Part 7

45.4K 1K 124
                                    

Aku berjalan santai berlawanan dengan hatiku yang terbakar amarah dan membutuhkan pelampiasan. Aku bukanlah orang yang mudah hafal jalan, tetapi setidaknya jalan yang kulalui ini hanya lurus sehingga tidak mungkin aku tidak tahu jalan pulang. Mataku menangkap objek yang menarik, sebuah Taman. Dari dulu aku memang menyukai Taman, tempat yang sederhana tetapi memiliki berjuta pesona. Aku mengambil duduk di sebuah kursi panjang setelah membeli minuman dari warung terdekat.

"Ayo, Kak! Dorong lagi!" teriak anak kecil yang sedang berada di ayunan sederhana. Dia berteriak heboh ketika Kakaknya yang ada di belakang berhenti mendorong ayunan.

Aku tersenyum kecil. Dejavu, dulu aku juga sering melakukannya. Hampir setiap sore aku dan Fa bermain ke Taman. Sigh! Kenapa otakku hanya berisi Fa dan Fa? Menyebalkan.

Bosan dengan pemandangan kedua anak kecil itu mataku beralih kepada seorang wanita muda sedang menyuapi anaknya yang masih bayi di kereta dorong. Tidak lama kemudian datang lelaki yang kukira berumur 30an datang menghampiri wanita tadi, setelahnya mereka pergi dengan tangan lelaki itu ada di pinggang si wanita. Tuhan, kapan aku bisa seperti mereka?

Aku membuang muka dari pemandangan itu, terlihat seorang wanita berperut buncit berjalan di samping seorang lelaki. Itu pasti suaminya. Mereka asyik bercengkerama, dan beberapa kali senyum mengembang terlihat pada keduanya. Mungkin mereka adalah pasangan muda yang sedang jalan-jalan sore, karena saat aku melihat jam tangan yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul lima sore. Ternyata aku sudah cukup lama berada di sini.

"Masih seperti dulu, tidak pernah bosan dengan Taman."

Badanku menegang saat mendengar suara yang sangat tidak ingin kudengar. Aku menarik napas panjang mencoba menetralkan hati karena suasana ini.

"Kenapa bisa ke sini?" tanyaku tanpa menoleh sedikit pun.

"Kamu juga kenapa ada di sini?"

"Aku hanya ingin sendiri," jawabku jujur.

"Dan, semua orang sedang sibuk mencarimu. Sepertinya hobi membuat kehebohan tidak pernah hilang."

"Berhenti ngurusin aku, Fa! Aku hanya ingin sendiri, jadi pergilah dan tolong katakan pada mereka aku akan segera kembali."

Kembali kutarik napas panjang, sejujurnya kalimat-kalimat pedas untuk mencaci Fadli dan memintanya berhenti mencampuri urusanku sudah ada di ujung lidah. Namun, faktanya lidahku terasa kelu.

"Aku akan pulang denganmu," jawabnya cuek. Dari dulu dia memang makhluk paling tak peka yang pernah kukenal.

Tidak ada jawaban.

"Pergi, Fa!" usirku dengan gusar.

"Denganmu!"

"Nggak."

Satu sosok yang sengaja kuhindari itu, kini duduk di sampingku. Dari ekor mataku yang kini tengah menunduk terlihat dia sedang memerhatikanku.

"Sejak statusku berubah, kamu jadi berbeda, Bil. Aku minta maaf kalau mungkin keputusanku menikah terlebih dahulu melukai egomu. Namun, setidaknya aku sudah memberitahumu sebelumnya, kan?"

"Aku nggak marah," ketusku masih tetap menunduk.

"Aku sangat mengenalmu. Tidak mungkin kamu tidak marah karena kini kamu terus menghindariku. Kamu selalu menghindar jika sedang tidak enak hati atau marah, bukan?"

Bukan lagi tidak enak hati, tetapi patah hati lebih tepatnya.

"Sekali lagi aku minta maaf. Sama sekali tidak terpikirkan keputusan ini melukaimu. Aku khilaf, tidak ingat kalau egomu terlalu tinggi untuk dikalahkan apalagi dalam hal status," tambahnya lagi.

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang