#Dua

571 76 7
                                    

Kim Hwa Young

Seoul dan Busan pasti jauh berbeda.

Lihat saja jaraknya dari pucuk ke pucuk. Karena aku masih sanggup membayar tiket KTX* dan efesiensi waktu, jarak itu hanya ditempuh dalam waktu tiga jam.

Hwa Young ini telah lulus dari universitas beberapa bulan yang lalu. Atau lebih tepatnya berganti status dari mahasiswi menjadi pengangguran. Otak pintar bukanlah jaminan hidup sukses, akselerasi sekalipun. 

Teori-teori yang kau pelajari di universitas kadang tidak sebanding dengan penerapan bermasyarakat. Seperti bongkahan gunung es kecil, kau tidak tahu seberapa dalamnya bongkahan itu. Titanic yang selalu disebut-sebut melebihi kuasa Tuhan saja rubuh menabraknya.

Bodohnya aku baru sadar akan itu sekarang. Kalau bukan gara-gara Yoonji, mungkin aku masih terjebak dalam pikiran kolotku.

"Kau itu pintar, Hwa Young-ah. Lulus paling cepat dengan nilai sempurna. Aku tidak mengerti mengapa kau mau ambil pekerjaan itu." Sekarang giliran Dongjun yang kembali merengek. Yoonji menunggu diluar bersama ibuku, kami sudah berpamitan lebih dulu. See? Siapa yang paling enggan ditinggalkan di sini?

Aku mengeratkan pegangan pada koper Line Brown milikku, terus berjalan menuju ke peron. Pria itu mengikutiku seperti anak bebek. "Justru itu kepintaran ini harus diterapkan di kota besar, oppa."

"Ya, tapi kau tahu kan, itu-aish, walaupun ada kata "Big" tapi mereka bukanlah agensi besar, Young-ah."

Sebelum ia mengomel lebih jauh aku segera menyeletuk, "Oppa, please. Ini hidupku, ini pilihanku. Ini satu-satunya jalan melepas status menjengkelkan ini."

"Oppa lupa? Oh, mari aku ingatkan: kita sudah sepakat semalam."

Dongjun oppa menghela napas. Kali ini ia membiarkanku menang. Memang seharusnya begitu. Karena di setiap perdebatan kami, aku terus mengalah untuk menjaga tata krama.

Aku bersiap naik sembari mengeratkan syal musim dinginku. Namun sebelumnya aku berucap, "Oh, ya. Namanya Big Hit. Big Hit entertainment. Bukan Big Bang, jangan sampai salah."

"Ara, ara," jawabnya tak acuh. Tiba-tiba ia mendekat dan melepaskan syal dusty pink di leherku dan menggatinya dengan syal rajut warna merah marun miliknya. Aku tidak sempat protes.

"Punyamu terlalu tipis, syal macam apa sih ini?" Dongjun mengomel lagi, menyentuh kain syalku dengan tatapan sebal. Namun pria itu tetap mengalungkan di lehernya asal.

Bibirku mengulas senyum geli. Aku tadinya bermaksud meledeknya karena syal wanita itu, namun di sisi lain aku sadar ini bentuk ucapan selamat tinggal darinya. Dongjun oppa tidak pernah mengekspresikan perasaannya dengan baik, tidak lewat ucapan.

Selagi dia masih sibuk merutuki syal tipisnya, aku memeluk lehernya dalam sekali tarikan. Berbisik, "Sampai jumpa nanti, Oppa."

Aku lebih senang mengatakan sampai jumpa, atau ayo bertemu besok daripada kata bye, terlebih untuk orang yang kucintai. Karena sejauh apapun, pasti aku ingin kembali.

Saying good-bye is not my style.

.

.

.

Seoul.

Benarkah aroma yang kuhirup saat ini adalah Seoul?

Tidak ada aroma angin laut lagi. Tergantikan oleh aroma orang-orang berlalu lalang memakai jas mahal. Sedingin-dinginnya suhu, lautan manusia tetap menguarkan bau prafum segala penjuru berikut keringatnya. Smartphone menyelip hampir di tiap sisi telinga mereka. Menenggelamkan diri dalam obrolan melalui benda kotak itu.

DistanceWhere stories live. Discover now