4 || Perfeksionisme

13.3K 1.7K 62
                                    

Kurapikan poni setinggi dahi dengan jari tanganku. Mengarahkannya ke sisi kanan dan kembali lagi ke sisi kiri sampai tertata sedikit sempurna. Setelahnya, tanganku meraih gincu yang kata April dapat memberi efek tertegun pada semua lapisan pria.

Oke, ini bukan kemauanku untuk membelinya, tapi salahkan April yang terlalu pintar merayuku dengan iming-iming diskon 70% disaat harga toko yang mencapai 300 ribu per buahnya. Entahlah ini barang KW atau KW super, yang terpenting mendapatkan pengganti lipstick peach berlubang karena kerukan kelingkingku.

Bibir kukulum berulang kali untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, seketika keningku mengernyit saat warnanya makin merah.

"Apaan, nih? Duh!" Segera kuraih selembar tissue wajah untuk menghapusnya.

Tok ... tok...

Aku menoleh dan melihat bayangan tubuh seseorang berdiri di depan kamar. Aku beranjak untuk membukakan pintu. Dan seketika nafasku tercekat saat melihatnya berdiri dengan kedua tangan terselip ke dalam saku celana berbahan jeans itu.

Cakep.

Banget.

Kulitnya terlihat kontras dengan kemeja hitam slim fit polos yang dia pakai. Kain pada lengan yang digulung hingga batas siku, membuat otot-ototnya yang menonjol menggundang untuk disentuh.

Ampun, Lea ....

Dan wangi.

Pake banget.

"Kenapa bibirmu?"

Sontak aku tersadar dan menatapnya yang tengah memandangku dengan ekspresi aneh.

"Oh, kenapa?" Sontak kubersihkan bibir menggunakan tissue yang masih kupegang. "Jelek, ya?"

"Tuh, di sini-sini." Tunjuknya pada pipi dan dagunya sendiri.

"Kok bisa nyampe situ, sih?" Tanyaku sambil terus mengelap area yang dia maksud. "Masih ada nggak?" Kutunjukkan wajah yang telah kuusap di depannya.

"Le, kamu nggak nyuruh aku masuk?"

"Oh, ya-ya." Kubuka pintu selebar mungkin dan berdiri menepi.

Ibas melangkah memasuki kamarku dan berhenti di tepian kasur. "Ya, gini bersih. Cewek kok kamarnya kayak kandang."

"Kamu kalau ke sini niatnya mau komen, mendingan di mobil aja, deh."

"Loh, aku kan apresiasi perubahan kamu."

"Ya, kalau apresiasi nggak usah ngomong gitu, mbok bawain bunga, kek, atau coklat." Kuambil handuk yang tergeletak dari atas kasur. "Ngomong manis dikit, kan, bisa," gerutuku sambil berjalan ke kamar mandi.

"Jadi, kamu maunya aku bawa coklat sama bunga dan bilang selamat ke kamu?"

Bodohlah, Bas!

"Kamu suka bunga apa?"

Ampun ... ini lugu apa terlalu jujur, sih?

"Edelweis," sahutku sambil meraih celana jeans dan kemeja putih dari dalam lemari.

"Sulit banget, sih? Kenapa nggak mawar aja?"

Seketika kututup pintu lemari sedikit kencang. Pandanganku beralih padanya. "Yang namanya cinta itu diusahain, nggak malah nawar-nawar. Lagian kamu itu ..." Kuhela nafas rendah dan menggeleng kepala sekilas. "Nggak usah apresiasi, deh, Bas. Ruwet."

Aku benar-benar speechless ngomong sama dia.

"Ya, udah. Nanti aku cariin Edelweis. Coklatnya mau merek apa?"

I N  E A R N E S T (Diaeresis, #2)Where stories live. Discover now