Bab 3: Leon, Siapa dia? Ah gapenting.(Part 1)

60 9 0
                                    



Setelah menghabisi kedua preman itu, dia dengan santai duduk di sampingku dan menepuk-nepukkan kedua telapak tangan layaknya sedang membersihkan dari debu. Aku tidak tau ingin bereaksi apa. Di satu sisi aku sangat berterima kasih kepadanya, tapi di sisi lain aksinya tadi sangat membuatku was-was. Siapatau dia hanya salah satu penumpang yang terganggu dengan keributan kami hingga ingin menghabisi kami. Jangan sampai... Aku hanya bisa diam berharap-harap cemas dengan tubuh gemetar...

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku perlahan dengan masih diselimuti rasa takut.

"Te... Terima Kasih... Kenapa kau mau menolongku?" tanyaku ragu.

"Gapapa gue Cuma ingin gaada yang sok jagoan di sini, untung lu ga kenapa-napa, santai aja kali." jawabnya santai.

"Kok lu tiba-tiba bisa ada di sini?"

"Ohh.. Mmm.. tidak apa-apa bangku ini kosong kan lagian."

"Oh iya iya.. sekali lagi terima kasih ya."

Untuk beberapa menit aku hanya duduk diam berharap kereta ini segera menepi. Kedua preman di depanku juga tampak gemetaran, sedangkan pria misterius ini asik bermain game di Handphonenya. Oiya! aku lupa menanyaka namanya.

"Leon." kata pria itu tiba-tiba.

"Leon?"

"Ya, namaku Leon."

"Oh... ehehe.. baru pengen gue tanyain" Bagaimana dia bisa tau isi pikiranku.

"Oiya nama gue.."

"Dana kan?"

.... Aku tertegun.... Bagaimana dia tahu namaku. Sungguh ini menjadi semakin Creepy. Aku bertanya bagaimana dia bisa tau, tapi dia hanya tertawa kecil lalu kembali fokus dengan gamenya.

30 menit berlalu kereta kami akhirnya berhenti. Aku bergegas menurunkan ranselku. Sedangkan Leon, dia langsung meninggalkan tempat duduknya dan pergi turun sambil tetap fokus bermain game androidnya itu. Pria macam apa yang bepergian tidak membawa apa-apa seperti itu? Pikirku.

Sudahlah, yang penting aku sudah berterima kasih kepadanya. Kalau lain kali aku punya kesempatan untuk membalas budi, pasti aku lakukan. Sekarang biarkan saja pria aneh itu.

Aku berjalan menyusuri gerbong kereta yang sesak ini. Awalnya hanya terasa sedikit yang aneh, tapi lama-lama aku semakin merasa sedang diperhatikan. Ketika aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memang ternyata hampir semua orang sedang memandangku dengan tatapan takut dan aneh. Mata yang paling aku benci. Bahkan ada seorang perempuan manis yang menatapku seperti itu juga, seketika kesan manis di wajahnya itu hilang. Aku mencoba tidak memperdulikan mereka lalu pergi secepat mungkin.

Huff... ada-ada saja. Stasiun Kota Malang. Hmm apa yang harus kulakukan sekarang. Ah! sepertinya lebih baik aku mengunjungi stan travel di malang, seperti waktu aku ke jogja dulu. Meminta Map lalu pergi hanya bergantung pada map itu.

Coba kita lihat... untuk menuju Bromo kita perlu naik dulu ke wilayah atas. Sepertinya Bromo akan kujadikan wisata penutup saja nanti. Hmmm, baiklah sudah kuputuskan. Museum angkut, saatnya kita bernostalgia...

...

Wkwk luas juga ya kota malang ini. cukup jauh jarak dari stasiun ke museum angkut itu. Bahkan ini masih 3/4 jalan dari yang harus kutempuh. Jalan-jalan di kota ini memang tidak seramai di kota jakarta. Tapi sekalinya ada bus yang lewat, ada saja debu yang terbang ke arahku. Maklum lah itu mungkin karena jalan setapak ini terlalu dekat dengan jalan rayanya. Apalagi aku memutuskan untuk mengirit uang dengan berjalan kaki semampuku.

Baru saja terbesit dipikiranku, tiba-tiba sebuah bus melaju dengan kencang di sampingku dan menerbangkan debu-debu halus.

Ah! Sial! mataku kelilipan debu. Aku mengucak mataku beberapa kali hingga mataku mengeluarkan air dan terasa perih.

"Byy tolong tetesin d..." Gaada Rinta di sini Dana, jangan mengigau... Entah kenapa mulutku reflek berkata seperti itu...

Dulu setiap mataku merah, pasti Rinta selalu menyempatkan untuk meneteskan obat pada mataku. Dia juga sering membelikanku obat kalau sudah habis. Teman-temannya bahkan berkata kalau Rinta seperti punya dua kepribadian. Yang satu Rinta si jutek dan galak, satu lagi yang selalu baik dan mau manja dan dimanjai olehku. Sekarang semua jadi sepi tanpanya.

Aku jadi ingat percakapan lucu kami. Dimana aku mengaku kalau aku tuh kalo tidur melek, jadi mataku ini rawan merah dan perih. Aku yakin beberapa orang akan illfeel mengetaui itu, bahkan aku sering dibully oleh teman-temanku karena itu. Mungkin Rinta juga illfeel, tapi dia tidak menunjukkannya. Dia biasa-biasa saja ketika aku jatuh tertidur di pangkuannya. Menjagaku agar tetap tertidur, mengelus-elus kepalaku. Dia juga mengakui kekurangan jantungnya, mata ayamnya, dan juga luka pada sebagian tubuhnya. Tapi kami tetap sepakat untuk menerima apa adanya dan saling menjaga satu sama lain... Aku rindu masa-masa itu.

Rinta... tolong kembalilah...

Aku terpaksa pergi ke warung terdekat dulu untuk membeli sebotol obat tetes mata. Aku coba meneteskannya sendiri, tapi selalu tidak tepat sasaran.

Ah! aku kesal dan memukul pahaku sendiri. Aku sadar orang-orang disekitarku langsung menatapku aneh. Tapi aku tidak peduli. Wajar saja, aku ini orang yang gampang putus asa dan emosi kalau sesuatu tidak berjalan sesuai yang kumau. Aku juga sadar sifat ini harus kurubah, karena kalau kupertahankan terus, aku tidak akan bertahan hidup dengan baik.

Akhirnya aku mencoba cara lain dengan membasuh tisu dengan air lalu kutempelkan ke mataku yang perih. Setidaknya ini membantu menyegarkan mataku. Baiklah, ayo lanjutkan perjalanan!

...

"Mah liat deh! ada pesawat itu di atas! aku nanti mau ke sana yaaa."

"Beb sini dulu dong, foto dulu kita."

"Mas maaf mas, kalau ke dalam nanti gaboleh bawa kamera ya, kalau mau bawa harus kena uang tambahan."

"Yaah pak kan justru kita ke sini buat foto-foto."

"Tau nih bapak gimana sih."

"Maaf ya mas, mbak. Tapi ini sudah peraturan museum ini."

"Yaah yaudah deh pak." Keluh seorang mas-mas yang sedang mengantri tiket. Aku yang berada dibelakangnya jadi salah tingkah, lihat kanan lihat kiri. Karena aku iri banget kalau liat Mas dan Mbaknya yang mesra ini.

Pengunjung di sini tidak hanya anak-anak muda yang suka foto-foto. Tapi ada juga anak-anak kecil, bahkan sampai kakek-nenek yang memang kesini untuk melihat pameran kendaraan-kendaraan atau hanya karena terpaksa ikut menemani keluarganya yang lain.

Bayangkan saja, lebih dari 300 anak dari angkatanku di sekolah membuat barisan yang sangat panjang sebelum masuk ke museum. Itupun di dalamnya kami belum tentu bertemu satu sama lain kalau emang ga janjian, saking luasnya museum ini.

Waktu itu aku sempat bingung, memilih untuk berkeliling bersama sahabat-sahabatku, atau bersamanya. Tapi kupikir-pikir, aku sangat tidak menginginkan untuk menyia-nyiakan momen ini. Aku tidak ingin kejadian di Museum Sangiran terjadi lagi. Waktu itu aku menyesal tidak menghabiskan waktu sedikitpun dengan Rinta di sana. Walaupun aku yakin rinta menghabiskan waktunya dengan baik dengan squadnya.

"Mas mau beli berapa tiket?" Tanya Mba-mba penjaga loket kasir.

Aku mendekatkan mulutku ke lubang kaca yang memisahkanku dengannya dan berbisik,"Mba, ..."

C(R)INTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang