentu, itu adalah hal yang lumrah dirasakan setiap orang yang ditingalkan.

Dan selama enam bulan setelah itu Ayah setia sendiri dirumah yang telah menjadi saksi bisu perjalanan cintanya yang berbuahkan aku. Seorang anak laki-laki yang sekarang juga telah mempunyai istri dan tentunya memiliki anak juga. Ironisnya aku berkerja di daerah lain selama ini dan telah menetap disana. Hal inilah yang membuat ayah mau tak mau harus sendiri dirumah ini.

Sebenarnya aku telah mengajak ayah berkali-kali untuk ikut tinggal dirumahku. Namun dia tetap menolak dengan berkata bahwa dia lebih senang tinggal dikampung ini.

Aku sudah sangat bingung menghadapi kekeras kepalaan ayah. Karna hal ini aku jadi sering bolak-balik dari tempatku menetap sekarang ke kampung halamanku tempat ayah tinggal. Aku sangat mencemaskannya. Aku ingin tinggal dengannya disini sedang dilain pihak aku juga harus bekerja.

"Mas, bagaimana kalau ayah dinikahkan saja.." suara istriku tertangkap jelas oleh indra pendengaranku. Sontak saja aku menoleh kearahnya. Aku tak mengangap serius perkataan istriku ini sehingga aku hanya merespon seadanya. "Ibu, ada-ada saja..". mendengar tanggapanku. Istriku tersenyum lembut kearahku dan berjalan menghampiriku lalu duduk dikursi ruang tamu yang tepat menghadap kearahku,

"Aku serius, mas.. ini hal yang biasa. Dengan menikah ayah mungkin akan tenang dan punya tempat berbagi serta pencurahan hatinya yang memiliki pemikiran yang sama dengannya. Ini lebih baik dari pada menyewa orang untuk merawat ayah" jelas istriku. Aku hanya menatapnya dengan sedikit ketertarikan.

"Kau yakin dengan hal ini?" tanyaku.

"Tentu"

"Sepemikiran maksudmu, apa orang memiliki umur yang sama dengan ayah?"

"Ya, usahakan tidak jauh beda. Karna mereka akan lebih mudah berkomunikasi dan mungkin saja memiliki perasaan yang sama yang kita tidak fahami" tambah istriku lagi.

Senyuman terbingkai diwajahku saat mendengar penuturan istriku, sungguh tak salah aku telah memilih dan menjadikan dia pendamping hidupku. Dia sungguh dapat menatap suatu permasalahan dalam sudut pandang yang berbeda sehingga terkesan tidak rumit lagi.

"Terimakasih" ucapku seraya menepuk puncak kepalanya sayang. "aku akan membicarakannya dengan Ayah," tambahku.

"Tentu, secepatnya lebih baik.."

***

Disinilah aku sekarang, di depan rumah ayah bersama istri dan kedua anakku Ikhsan dan Habil.

"Assalammu'alaikum" ucpku seraya mengituk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam rumah dan langkah kaki berat yang terdengar mendekati pintu.

"Ya, sebentar.."

Tak berselang lama kemudian. "klek.." suara pintu terbuka dan menampilkan potret seorang pria yang telah termakan usia. Tak dapat kupungkiri bahwa dia merupakan inspirasi dan idola dari kecilku sampai sekarang ini.

"Hasan!" seru ayah. "akh, ada Ikhsan dan Habil juga.. ayo masuk" sapa ayah dan kemudian mempersilahkan kami memasuki rumah. Sebelum itu aku beserta keluargaku mencium tangan ayah penuh sayang dan hormat.

***

"Ayah sebenarnya kedatangan aku kesini untuk membicarakan tetang ayah yang tak mau ikut dengan kami ke kota" ucapku memulai pembicaraan.

"Jika kau masih bersikeras untuk mengajak ayah, ayah tetap akan menolak. Kau tak perlu cemas. Ayah akan baik-baik saja disini. Lagi pula ayahkan tinggal di tengah kampung jadi jika ada sesuatu, juga dapat minta bantuan pada tetangga." Sergah ayahku. Mendengar perkataan ayah aku hanya dapat menghela nafas lelah.

"Baiklah jika ayah berkata begitu, oleh karna itu aku ingin mengusulkan sesuatu pada ayah jika ayah berkenan."

"Apa yang akan kau usulkan" tanya ayahku.

"Bagaimana jika ayah menikah lagi?" tanyaku dengan menatap penuh keseriusan pada ayah. Lama ayah terdiam sampai dia berkata "terserah padamu, asal kau tak memaksaku untuk mengikutimu pindah kekota, tapi ya, apa masih adakah orang yang mau untuk menikah dengan ku.." balas ayah kurang yakin.

"Ayah, tenang saja aku yang akan mengurusnya. Dan karna ayah telah setuju lebih baik kita percepat sja melakukan niatan baik ini." Terangku pada ayah.

"Kau sudah punya calon untuk ayahmu ini?"

"Tentu, nenek badriah tetangga sebelah" jawabku. Belum sempat ayah berkata aku telah memotonganya, "Seperti yang aku katakan sebelumnya ayah tenang saja, aku nanti yang akan mengurusnya walau kita tetap pergi bersama kesana." Ayah hanya terdiam mematapku. "Atau ayah tak menyukainya.." tanyaku.

"Ayah tak berhak berkata begitu, dia bahkan lebih muda dari ayah lima tahun."

"Kalau begitu nanti habis maghrib kita kerumahnya," tegasku. Ayah hanya merespon dengan anggukan. Kemudian kami hanyut dalam perbincangan kecil yang sesekali tertawa karna ulah kedua anakkku.

***

"Maksud kedatangan kami kesini baik dan kami harap nenek tidak marah. Apkah mau nenek menikah dengaan ayah saya. Seperti yang nenek ketahui ibu sudah meningal lebih dari enam bulan yang lalu.. akan lebih baik jika ayah punya teman dalam menjalani hidupnya" kataku pada nenek badriah ketika kami telah berkunjung dan sedikit berbasa basi.

"Aku tidak masalah akan hal itu, jika ayahmu juga menyetujuinya " jawb nenek itu. Mendengarnya aku sungguh senang.

"Tentu saja " balasku yakin. "Kalau begitu pernikahan akan dilakukan secepatnya" tambahku.

Dua hari kemudian pernikahan diadakan secara sederhana. Dan yang diundang adalah orang ter dekat kedua belah pihak.

Saat itu tak banyak yang kufikirkan yang jelas aku sungguh merasa haru melihat ayah mengucapkan ijab kabul dimana aku yang menjadi saksinya. Sungguh tak pernah terlintas dibenakku sebelumnya.

***

Setelah menikah nenek badriah—Ibuku— tinggal dirumah ayah sekarang. Dapat kulihat setelah pernikahanya ayah jauh lebih sehat dan dia jadi sering tertawa. Tentu saja takkan ada roman picisan dalam kisahnya ini mungkin pangilan mereka saja yang terkesan sedikit mesra. Dan aku juga tak habis fikir pada Ayah yang tak bosan menyesap kopi yang banyak setiap harinya walau istrinya telah mengomel panjang lebar tentang itu. Ya, begitulah. Aku tetap sering berkunjung walau tak sering seperti sebelumnya.

***

Tak pernah aku berfikir akan secepat ini. Tiga bulan setelah pernikahan Ayah dan Ibu tiriku. Dia pergi meningalkan kami untuk selama-lamanya. Aku tak tahu apa yang dirasakan nenek badriah—Ibu tiriku—ya, karna ini merupakan kedua kalinya dia ditingalkan oleh suaminya untuk selamanya. Walau begitu aku tetap memanggilanya ibu. Dia ibu yang baik menurutku, sebenarnya tidak hanya aku kedua anakku juga dekat dengannya. Dia orang ceria walau sudah tua. Tak salah aku menikahkan Ayah dengannya.

Setelah Ayah meninggal nenek badriah kembali kerumahnya di sebelah rumah Ayah dan dia tetap merawat rumah itu. Apabila pulang kampung aku pasti langsung kerumahnya. Karena Ayah aku masih punya banyak alasan untuk tetap pulang dan memiliki satu orang ibu lagi yang luar biasa.

Tiga bulan dalam senja ayah memberiku ikatan hati yang sungguh luar biasa—keluaga. 

.

.

.

end

Tiga Bulan Senja Pengikat HatiWhere stories live. Discover now