AGEUSIA

761 51 46
                                    

PART 1

_Minah Hartika_

Cerita baru saja dimulai..

Tentang mereka semua. Hidup mereka yang berliku. Entah apa yang menjadi permasalahan. Egokah?

[CHAPTER 1]

.

Di awal tahun baru tepatnya, menjelang 1 januari sebelum tahun 2000 bahkan.

Hari yang dinantikan banyak orang dengan segala kemeriahan yang ada. Disambut oleh beribu tawa di antara pesta, pesta kembang api? Pesta minuman? Ada berbagai banyak hal yang dapat dilakukan di hari itu. Termasuk, sebuah pesta pernikahan yang berlangsung di malam menjelang tahun baru tersebut. Di malam hari, sebuah pesta pernikahan yang mewah berlangsung di sebuah hotel mewah di Seoul.

Ada banyak pasang mata yang menyaksikan, bagaimana saat kedua mempelai itu nampak serasi, lantas menebar cinta mereka. Dari tiap tatapan mata yang begitu penuh cinta, juga dari sebuah ciuman singkat di bibir, yang mengundang ada begitu banyak riuh tepuk tangan. Namun tak disangka, bahwa ada yang tak bahagia dengan itu. Ada yang menyambut bingung kebahagiaan tersebut. Mengapa demikian?

Tepatnya seorang bocah yang mengenakan pakaian resminya. Layaknya yang lain, iapun hadir dan menyaksikan. Namun tak ada raut bahagia di wajahnya. Tak ada tepukan tangan darinya. Ia, terlalu sibuk dengan bisikan-bisikan yang menerpa ingatannya.

"Donghae akan tinggal denganku!"

"Tidak! Dia akan tinggal denganku, titik!"

"Hmh, baiklah! Kita atur jadwal yang adil bagi kita untuk bersama dengan Donghae. Atau, bagaimana jika liburan sekolah dia bersamaku? Kurasa ini cukup menguntungkan untukmu!"

Jemari-jemari mungil itu mengepal erat, dengan mata yang begitu sendu. Perlahan kepalanya bergerak, membawa serta wajahnya agar menunduk dalam. Suara ribut itu tak ia hiraukan, karena suara dalam batinnya sendiri begitu mengganggu dirinya.

"Besok, Donghae harus menghadiri pernikahanku. Ia harus menemui ibu barunya."

"KAU SUDAH GILA?!"

Akhirnya, sepasang mata miliknya terkatup rapat, menahan buliran air yang menyeruak, seolah memaksanya untuk menumpahkan mereka. Namun ia bertahan semampunya. Ia tarik nafasnya dalam, lantas tanpa sepengetahuan siapapun, kakinya mulai beranjak meninggalkan keramaian. Sebenarnya ia tak begitu faham pada perasaannya saat ini.

...

Sunyi. Mungkin ini yang diinginkan olehnya. Setelah sebelumnya ia menaiki sebuah taksi sedang sang supir menatap bingung ke arahnya. Wajar mengingat, "mengapa kau keluyuran sendirian anak manis?" begitulah tanya sang supir padanya.

Ia memang sendirian, mengundang rasa heran bagi siapapun orang dewasa yang melihatnya. Melihat seorang bocah yang pergi sendirian di malam hari tanpa siapapun di sampingnya. Namun dengan tegas ia berkata, "antar aku ke rumah ibu! Jangan heran paman, aku punya uang meski usiaku masih delapan tahun," dan berakhir dengan sang supir yang mengangguk mengerti.

Kini, tinggalah ia sendiri. Terduduk di lantai yang dingin dan berdebu di malam itu. Menekuk lututnya lantas menyandarkan tubuhnya pada sebuah pintu yang tertutup. Pintu di sebuah kediaman yang bahkan, tak bercahaya. Terlihat tak berpenghuni.

Dia diam, tak menangis dan meraung layaknya anak kecil yang takut akan malam, gelap dan juga sunyi. Ataukah ia terlalu tidak kuat merasakan itu semua? Hingga ia kesulitan untuk menangis. Namun, ia tetap dapat berbicara. Mungkin pada angin malam yang tengah menggoyangkan helaian rambutnya, dan juga dedaunan milik pohon di pekarangan rumah tersebut. Entahlah..

AGEUSIAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin