Dua

1.6K 13 0
                                    

"Kenapa, Mas? Kok kelihatan lesu begitu." Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku menggeleng pelan seraya menerima kopi yang tadi kupesan.

"Nggak papa kok, Pak. Makasih kopinya."

"Kalau nggak kuat cerita aja, Mas. Daripada nanti bunuh diri." Aku cukup terkejut dengan responnya. Bagaimana ia dengan semudah itu menyimpulkan aku akan berakhir dengan bunuh diri?. Aku terkekeh pelan sebelum membalasnya.

"Ngapain bunuh diri, Pak."

"Lha itu mukanya sudah tak ada gairah hidup."

"Ah, begitu ya. Nggak kok cuma masalah..."

"Disuruh nikah, Mas?" wait? Kok tebakannya bener Pak Mahmud ini.

"Heh?" kini aku benar-benar terkejut. Tebakannya itu lho, nyaris benar. Kulihat Pak Mahmud kembali tersenyum, sepertinya puas akan tebakannya kali ini.

"Lha, orang kayak panjenengan itu memang apa lagi masalahnya?" Pak Mahmud duduk di kursi yang tak jauh dariku setelah mendapat izin aku tidak keberatan dengan tebakannya. "Kalau mau masalah kerjaan, ah ndak mungkin. Lha panjenengan selalu dipuji bos, masalah duit, kalau itu malah masalah saya kayaknya. Panjenengan bukan pencari masalah, masih lajang, sudah mapan, bolak-balik dapat telepon keluarga. Ya apalagi kalau bukan masalah nikah?"

"Bapak bisa aja." Aku kurang nyaman jika harus berbagi masalah pribadi diluar lingkungan keluarga. Aku percaya Pak Mahmud baik, bisa dipercaya dan sepertinya tidak punya niat jahat. Bukan itu masalahnya, aku hanya takut kagum, takut ketergantungan, takut ada kebutuhan mengingat masa laluku. Cukup papa laki-laki yang aku jadikan sebagai orang dekat, jangan laki-laki lain. Aku tidak yakin jika aku kuat untuk tidak jatuh cinta dan berujung menjadi pelakor, jangan sampai.

Lebay?

Biarlah orang menilai apa, tapi aku benar-benar takut. Bukan berarti aku tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tapi percayalah, orang sepertiku lebih mudah jatuh cinta ke sesama jenis dibanding lawan jenis. Agama adalah bentengku saat ini, membuatku bertahan hari demi hari dari siksaan batin.

"Memang Mas, menikah itu ibadah terlama jadi pastikan kita menikah juga karena Allah. Tidak perlu dipaksa apalagi terburu-buru tapi jangan juga disengajakan tidak mau menikah."

"Ya, pak."

"Yo wes, Mas. Saya ndak maksa cerita. Panjenengan teruskan saja kerjanya, lesunya disudahi dulu. Monggo."

Aku hanya menganggukkan tanda mengiyakan sekalian aku juga tidak tahu apa balasan yang pantas dalam bahasa jawa. Meski tahu artinya saat mendengarkan aku sama sekali tidak bisa berbicara dalam bahasa jawa.

Sepulang dari rumah kemarin aku kehilangan konsentrasi bekerja hari ini, padahal dua jam lagi aku harus meninjau lapangan. Pembangunan waduk ditargetkan selesai dua bulan lagi. Aku harus segera inspeksi apa yang menyebabkan kemarin mandor minta tanggal penyelesaian diundur dua minggu.

Inilah diriku kini, melanglang buana mencari kesibukan. Aku sengaja mencari pekerjaan yang memberi kesempatan selalu berganti orang baru dalam hitungan bulan, sehingga menihilkan diriku mengenal seseorang secara mendalam. Aku sudah bosan dan kenyang dikatakan lebay, munafik, sok alim dan sebagainya. Kebanyakan yang menuduhku begitu adalah para gay juga. Bagaimanapun aku tidak bisa mundur, mind over matter. Aku harus terus berjuang untuk menggenapi kodratku sebagai laki-laki.

"Pak Wahyu, bisa dijelaskan lagi kenapa harus molor?" Aku mendengus menghadapi mandor satu ini. Ini sudah kesekian kali.

"Begini, pak.. anu.. dinding waduk yang utara tiba-tiba jebol."

Ayah, Kakakku Sempurna (2) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang