Enam Belas: Feromon

604 69 10
                                    

Lean tidak langsung pergi ke rumah sakit meski telepon dari Natasha hampir membuat gendang telinganya koyak. Dia mampir dulu ke kafe kopi demi segelas besar latte. Sesampainya di rumah sakit, laki-laki itu melenggang masuk dengan santainya. Para suster, pengunjung, bahkan pasien yang tadinya teler di atas kursi roda diam-diam melirik padanya. Tampilan Lean sendiri lebih dari cukup mengundang berpasang-pasang mata itu menjadikannya objek tontonan. Dia mengenakan sweater hitam dengan kerah menutup leher—yang mana memamerkan lekuk tubuhnya yang atletis.

Bukannya ke kamar rawat, Lean menelusuri lorong ruang-ruang kantor. Beberapa orang bersliweran di sana dan langsung berkedip-kedip cepat melihatnya. Lean berhenti di depan sebuah pintu bercat hijau pudar. Ada papan nama "dr. Natasha Rusotti" tertempel di sana. Lean menyapu deretan gigi depannya dengan lidah sebelum mengetuk singkat lalu masuk.

"Akhirnya kau ke sini juga, anak nakal," gerutu Natasha. Umurnya tiga tahun di atas Lean. Mereka bersaudara—beda ayah.

"Aku di sini, tak perlu memaki," balas Lean lalu menyeruput kopinya.

"Kapan terakhir kali kau check up hah? Jangan coba-coba membohongiku kali ini jika kau tidak ingin aku memberikan dosis yang keras. Rasanya aku ingin sekali mencekikmu lalu menjejalkan kepalamu di sepatuku."

Masih mengerikan seperti biasa, batin Lean. Dia hanya mengeluarkan kata-kata kasar pada Lean, sedangkan di hadapan pasien lain, nada suaranya seperti bidadari yang baru turun dari kayangan.

Masih dengan menatap tajam pada Lean, Natasha menunjuk ranjang kecil di pojok. Lean menurut meski raut mukanya seperti minta bogem mentah. Natasha hanya sebentar memeriksanya lalu kembali duduk di balik meja kerja.

"Apa kau juga mengabaikan nasihatku sebelum datang ke sini?" Wanita itu menuliskan sesuatu pada buku catatannya.

"Tidak. Itu karena kau jauh lebih menakutkan saat menerorku dalam mimpi." Lean menyesap kopinya. Dia lagi-lagi mendengar Natasha menggerutu.

Sambil memandang keluar jendela, Lean hanya menemukan sekeliling luar yang didominasi kegelapan meski lampu-lampu telah dinyalakan. Seberang tempat itu hanyalah tempat jeda gedung satu dengan gedung kedua. Tempat itu dipercantik dengan kolam persegi panjang yang sejajar dengan garis kanan dan kiri sisi gedung. Lean tidak sengaja mendongak kala itu. Sepertinya gedung kedua dibangun khusus untuk kamar-kamar pasien.

Lean bergeming melihat tirai di salah satu jendela disibak, kemudian seorang gadis mengintip keluar. Laki-laki dengan mata zamrud itu pun tersenyum penuh arti.

***

"Aku main ke rumah Samsin terus lupa waktu." Vio bicara pada Amarta lewat ponsel. "Tidak ada apa-apa. Hanya bosan di rumah. Lain kali aku akan memberitahumu. Mm... Apa? Tidak. Tidak usah. Kapan? Sekarang juga aku—..."

Vio mengerjap menyadari ponselnya tiba-tiba mati. Gadis itu berdecap lalu menepuk-nepuk benda itu. Beberapa kali dia mencoba menyalakannya namun gagal. Salahnya sendiri juga kenapa semalam tidak mengisi baterainya sampai penuh.

Viktor telah pergi sore tadi karena ada urusan mendadak. Vio pun harus tinggal untuk mengurus beberapa hal karena dia terus memaksa ingin pulang dan tidak ingin menginap. Jo sempat menawarkan bantuan dengan mengirim Leo ke sana tapi Vio menolak. Dia tidak suka ada orang lain lagi yang melihat betapa kacau balaunya wajahnya sekarang.

Jam tangan Vio menunjukkan pukul setengah sembilan. Dia harus segera keluar untuk mendapatkan taksi. Sebelum itu, Vio meminta masker untuk menutupi mukanya yang hampir penuh guratan luka. Sama sekali tidak lucu jika orang memandangnya sambil berpikiran macam-macam.

Mengeratkan jaketnya, gadis itu berdiri di atas trotoar sambil menoleh ke kanan dan kiri. Banyak kendaraan berlalu lalang, tapi Vio tidak kunjung melihat taksi. Dari arah belakang, dia tidak menyadari mobil hitam melaju pelan. Seseorang di dalamnya keluar. Vio tidak terlalu memperhatikan karena terlalu sibuk mencari taksi. Tiba-tiba saja mulutnya dibekap dengan sehelai kain putih yang dilipat.

Amarella [Terbit]Where stories live. Discover now