Prosecution | Chapter 3

35.3K 4.8K 936
                                    


"FUCK!"

Chrissy tertawa mendengar umpatan Hazel. Sebulan tidak berkomunikasi, ternyata yang paling ia rindukan dari gadis itu adalah suara memekiknya saat mengumpat.

"Aku tidak merasa ini adalah sesuatu yang lucu, Chrissy. Ini serius!"

"Aku tahu." Chrissy tertawa lagi. Ia tidak akan mengatakan apa yang jadi alasannya tertawa.

"Lalu bagaimana rasanya?" tanya Hazel. "Kau boleh saja bersedih, merasa hancur—tentu saja aku prihatin, sangat. Aku menyayangimu, Sy. But, don't forget you're a normal woman too—paling tidak kau merasakan sesuatu, kan? If you know what i mean."

"Oh, betapa aku berharap Bibi Helen berada di sini." Chrissy mengusap wajahnya, pasrah. "Setidaknya, dia tidak akan mengajukan pertanyaan yang melecehkan seperti itu."

"Melecehkan?" Suara Hazel naik satu oktaf. "Aku tidak—argh, fine. Anggap aku tidak bertanya apapun—lagipula, aku tidak yakin kau akan menceritakan hal ini jika ada Ibu ku itu, Sy."

"Lihat siapa yang kesal." Chrissy menyolek pinggang Hazel, menggoda gadis itu supaya tersenyum. Melihat Hazel menyembunyikan senyumnya, lalu melempar bantal tepat mengenai wajah Chrissy, Chrissy tertawa. Kemudian, ia menghela napas panjang yang sarat akan sebuah emosi tak menentu.

"Baiklah..." Hazel menyadari Chrissy hampir menangis. "Obat patah hati yang paling mujarab adalah belanja," katanya penuh semangat, yang seketika menghilang setelah melihat reaksi Chrissy yang hanya terdiam murung. "Oh, aku bersumpah akan membunuh siapapun laki-laki brengsek itu," ujar Hazel. "Aku bisa mencari tahu daftar tamu undangan pesta itu kalau kau mau."

"Tidak," saut Chrissy, cepat. "Aku tidak mau tahu siapa laki-laki itu, Haze—at least, aku tahu dia orang kaya, dan bukan tua bangka. Ini bukan sepenuhnya salah laki-laki itu. Seharusnya aku tahu itu bukan Liam—ah, tapi laki-laki itu juga seharusnya tahu aku mengiranya sebagai orang lain." Lagi-lagi, Chrissy menghela napas lanjang.

"Kalau begitu, dia mengenalmu." Hazel mengatakan fakta yang sudah berkali-kali ingin Chrissy tepis. Tentu saja Chrissy sudah memikirkan dugaan itu. Tapi siapa? Siapa yang dengan tega melakukan hal itu padanya? Merenggut sesuatu yang sangat berharga darinya, lalu pergi begitu saja. Apa laki-laki itu membencinya? Chrissy tidak pernah memiliki musuh, dia memang tidak memiliki banyak teman dekat, tapi setidaknya dia tidak pernah membuat masalah dengan orang lain. Chrissy selalu menginginkan kedamaian.

"Aku tertipu dengan warna matanya yang sama dengan Liam. Padahal kalau dipikir-pikir, mereka memiliki perawakan yang berbeda. Laki-laki itu lebih tinggi dibanding Liam, tapi mereka memiliki harum parfum yang sama. Mungkin, itu salah satu faktor lain yang membuatku dengan mudah menyangka dia adalah Liam. Bodohnya, seharusnya aku sudah curiga saat dia tidak mengatakan apapun." Chrissy mendongakkan wajahnya ke atas menghadap langit-langit kamar Hazel, seraya mengipas-ngipaskan tangannya di depan mata. Air matanya sudah hampir tumpah.

Hazel menarik Chrissy ke dalam pelukannya. "Siapapun yang telah jahat padamu, akan menerima hukuman yang lebih jahat. Apa yang kau tanam, itu yang kau tuai."

Chrissy merengkuh Hazel erat selama beberapa lama, lalu melepaskan diri. Matanya basah karena air mata, tapi dia jauh merasa lebih baik sekarang. "Apa tawaran shoppingmu masih berlaku?"

***

Chrissy pulang ke arah yang berlawanan dengan Hazel. Ia memutuskan untuk tinggal di hotel, sementara sepupunya itu bertolak ke Prancis untuk melakukan pemotretan. Hazel memang sudah tinggal lebih lama di Amerika sebelum Chrissy datang ke sana. Dua hari yang lalu, Hazel bahkan baru saja menemani Sam membeli perlengkapan kamar asramanya.

PROSECUTION (His Obsession's Sequel)Where stories live. Discover now