Memercayaimu

5K 173 5
                                    

Hai, apa kabar? Maaf jika aku menuliskannya terlalu lama. Sebab ada banyak hal tentang Saka yang ingin aku kisahkan kembali, tapi rasanya terlalu penuh hingga aku tak tahu ingin memulainya dari mana. 

Lagipula, kudengar Saka lagi-lagi sudah mulai membagikan hal-hal remeh temeh tentang kami kepada kalian ya? Jika aku boleh tahu, sampai mana dia bercerita? Apakah aku masih ada sebagai salah satu pemeran utamanya? Atau jangan-jangan... oh maafkan, hampir saja aku berbicara tentang sesuatu pada Amor Fati. 

Tak baik rasanya jika aku sudah membicarakannya di sini, sebab pada tulisan ini seharusnya aku mengisahkan seluruh awal mula kami menjadi lebih dari sekadar dekat. Bukan begitu? 

Sudah berapa banyak kesempatan dan pertemuan yang kuulang pada kalian? Nampaknya sudah lumayan banyak ya, jangan protes berkata bahwa itu sedikit, karena pada sebuah KALA semuanya sudah begitu banyak kuceritakan. Aku tak mau saja kalian sampai bosan. 

Baiklah, karena tak punya banyak waktu untuk diam menuliskan segalanya, mari aku beritahu saja tentang sesuatu yang pernah aku dan Saka lalui namun belum kusampaikan pada KALA.

***

[Jakarta. Pekan pertama]

"So, will I see you again, Lara?"

"You have my number, don't you?"

Percakapan itu kembali menggema di kepalaku. Pada kesempatan bertemu di Bandung sehari sebelum kepulanganku ke Jakarta. Saka sempat mempertanyakan kemungkinan pertemuan kami kembali. Diam-diam dari pertanyaan itu ada harap yang menyeruak di hatiku.

Kukira dengan pertanyaannya itu akan hadir kabar atau percakapan yang kembali berlanjut meski hanya melalui pesan singkat. Namun sayangnya aku salah, sudah genap sepekan aku kembali pada rutinitasku di Ibukota. Dan kabar darinya masih saja nihil.

"Mungkin aku memang tak semenarik itu untuk tetap kamu cari, Saka." Ucapku dalam hati sambil memandangi foto profil Saka pada salah satu aplikasi pesan singkat.

Aku kembali membalikkan gawaiku untuk kemudian fokus bekerja, namun tiba-tiba sebuah notifikasi pesan mampir dan membuatku berdebar-debar tak karuan. Begini, aku ingat betul bahwa semesta akan berkonspirasi untuk membantu memenuhi harap kita.

Itu sebabnya aku seringkali berhati-hati dengan harapan yang kumiliki. Karena secara tidak langsung energi dari harapan itu akan menjelma dan saling bahu-membahu untuk mewujudkan harapan itu.

Kukira Saka, namun sayangnya aku salah. Hanya sebuah pesan ajakan untuk menjadi pembicara di Bandung saja rupanya. Sebentar, Bandung? Semesta senang sekali bercanda nampaknya, apa kubilang, baru saja aku berharap tentang salah satu penghuni kota tersebut. Sebuah ajakan mampir untuk aku kembali bertandang ke sana.

Aku masih meragu hingga kemudian...

Saka: I guess this table is missing the conversation that happened two weeks ago.

Aku hampir saja tak pernah menyangka akan sebuah pesan yang membuat detak jantungku nyaris berhenti saking terkejutnya. Aku kembali memastikan semuanya hingga berulang-ulang mengecek nama pengirimnya.

Lara: What takes you so long, Saka?

Saka: Jadi kamu teh nungguin aku ngechat kamu nih?

Aku yang sedang meneguk segelas air putih kemudian tersedak membacanya. Nampaknya aku terjebak pada pertanyaanku sendiri. Aku yang semula hendak menyindirnya, justru malah berbalik membuat dirinya mengetahui selama ini aku sudah menantikan pesan darinya. 

Lara: Yee, enggak gitu maksudnya, Saka. Tapi...udahlah skip aja. Anw, jam segini kamu lagi di coffee shop? Enak banget! Aku mah masih sibuk nih di kantor.

Saka: Makanya aku gasuka kerja kantoran, terlalu mengikat, jadi enggak punya kebebasan untuk menikmati waktu~

Lara: Enggak semua yang mengikat bikin kita enggak punya kebebasan tau! Kadang, ketika kita terikat justru membuat kita semakin bebas untuk bergerak hingga bisa lebih leluasa menikmati waktu.

Saka: Masa? Coba kasih aku contoh hal mengikat apa yang masih ngasih kita kebebasan?

Aku kemudian dibuatnya berpikir. Rasa-rasanya aku juga sangsi dengan hal yang mengikat namun masih bisa memberi kebebasan. Ingin rasanya mengatakan bahwa sebuah hubungan yang mengikat, terkadang justru membuat kita bisa lebih bebas. Karena, secara tidak langsung ada yang setujuan. Karena, kita tahu, di saat terjatuh nanti akan ada seseorang yang menguatkan. Karena kita mengerti bahwa kita tak lagi sendiri.

Seharusnya, ketika berada dalam sebuah hubungan yang katakanlah mengikat. Bukankah sepantasnya kita kemudian menjadi lebih bebas? Aku tertawa sendiri memikirkan hal itu. Teringat beberapa hubunganku yang sudah-sudah ternyata justru mengekangku, bahkan untuk sekadar melangkah saja rasanya tak kuasa.

Lara: Sebelum aku jawab, aku mau nanya dulu sama kamu. Menurut kamu kebebasan itu apa?

Saka: Kebebasan itu saat aku merasa punya kuasa atas diriku sendiri dan aku bisa...tenang? Enggak dijajah ketakutan, enggak dicekik kecemasan, enggak dibombardir sama isi kepala.

Lara: Jadi, selama ini kamu  ngerasa gitu? Masih belum ngerasa punya kuasa atas dirimu sendiri?

Saka: Again Lara?

Lara: What? Apanya yang lagi?

Saka: Ya itu, mancing aku curhat secara enggak langsung. Hmmm

Lara: Hahahaha :))) Aku enggak maksud gitu, kamunya aja yang kepancing buat cerita sendiri

Ingin rasanya aku menambahkan chat itu dengan sebuah pertanyaan, sudah sepercaya itu untuk akhirnya terbuka? Namun kemudian buru-buru aku hapus dan kubiarkan berakhir di kepala saja. Membiarkannya untuk terlupakan sendiri. Atau mungkin menjadikannya draft-draft pikiran serta perasaan yang di suatu hari nanti akan bertumbuh menjadi sebuah pemahaman yang jauh lebih baik.

Aku kemudian tertawa sendiri menatap isi chatku dengan Saka. Lagi-lagi, dia memberikanku kesempatan untuk mengetahui tentang dirinya dengan lebih banyak. Sedang aku, sepertinya mulai tergoda untuk memercayakan ceritaku padanya. Namun, haruskah aku kemudian bercerita seluruhnya? Atau biar saja kusimpan rapat sendirian? Karena seperti yang sudah-sudah, begitu aku membiarkan diriku terbuka, justru aku kembali harus merasa ditinggalkan.

Lara: Anyway Saka, minggu depan aku mau ke Bandung. Ngisi acara seminar gitu, abis acara mungkin kita bisa ketemuan?

Saka: Serius? Gasabar!

Aku tersenyum membacanya, sebuah perasaan kemudian memenuhi rongga dadaku yang beberapa waktu lalu sempat kehilangan dan menyisakan sebuah ruang yang begitu besar. Aku bukan tidak tahu rasa apa ini, namun yang pasti aku mengerti, aku mulai percaya padanya.

***

Jadi bagaimana? Sudahkah kalian mengerti mengapa pada akhirnya aku menaruh percaya pada seorang Saka? Menurut kalian apakah pilihanku untuk percaya padanya adalah sebuah hal yang benar? 

Ah ya sampaikan salamku pada Saka, katakan padanya, jangan lagi mengecewakan harapan dan kepercayaan orang lain! 

KALA (extended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang