#4

1.4K 168 4
                                    

"Em? Kau tak apa? Apa kau sakit?"

William yang tengah duduk di depan Emma sangat mengkhawatirkannya. Bagaimana tidak. Selama mereka sedang makan malam, Emma tak mengeluarkan sepatah katapun kecuali bila lelaki itu bertanya, wajah Emma juga terlihat pucat sejak William menjemputnya.

Emma hanya memaksakan senyumnya sambil sesekali terdengar kekehan dari mulutnya. Tingkahnya sungguh membuat William kebingungan. Di lain sisi ia mengkhawatirkan Emma, tapi di sisi lain, rasa khawatirnya hilang ketika mendengar kekehan Emma.

Kekehan yang ia rindukan dari sosok Emma. Maklum, selama beberapa hari ini baik William maupun Emma bergelut di dalam kesibukan masing-masing sehingga sulit menemukan waktu yang pas untuk berdua. Dan kali ini William ingin memberikan sebuah surprise untuk Emma.

Dulu, Emma selalu semangat bila membahas tentang masa depan.

"Em?"

"Ya?"

"Apakah kau ingat janjiku dulu?"

"Kau membuat banyak janji, Will. Yang mana yang kau maksud?"

William tersenyum. Begitu juga dengan Emma. Namun tiba-tiba saja senyum Emma lenyap, digantikan dengan degupan kencang dari jantungnya. Ia ketakutan. Bagaimana bila apa yang ia pikirkan sekarang sungguh terjadi? Ia belum siap untuk itu.

"Tentang masa depan kita. Tentang anak-anak."

Emma tercekat hingga membuatnya lupa bagaimana cara menelan ludah.

"Maukah kau menikah denganku?"

Willliam mengeluarkan sebuah kotak dan membukanya. Lalu, terpampang sebuah cincin yang indah bertaburkan berlian. Indah memang. Sayangnya, Emma tak tertarik. Ia ingin menolak, tapi tidak bisa. Ia tak ingin menyakiti perasaan William. Emma akui, bila memang dulu ia sangat bersemangat ketika Willliam membahas tentang masa depan, bahkan Emma selalu memberikan sinyal kepada William untuk segera menikahinya. Kali ini tidak. Ia bertemu dengan Tom. Hal itu yang membuatnya ragu.

Apakah ia harus menunggu Tom sekali lagi atau ia harus menerima pernyataan William?

Keringat dingin menjalar di tubuhnya. Kedua tangannya mengganggam dress putihnya dengan erat. Emma sungguh tak tahu apa yang harus ia katakan pada Willliam.

"Will, terima kasih untuk ini semua. Makan malam yang romantis dan juga cincin yang indah yang mungkin akan cocok dipakai olehku. Tapi aku masih membutuhkan waktu."

"Apa maksudmu Em? Kau yang selalu menantikan ini kan? Maka aku wujudkan sekarang,"

Nada bicara William mulai meninggi, membuat Emma bergidik ketakutan.

"Oh, apa ini karena lelaki itu? Aku dengar kau bertemu dengannya lagi kan?"

"Siapa? Apa maksudmu?"

"Kau bertemu dengan Felton kan? Thomas Andrew Felton. Apa aku salah?"

Raut wajah William berubah dingin, kerutannya menegas. Gigi nya pun merapat, seolah-olah hendak menerkam Tom kapan saja.

Dengan penuh kekecewaan, William menutup kotak itu dan berusaha bangkit dari kursi. Ia menginginkan waktu untuk sendiri sekarang. Namun saat ia hendak beranjak, tangan Emma menarik pergelangan tangannya pelan, membuat William kembali menatap Emma heran.

"Aku bisa jelaskan ini. Ya, aku bertemu Tom. Tapi aku masih ingin berada di sisimu. Percayalah."

"Sorry Em, tapi sorot matamu berbeda dari apa yang kau ucapkan. Kau masih mencintainya kan? Tak usah repot-repot menyembunyikannya."

Genggaman tangan Emma pada pergelangan tangan William mulai merenggang. Emma merasakan tangannya melemas, membuat William lebih mudah pergi darinya.

"Jangan cari aku bila hatimu masih ada padanya."

[.]

"Jadi kau akan diam terus seperti itu? Ayolah, kita sudah tak bertemu lama sekali. Kau di NYC dan aku di London, tapi kau tak merindukanku?"

Ucap Daniel Radcliffe ketika melihat Emma murung sedari tadi.

Jujur, Emma bahagia bisa bertemu Daniel setelah sekian lama terpisah. Namun entah mengapa otaknya tak bisa fokus kepada Daniel.

"Well, Dan, aku sangat merindukanmu, kau tahu itu. Tapi kali ini aku masih memikirkan William."

"Apa yang terjadi?"

"Aku kira hubungan kita sudah berakhir."

Daniel yang semula memakan sebungkus keripik kentang langsung tersedak begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu.

Daniel cukup mengenal William. Ia tipe lelaki yang tak mudah intuk memutuskan sebuah hubungan, tapi setelah melihat ekspresi wajah Emma maka ia dapat menyimpulkan bahwa William lah yang mengakhirinya terlebih dahulu.

"Lelaki sialan."

Saat Daniel hendak mengambil ponselnya, tangan Emma langsung menahannya.

"Bukan. Aku. Aku yang salah."

"Apa?"

"Aku,"

"Katakan Em. Ceritakan semuanya."

"Kemarin ia melamarku dan aku menolaknya."

"Tunggu! Bukankah kau yang sebenarnya menantikan momen ini? Lalu kenapa kau menolaknya?"

"Aku tersadar akan satu hal,"

Ucapan Emma semakin membuat Daniel penasaran bukan main.

"Bukan ia yang kuinginkan. Aku menginginkan orang lain. Yang mungkin tak mengharapkanku."

"Jangan bilang–"

"Ya. Aku masih mencintainya."

"Lalu kenapa kau selalu menggebu-nggebu tentang pernikahan padanya? Jujur, untuk kali ini aku tak bisa membelamu."

Nada kekecewaan keluar dari mulut Daniel, membuat Emma melemas.

"Hanya ada 1 alasan. Aku ingin segera melupakannya. Tapi aku sadar bahwa aku tak mampu. Aku masih mencintainya. Sangat mencintainya."

Again  [ FeltSon ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang