2010

41 0 0
                                    

2010

She didn't even say goodbye....

Kalimat di media sosial, tujuh tahun silam. Kuterjemahkan, "bahkan dia tak mengucapkan selamat tinggal". Memang benar, aku pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Pedih menerima kenyataan bahwa tak bisa bersatu. Bahkan perlu ditebalkan lalu garisbawahi, tidak bisa.

Steve, telah menaruh hati sejak SMA. Tak ada yang tahu sebab ia pun terlihat biasa saja. Setelah lulus dari sekolah, ia memberanikan diri berterus terang padaku. Sayang, semua terlambat. Jarak antara Pulau Jawa dan Sumatera cukup jauh.

Ketika melanjutkan sekolah di kota berbeda, barulah cinta itu menggelitik sanubari. Hubungan pun memiliki kendala, salah satunya adalah komunikasi. Berapa lama kami bertahan? Apakah menaruh harapan yang tak pasti adalah ironi? Tapi kucoba mengikuti penantian, meski tertatih dan nyaris selesai. Jika ia ikut padaku dan mengubah haluan, bukankah surga jaminan-Nya?

Perpisahan sekolah adalah pertemuan terakhir sekaligus awal cinta kami. Satu kata "unik". Kami memilih hubungan yang tak biasa, LDR alias Long Distance Relationship. Hanya mengandalkan rasa percaya, sering berkabar, dan berbagi cerita. Cukup efektif mengurangi biaya ongkos bertemu.

Intens kita berhubungan, semua dibahas. Bicara lewat telepon tak pernah putus, via pesan singkat pun tak pernah berhenti. Mulai dari masa lalu, saat ini, dan berakhir di masa depan. Kami punya visi dan misi yang sama. Satu tujuan jelas tergambar. Bukankah bahagia jika terwujud bersama?

Hari ini adalah peringatan hari ibu. Tak lupa kuselipkan kata-kata manis untuk ibu dan para Dosen wanitaku. "Tiada mutiara sebening cinta. Tiada sutra setulus kasih sayang. Tiada embun sesuci ketulusan hati, dan tiada hubungan seindah jalinan ibu dan anak. Selamat hari ibu, ya Bu." Kuucapkan pada mereka, seorang ibu yang ikhlas mendedikasikan pengabdiannya untuk bangsa dan akhirat

"Bee, sudah telepon mama belum? Selamat hari ibu ya. Aku sudah ucapin ke mama, tapi ya begitulah disini cuek semua, hehe..." ujarnya. Sejak sekolah selalu memanggilku dengan sebutan Bee. Ia lelaki yang baik, pintar, selalu juara, dan tak berulah seperti anak-anak seusianya. Aku senang karena ia ramah dan duduk di bangku belakangku. Akrab? Tentu saja, sering dalam satu kelompok dan kompak dalam belajar.

"Kok ngucapinnya gitu sih? Belum ibu-ibu tahu." Ujarku tak terima.

"Pasti akan jadi ibu dari anak-anakku nanti." Merona pipi ini mendengarnya.

"Hahaha.... amiin. Kamu sudah ngucapin ke mama belum?"

"Sudah biasa kali. Disini cuek semua, punya kegiatan masing-masing. Kamu tiap tahun ngerayain ya?"

"Nggak, aku setiap hari."

"Setiap hari? Bagaimana caranya?"

"Walaupun nggak bisa ketemu langsung, tapi setiap hari harus bicara di telepon, sms'an, diusahakan nggak lost contact. Pasti kamu dekatnya sama mama deh."

"Kadang-kadang dekat dengan mama, kadang-kadang nggak. Tergantung situasi, hehehe. Hmmm... ayahmu galak nggak ya? Kalau aku ketemu ayah kira-kira bagaimana? Suatu saat nanti, pasti aku akan bicara."

"Aku dekat banget dengan ayah, sudah seperti kakak. Kalau kamu ketemu, pasti diajak ngobrol seharian. Memangnya mau bicara apa? Dekat dengan mama kok tergantung situasi? Jadi dekatnya dengan siapa dong?"

"Dekat dengan kamu lha. Makanya jangan tinggalkan aku ya."

Kami memang sering berkomunikasi dengan keluarga. Setidaknya mengetahui kondisi dan asal-usul. Steve seorang yatim, ia ditinggal ayahnya sejak kecil. Bungsu ini memiliki dua kakak. Kakak pertama perempuan, namun telah meninggal. Kakak kedua adalah laki-laki yang bekerja di perusahaan ternama di Jakarta. Kini ia tinggal bersama ibu.

Omong KosongWhere stories live. Discover now