1 - The First Lie

282 4 1
                                    

"Katakan, Ga, kamu nggak akan pernah berbohong padaku, kan?"

Detik saat kau menanyakannya padaku, aku sudah tahu aku pasti akan berbohong padamu.

Aku balas menatap kedua matamu yang berkaca-kaca. Kau terus menatapku dengan begitu intens, seakan dunia bisa kiamat kalau kau tidak melakukannya. Hasratku untuk membuang muka bergejolak, meletup-letup. Menunggu eksekusi perintah otak. Tapi, aku memilih untuk tidak mengalihkan pandanganku.

"Tentu saja nggak," jawabku.

***

Hari saat aku pertama kali bertemu denganmu adalah hari dimana aku pertama kali berbohong padamu. Kau bahkan tidak tahu itu. Mungkin.

Saat itu kita masih sama-sama berusia sembilan tahun, kau dan aku. Kau yang baru saja pindah sekolah diperkenalkan oleh ibu guru di depan kelas.

Rokmu yang berlipit-lipit biru jelas bukan seperti seragam sekolah kami, tapi kau tidak terlihat canggung dengan itu. Kelak kau akan bercerita padaku, ibumu bakal harus menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk menjahitkan rok seragam identitas sekolahku.

"Buang-buang waktu," katamu kelak sambil cengengesan.

Kau nantinya akan bercerita padaku. Betapa ibumu selalu memberimu nasihat, bahwa segala yang penting bukanlah apa yang menempel di tubuhmu. Bajumu, maksudnya.

Kau bercerita padaku, ibumu suka membelai kepalamu yang berambut ikal manis. Beliau lalu akan berkata, "Segala yang penting ada di sini."

Dengan prinsip semantap itu, apalah artinya saltum sedikit, bukan?

Kau memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri, lantas berjalan sepanjang lorong berpagar meja kursi, terus menuju bangku kosong di belakang dengan penuh konsentrasi.

Kau memang selalu begitu; tegas dan penuh presisi. Matamu menatap lurus pada tujuan, tidak tergoyahkan.

Kemudian, tibalah saat itu, ketika kakiku yang tak sengaja terjulur di sisi samping bangku terinjak olehmu. Membuatmu terjungkal jatuh, berdebum di lantai tegel kelabu yang berdebu.

Aku panik, tak sengaja membuatmu tersungkur jatuh di hari pertamamu di sekolah baru.

Seisi kelas berdiri ingin menonton. Beberapa cewek terkikik sementara yang lain cuma melongo atau mendesah iba. Beberapa cowok sepertinya ingin membantu, tapi ragu.

Aku memberanikan diri untuk berdiri dan menghampirimu.

Hampir kuulurkan tanganku saat kau tiba-tiba berbalik lalu mendadak menggenggam tanganku. Wajahmu dihiasi panik luar biasa, mengalahkan level kepanikanku sendiri.

"Kamu nggak apa-apa? Kakimu sakit, ya? Maaf, aku nggak sengaja menginjaknya," cicitmu dengan suara gemetar. Kedua tanganmu yang hangat masih meremas kedua tanganku yang tiba-tiba dijalari kebas. "Aduh, pasti sakit banget. Aku benar-benar minta maaf..."

Matamu yang seperti anak anjing menatapku lekat. Jujur saja, aku nyaris tidak kuat menerimanya.

Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi kau tampak sungguh-sungguh mengharapkanku menjawab sesuatu.

Tak ada yang ingin kulakukan selain memenuhi inginmu.

"Aku nggak apa-apa kok. Kakiku baik-baik saja," ujarku sambil menyunggingkan senyum dengan sukarela, "kamu gimana? Ada yang sakit?"

Kau menggeleng dengan keanggunan bak malaikat. Sesaat aku tidak yakin apakah kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi di wajahmu hanya ada ketulusan; sama sekali tak terlihat ada bercak tipu muslihat di sana. Kemudian kau mendesah lega saat mendengarkan jawabanku yang kucoba suarakan senormal mungkin.

Keributan kecil itu usai dan kau kembali pada bangku yang kau tuju, duduk dengan rapi dan tenang, seakan tidak ada insiden apa pun yang terjadi.

Berada dua bangku di depanmu, aku meringis. Telapak kakiku terasa sakit bukan main. Aku membatin, sepatu macam apa yang kau pakai hingga bisa terasa sepedih ini untuk menginjak kaki orang. Sensasinya seperti diinjak getta Jepang yang terbuat dari kayu padat.

Bondan duduk di sampingku hari ini. Ia cuma bisa menggeleng-geleng, tidak mengerti kenapa aku berkata bahwa kakiku baik-baik saja sementara kenyataannya justru sebaliknya.

Aku menoleh sekilas, mengerling wajahmu dari ekor mata. Itu adalah wajah paling indah yang pernah aku tatap di dunia ini; kedua, setelah wajah ibuku.

Kurasa, itu alasanku berbohong padamu.

Wajahmu terlalu sempurna untuk bersedih, apalagi karena aku. Apa jadinya kalau aku mengatakan yang sejujurnya padamu, bahwa injakanmu seperti maut dan membuat telapak kakiku sampai terasa mau lepas dari sendinya? Akankah kau bisa duduk tenang di bangkumu sekarang, lengkap dengan senyum seindah fajar pagi yang semerah mawar mekar?

Lagipula, apa lagi arti nyeri sekarang ini? Kau jadi bisa mengingat wajahku lebih jelas daripada yang lain. Kau bahkan menggenggam tanganku lebih dulu daripada yang lain. Kalau untuk itu aku bisa ngobrol santai denganmu setiap hari, aku siap diinjak oleh sepatu superkerasmu itu sampai kau bosan.

Dan hari itu, aku berbohong padamu untuk pertama kalinya.

***

Song inspiration: 

Wilderness by John Bryant

Unspeakable ThingOnde histórias criam vida. Descubra agora