[2]

12.7K 2K 83
                                    

Masa sewa apartemennya sudah habis, Kilan lebih memilih mencari Apartemen yang dekat dengan kantornya. Apartemen sebelumnya ia sewa berada di daerah Jakarta barat, sementara ia bekerja di daerah Jakarta Pusat. Karena dari itu Kilan menyewa sebuah Apartemen di daerah Menteng.

Sebuah jasa ekspedisi sudah mengangkut semua barangnya sejak tadi pagi yang diawasi oleh adiknya tentu saja. Dan malam ini sepulang kerja Kilan harusnya tak terlalu memikirikan perpindahan barang karena adiknya pasti sudah menyelesaikannya.

Lift yang dinaiki Kilan berdenting kembali tetbuka saat beberapa detik yang lalu akan tertutup, di depannya berdiri Ardham dengan setelan kemeja Armani. Kilan hanya tersenyum ringan sebagai bentuk sapaan sopan, ia mengiring tubuhnya sendiri untuk menepi ke arah kanan pojok lift.

Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangannya, sudah pukul delapan lewat. Pantas saja penghuni tower sudah cukup sepi, karena jam kerja normal sampai pukul lima. Kilan termasuk kedalam pegawai yang sering melewati batas jam normal karyawan, pulang lebih sering lewat dari pukul lima.

"Pak," Kilan berdehem, niatnya enggan berkomunikasi dengan pria yang berdiri di sampingnya kini. Tapi apa daya ketika ia lupa bahwa akses cardnya tertinggal di mejanya. Alhasil ia mungkin harus meminjam pada Ardham dibanding harus kembali ke mejanya.

Ardham hanya melirik sekilas Kilan, ia bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menyahuti ucapan Kilan.

"Saya pinjam Akses Card Pak Ardham yah untuk gate out," Kilan menggigit bibit bawahnya pelan. Ia sangat sadar jika Ardham mengkategorikan dirinya ke dalam daftar perempuan yang harus dihindari, dilihat dari manapun jelas terlihat jika Ardham selalu menatap jengah pada segala tingkah laku Kilan.

"Saya pinjamkan," ucap Ardham saat denting Lift kembali berpunya tepat di lantai Ground, "Syaratnya kamu harus traktir saya makan siang seminggu."

Kilan mematung nyaris tak percaya dengan apa yang di dengarnya, Ardham bukan pria yang kurang penghasilan kan hingga harus memeras dirinya hanya karena sebuah akses card?

"Bapak mau meras saya?" Kilan menyusul Ardham yang sudah keluar lebih dulu beberapa detik sebelum ia sadar dari rasa terkejutnya, "Saya yakin Bapak cukup mampu hanya untuk membiayai makan siang selama sendiri."

Ardham berbelok ke kiri tepat di Gate out, ia menempelkan akses cardnya lalu melewati gate yang sudah memberinya akses untuk keluar. Kilan mendesah tak percaya, pria itu menggantungkan akses cardnya dengan seringai yang nyaris seperti memperolok.

"Bukan masalah mampu atau tidak, ini perkara imbalan. Lagian hanya makan siang satu minggu kamu merasa diperas? lucu sekali," Ardham hampir memutar bola matanya tapi ia urungkan. "Jadi, mau atau tidak?"

"Okay, seminggu." Kilan mendekati Gate lalu menerima uluran akses card dari Ardham yang tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu itu tipe perempuan yang mudah disulut amarahnya ternyata," gumam Ardham, kakinya melangkah lebih dulu setelah Kilan mengembalikan akses card nya.

"Tidak juga, saya hanya merasa tersulut dengan orang-orang tertentu," sergah Kilan, ia berjalan mengikuti langkah Ardham, karena mereka sama-sama akan ke area parkir.

"Pasti saya termasuk ke dalam orang-orang tertentu yang kamu sebutkan."

Kilan sempat tercekat saat ia mendengar tawa ringan keluar dari mulut Ardham, ia menahan langkahnya. Kenapa pria itu sekarang justru tertawa dengan mudahnya, padahl Kilan tak sedang melontarkan lelucon.

"Iya," jawab Kilan dengan suara tertahan nyaris mencicit saat Ardham juga menahan langkahnya. Kilan melirik ke arah sekitar, lampu-lampu di sekitar gedung sudah matikan. Tak ada orang yang berlalu-lalang.

RENDEZVOUSNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ