Dahulu, akulah yang paling paham atas dirimu.
Yang bertahan mendengarkan ocehan kecewamu sepanjang malam, yang rela memelukmu erat meski hatiku juga sedang terluka, yang tahu saat kamu berada di titik terendahmu atau saat kau hilang arah. Akulah yang mendekapmu, menggengam erat telapak tanganmu yang berkeringat dan meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja, dunia akan baik-baik saja.
Dahulu, akulah laksana magnet bagimu.
Yang menjelma bagai bayanganmu, mengikuti dan menghampirimu dimanapun kamu. Yang berlari-lari kecil saat tahu telah tertinggal punggung tegapmu. Aku terikat denganmu, ada ikatan tak kasat mata yang berhasil membuat aku pasrah dihadapanmu, laksana daun yang jatuh tertiup angin sore hari.
Namun, semua itu adalah masa lalu.
Aku, yang pernah paling paham atas dirimu dan selalu menjadi bayanganmu yang paling setia, kini menjadi yang terjauh darimu, menjadi yang tak akan terengkuh lagi. Karena sejatinya, aku bukanlah manusia bodoh yang ingin terperosok ke dalam lubang yang sama.
Aku telah menjadi penopangmu, namun kau tertawa bersama wanita lain. Aku setia merengkuhmu di saat waktu-waktu buruk. Namun, nyatanya kamu sekadar membutuhkan perhatian dariku, kamu tidak memberiku hatimu.
Ini menyakitkan. Aku telah memberimu segalanya, dan kau justru hanya memberiku segelintir dari rasa kasihanmu saja.
Maka dari itu, mulai malam ini. Tak ada lagi pelukan hangatku untuk menenangkanmu, tak ada lagi bahuku yang menjadi penopang dari semua luruhan air matamu, tidak akan ada lagi suara langkah kaki cepat dibalik punggung tegapmu.
Aku telah mencintaimu.
Tapi tidak dengan kamu.
7-11-2017

YOU ARE READING
Kulminasi Rasa
Poetry(Complete) Dan pada kesempatan sisa-sisa hujan terakhir di bulan September aku meminta, berdoa, sekiranya mampukah semesta barangkali sekali saja mendengar laungan doa-doa panjangku. Yang berisi tentang kamu, rangkaian doa yang masih memintamu untuk...