PROLOG

16 2 0
                                    

Memang benar adanya, ketika kalian jatuh cinta dengan seseorang, dalam sepersekian detik kalian merasakan hal tersebut kalian bahkan tidak akan menyadari bahwa akan ada kupu-kupu yang menggelitik di perut kalian, ataupun rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dada kalian. Lalu, ketika kalian menyadari jika penyebab hal-hal yang kalian alami adalah karena perasaan menyukai pada seseorang, itu semua mungkin sudah terlambat.

"Apa aku pernah mengenalmu sebelumnya?" tanya lelaki dengan senyum terindah yang pernah Park Siyeon temui dalam hidupnya. Senyum dari lelaki dihadapannya tetap sama, suaranya telah berubah lebih berat dari terakhir ia dengarkan. Kilatan matanya yang dahulu terkesan hangat kini berubah seperti mengundang kenakalan.

Park Siyeon menggelengkan kepalanya lalu menunduk dan mengucapkan permintaan maaf. Segera ia mengambil ransel yang ia geletakkan dikursi kosong sebelahnya dan bergegas untuk turun di stasiun tujuannya, meskipun stasiun tujuannya sebenarnya sama dengan lelaki dihadapannya tersebut.

"Hei, tunggu dulu!" lengan lelaki tersebut mencengkram pergelangan tangan Siyeon, membuat sebuah gelang yang ia kenakan menekan keras pada kulit pergelangan tangannya. Siyeon merintih pelan merasakan sakit yang tiba-tiba menyerangnya, "Untuk apa kau menatapku selama satu jam perjalanan dikereta ini jika kau tidak punya urusan apapun denganku, huh?" tanya lelaki itu dengan nada mendesak.

Park Siyeon mengangkat kepalanya, menatap tajam kepada lekaki dihadapannya. Lelaki yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya, lelaki yang jika menanyakan pertanyaan yang sama tiga bulan yang lalu pasti akan lebih malu-malu dan bahkan tidak akan berani memegang Siyeon seperti saat ini. Dengan sebuah senyum kecil tersungging dibibirnya Park Siyeon menjawab, "Karena kau dahulu selalu melakukan hal tersebut padaku, Lee Jeno-ssi." Jawab Park Siyeon sembari menghempaskan tangannya agar terlepas dari cengkraman tangan Lee Jeno, tergesa Siyeon turun dari kereta dan berjalan cepat, dan merubahnya menjadi lari. Ya, lebih baik ia berlari menjauh... sejauh mungkin.

.

.

.

Lee Jeno memberikan sebuah kotak beludru berwarna hitam kepada Siyeon. Mereka berdua tengah duduk dibangku stasiun Seoul. Siyeon menatap kotak tersebut dengan alis yang bertautan bingung, "Hey..." Siyeon memukul lengan kanan Lee Jeno pelan, "Kenapa kau memberikan ini, huh?"

Lee Jeno tersenyum, "Karena kau adalah gadis ketiga setelah ibuku dan Seo Herin yang akan aku percayakan untuk memiliki gelang tersebut." Jawab Jeno –masih tidak menatap Siyeon. Kedua matanya tertuju pada apapun pemandangan yang ada dihadapannya. "Aku tidak bisa memberikannya tentu saja pada Seo Herin...ia tidak pernah mau menerima apapun yang aku berikan padanya. Lagipula, sejak ia menjadi saudara tiriku... aku hanya bisa memendam perasaanku padanya."

Dada Siyeon sesak –ingin rasanya ia merengkuh anak lelaki disampingnya dalam pelukannya, namun hal tersebut hanya akan menjadi sebuah kesalahan. Park Siyeon membuka kotak tersebut, dan menampakkan sebuah barcellete emas putih dengan ukiran bintang mengelilingi.

Jeno akhirnya menoleh dan menatap gadis dihadapannya tersebut, sebuah senyum hangat khas miliknya terukir. Ia lalu mengambil gelang didalam kotak tersebut, dan menarik sebelah tangan Siyeon. Dengan menunduk dan memasangkan gelang tersebut Jeno berkata, "Jika Seo Herin adalah matahari, aku adalah bulan yang akan selalu mengelilingi...dan membutuhkan cahayanya untuk bersinar. Tapi, tanpa bintang...aku akan merasa sendirian didalam kegelapan, dan bintang...membantuku lebih bersinar dengan caranya sendiri." Mendongak dan tersenyum, Jeno berkata, "Dan kau adalah bintangku, Park Siyeon." Ucap Jeno dengan suara lembutnya. Suara lembut miliknya dalam mengucapkan nama Siyeon yang terakhir kali Siyeon dengar.

.

.

.

Park Siyeon berlari dengan sekuat tenaganya. Tak dipedulikannya baju seragam sekolah yang masih ia kenakan dengan nomor ujian masuk SMA yang masih tertempel didada baju sekolahnya. Mendengar kecelakaan yang dialami Lee Jeno membuatnya tergesa-gesa berlari menuju ke rumah sakit.

Melihat Haechan dan Mark yang duduk lunglai di kursi depan ruangan, membuat langkah Park Siyeon melambat. Ia berdiri dihadapan kedua lelaki yang merupakan sahabat dekat Lee Jeno. "J-jeno..."

Mark mendongak dan menatap Siyeon dengan wajah cemasnya, "Siyeon-ah..." ujar Mark, "Ada satu hal yang harus kau ketahui." Ucap Mark dengan nada serius dan khawatir.

"Lee Jeno tidak mengenal satupun kejadian sejak setahun yang lalu." Ujar Mark. Park Siyeon menatap nanar pada teman Mark dihadapannya tersebut.

"Maksudmu... dia juga tidak mengingatku?" tanya Siyeon dengan mulut gemetar –takut akan kebenaran yang akan ia dengar.

Haechan yang duduk disamping Mark menghela nafas, "Ia bahkan tidak mengingat jika ia kini berteman denganku. Kau tau kan aku juga baru-baru ini saja berteman denganku, dan sebelumnya aku selalu bertingkah jahil dan mengerjainya?" ujar Haechan.

Lutut Siyeon seakan lemas, ia mengambil duduk di kursi sebelah Mark yang kosong, "Dengan semudah itu dia melupakanku?" tanya Siyeon –lebih kepada dirinya sendiri.

Siyeon melihat dari ruangan pintu yang terbuka, Jeno tengah tertawa dan meringis karena nyeri akibat ia tertawa. Entah apa yang dikatakan Seo Herin yang duduk dikursi pasien disebelah kasur Jeno tersebut yang dapat membuat Lee Jeno tersenyum selebar itu. Siyeon merasakan sebuah tangan mengenggam tangannya, Siyeon mendongak dan mendapati Mark Lee dan Haechan menatapnya dengan khawatir.

.

.

.

Mungkin memang benar, bulan akan selalu hanya mengitari matahari. Bahkan keberadaan bintang yang selalu menemaninnya tidak akan ada arti bagi bulan. Karena yang bisa membuat bulan bersinar hanyalah matahari.

.

.

.

Di bulan Oktober tersebut Siyeon berlari menghindari gerimis yang membasahi tanah Seoul untuk pertama kalinya. Tanpa sadar tubuh Siyeon menubruk bahu seseorang yang membuat Siyeon terjengkang kehilangan seimbangan dan terjatuh –mau tak mau tanah basah yang menjadi alasnya terjatuh tersebut membasahi rok sekolahnya. Siyeon mendapati sebuah tangan terulur kepadanya, didepan pintu masuk menuju Stasius Seoul, Siyeon mendongak. Lee Jeno –orang yang selalu berada dipikirannya dalam berbulan-bulan ini menatapnya dengan tatapan orang asing dan menjulurkan tangannya.

"Nona?" ujar Lee Jeno "Kau mau berdiri atau tetap duduk dan membuat baju sekolahmu basah. Jika tidak aku akan berlari karena kereta menuju ke sekolah kita akan berangkat..." Lee Jeno mendecak dan menatap jam tangan sport warna hitam miliknya, "Lima belas menit lagi."

Siyeon tetap diam terpaku, dan membuat Lee Jeno dihadapannya mendecak lalu menyudahi mengulurkan tangannya. "Oh basahi saja bokongmu disana dan telat ke sekolah. Dasar gadis aneh." Ujar Lee Jeno dengan menggerutu dan berlari masuk ke stasiun meninggalkan Siyeon yang masih terpaku bingung.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 04, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

OCTOBER RAINWhere stories live. Discover now