Mengucapkan selamat tinggal pada hal-hal yang pernah membuat isi kepala menjadi penuh tentangnya memang tidak pernah mudah, terlebih pada hal yang berkaitan dengan hati. Entah itu hal yang membuat bahagia maupun tangis karena luka. Begitu pun untuk perempuan yang sedang duduk dengan gelisah di sudut ruangan. Ia butuh lebih banyak dari tiga ratus enam puluh hari untuk bisa mengucapkan selamat tinggal pada seseorang dan hal-hal yang ditinggalkan. Selamat tinggal yang bukan seperti teriakan frustasinya saat paralayang. Akhirnya ia memilih untuk menyambut seseorang yang baru dalam hidupnya.
Sebenarnya, ia tidak benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada semua hal yang berhubungan dengan laki-laki di masa lalu. Seseorang yang pernah memberitahunya sebuah rencana untuk membuatnya jatuh cinta, pernah mengatakan dalam suatu jumpa bahwa ada beberapa hal yang memang tidak perlu buru-buru untuk dilupakan. Katanya, kenangan-kenangan itu perlu ada untuk memberi pelajaran dan kekuatan. Dan ia menerima saran itu diam-diam.
Perempuan dengan blus polos warna salem dengan aksen pita di bagian pinggang sesekali melongok ke jendela jika ada mendengar suara klakson mobil di dekat rumahnya. Hari Minggu pagi, saat langit masih gelap tadi ia bahkan sudah sibuk di depan meja rias untuk berdandan. Tidak butuh lama untuk mengenakan setelan blus dan rok batik lilit serta berdandan, setelahnya dia hanya meminum susu dan sibuk menunggu di ruang tamu. "Lo ngapain, sih, dari tadi ngeliatin ke jendela melulu? Nggak jadi pergi?" Perempuan lain menanyainya dengan risih.
"Ini lagi nunggu yang katanya mau jemput," jawabnya sebal. Ia sebal karena sudah ditanyai tiga kali tentang jadi pergi atau tidak, dan alasan lain tentu saja pada seseorang yang kemarin mengirimi pesan akan menjemput dirinya.
"Naik taksi aja, sih... atau mau gue anter?"
"Diem, deh... nggak usah bawel dan bikin gue jadi senewen."
Perempuan yang sedari tadi mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang malas dijawab pun mendekat. "Janu yang jemput?" tanya Netha penasaran yang hanya dijawab dengan anggukan singkat.
"Hmm.... Akhirnya ada juga yang berhasil mendobrak benteng takeshi," gumam Netha sambil menahan senyum.
Anesh berjengit mendengarnya. "Kenapa jadi benteng takeshi?!"
"Ngeselin aja," jawab Netha asal.
"Suka-suka lo, deh."
Selain belajar mengucapkan selamat tinggal, Anesh pun belajar untuk memaafkan dan berdamai dengan kakaknya. Semua itu karena laki-laki paling menyebalkan itu, yang sudah membuatnya bangun lebih pagi hari ini. Hidupnya memang benar-benar mengalami banyak perubahan selama beberapa bulan terakhir. Dan ia merasa telah melakukan banyak hal besar dalam hidupnya.
"Anesh," panggil Janu saat mereka sedang menunggu pesanan di Lemongrass. Sore itu mereka setuju untuk bertemu setelah usaha Janu yang tidak menyerah mengiriminya pesan sejak beberapa hari lalu. Perempuan yang duduk di hadapannya hanya menjawab dengan dehaman.
"Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan," ujarnya lagi meski tak ditanggapi. "Percayalah, memaafkan itu akan jauh membuat hidupmu lebih damai. Apalagi kalian adalah keluarga." Tujuan utama Janu mengajak Anesh bertemu sebenarnya bukan untuk membahas hubungan buruk Anesh dan kakaknya, namun ia merasa harus melakukannya setelah tiga kali melihat bagaimana interaksi keduanya sebagai sebuah keluarga. Anesh yang bisa tersenyum di luar rumah, bisa berubah menjadi pendiam dan ketus saat bertemu Netha. Pernah dalam salah satu kunjungannya ke rumah yang sudah dibelinya untuk bertemu Anesh, hanya nada sinis dan sikap acuh yang diberikan perempuan itu pada kakaknya.
"Kamu nggak tau gimana sakit hatinya dijadiin bonus penjualan rumah sendiri." Terdengar jelas sekali di telinga Janu bagaimana Anesh berusaha menahan emosinya. Ia bukan tanpa alasan menyinggung soal maaf-memafkaan kali ini. Menjadi saksi bagaimana sikap Anesh pada kakaknya yang diabaikan meski sudah berusaha melakukan hal baik itu yang menjadi alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buy One Get (Me) One
ChickLitDijual cepat! Beli rumah bonus istri. Info lebih lanjut hubungi: Garnetha (081xxxxxxxxx) ** Anesh dan Netha terpaksa menjual rumah milik keluarga mereka, satu-satunya harta yang mereka miliki. Semuanya untuk membayar utang-utang Netha, yan...