The Clock and The Watch

23 0 18
                                    

***

Sampai di rumah, Rei mengambil kunci rumah dari dalam saku ranselnya. Ia hendak membuka pintu depan, namun sebelum Rei memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, ia mendengar seseorang bergumam dari halaman samping rumahnya. Rei menyimpan kembali kunci pintu depan ke dalam saku ransel. Alih-alih melanjutkan niat masuk rumah, Rei justru bergegas menuju sisi barat rumah seluas 64 meter persegi yang menghadap ke utara itu.

Semula Rei berjalan biasa, namun suara yang terdengar asing itu membuat Rei tersadar. Suara itu bukan suara ayah apalagi ibu Rei. Suara orang asing itu terdengar seperti seseorang yang lebih muda. Apakah itu Roy?

Rei mulai berjingkat; ia berjalan mengendap-endap sembari menajamkan kedua telinga. Rei berhenti tepat di sudut luar rumah. Disandarkan punggungnya ke tembok rumah bercat putih tulang itu. Sesekali, Rei mencuri pandang ke arah suara asing itu. Dua kali lirikan, Rei terkejut; matanya membulat, menyadari hal yang terjadi di depan matanya.

Beberapa meter dari tempat Rei berdiri, tampak seseorang berkostum aneh berdiri tepat di bawah kamar Rei. Orang yang tinggi badannya hampir dua meter itu tampak gesit, memantulkan dirinya ke tanah, lalu melompat menuju balkon kamar Rei. Rei nyaris memekik saat melihatnya, namun ia buru-buru menutup mulut dengan kedua tangannya.

Rei memutar tubuh, lalu bergegas berlari menjauh dari rumah itu, nyaris tanpa suara.

Tepat sepuluh meter di depan rumahnya, Rei berhenti. Ia berbalik. Rei bimbang, tak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Rei bisa saja meminta bantuan tetangga, tapi bagaimana jika sosok misterius itu sudah pergi saat para tetangga datang? Siapa yang akan percaya pada ucapan Rei? Rei bisa juga menghubungi ibu atau ayahnya, tapi sore hari begitu biasanya ibu sudah ada di rumah.

'Kalau ibu di dalam rumah, lalu sosok misterius itu juga di sana, apa yang akan terjadi pada ibu?' Rei berpikir keras.

Rei kebingungan. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah tak jauh dari rumah dua lantai itu.

Di tengah kecemasan, Rei mendapati sosok misterius itu keluar dari jendela kamar Rei, lalu melesat ke udara seolah terbang, dan sekejap mata menghilang begitu saja. Rei terkesiap, kedua matanya membulat. Ia sama sekali tak berkedip saat itu, tapi ke mana orang itu pergi? Rei bahkan tak melihat ada pohon besar di sekitar rumah yang bisa digunakan untuk bersembunyi.

Rei segera teringat ibunya. Bergegas, Rei berlari menuju kediaman orangtuanya, lalu mengetuk pintu dengan tak sabar sembari memanggil-manggil ibunya. Saat akhirnya Hilda membukakan pintu, secepat kilat Rei menghambur ke dalam pelukan wanita yang usianya hampir setengah abad itu.

"Rei?" Sang ibu terkejut, mendapati putri semata wayangnya melakukan hal yang tak biasa dilakukan saat pulang sekolah.

"Rei, ada apa?" Ibu terlihat cemas, sembari mengusap kepala Rei.

Rei mendongakkan kepala. Dengan sedikit terisak, Rei menggeleng perlahan sembari tersenyum tipis,"Tidak. Tidak ada apa-apa, Bu. Rei cuma... kangen."

"Rei, kita hanya tidak bertemu selama beberapa jam. Seperti biasa..." Hilda tersenyum melihat tingkah Rei, namun jauh di lubuk hati, Hilda sangat khawatir pada putri tunggalnya itu.

"Rei lapar, Bu. Ibu masak apa untuk makan malam?" Rei memutar tubuh Hilda, lalu mendorongnya masuk ke rumah dengan lembut, kemudian bergegas berbalik dan menutup pintu serta mengunci pintu itu dengan baik. Rei menyandarkan punggung ke pintu. Dibiarkannya ransel kesayangan itu terhimpit punggung Rei dan badan pintu itu. Napas lega jelas terhembus dari mulutnya.

"Kamu mau makan apa malam ini? Ibu tadi belanja ayam, ikan, kacang-kacangan, dan masih banyak lagi." Ibu berbalik, memandang Rei lekat-lekat. Kecemasan jelas nampak di matanya, namun senyum khas seorang ibu masih menghiasi wajahnya.

Rei bangkit; berjalan cepat ke arah ibunya.

"Rei mau makan apa saja, selama itu buatan Ibu. Dan hari ini, Rei ingin masak bareng Ibu."

"Oya? Tidak biasanya kamu mau masak?"

"Rei ingin belajar memasak. Tunggu, Rei akan meletakkan tas ini dulu, lalu mengganti pakaian, dan--"

"Sudah, tidak usah. Kamu pasti lelah. Biar ibu yang memasak. Kurang dari satu jam juga makanan sudah siap."

"Tapi, Bu--"

"Oya, bukannya tadi pagi kamu mencari jam koleksimu? Apa sudah ketemu?"

"Belum, Bu. Rei bisa mencarinya nanti setelah makan malam. Rei mau masak dulu bersama Ibu."

"Rei, lakukan dulu hal yang harus kamu lakukan. Sering menunda-nunda itu tidak baik."

"Tapi kapan lagi Rei bisa memasak dengan Ibu?"

"Kau bisa melakukannya setelah pekerjaanmu selesai. Lebih cepat dimulai, lebih cepat selesai. Sudah sana, lekas mandi, dan cari barangmu. Kalau ada tugas sekolah, kerjakan sekalian."

"Tapi, Bu--"

"Sudah. Tidak ada alasan lagi. Nanti Ibu panggil kalau makan malam sudah siap. Oke?"

Ibu tersenyum, kedua telapak tangannya melingkupi kedua pipi Rei yang halus dan lembut bak pantat bayi.

"Baiklah." Meski tampak enggan, Rei berusaha untuk tersenyum di depan ibunya, lalu bergegas melesat naik ke lantai atas, menuju kamarnya.

***

Sampai di kamar, Rei segera meletakkan ranselnya di atas meja, lalu mulai menempel catatan tugasnya untuk hari itu di papan kaca di sebelah meja belajarnya.

Rei tertegun sejenak, menatap catatan pada kertas tempel warna-warni itu. Ia semestinya segera mengerjakan tugasnya, namun Rei justru teringat kembali akan jamnya yang belum ketemu. Rei mulai kembali mencari jamnya sesaat setelah mengganti pakaiannya.

Koleksi benda penunjuk waktu milik Rei cukup banyak; ada sembilan arloji, tujuh jam weker, lima jam dinding, tiga jam tangan ponsel, dan satu jam bandul bertali rantai yang dibelit pita emas. Rei memeriksanya satu persatu; arloji, jam weker, dan jam tangan ponsel, semuanya ada di dalam kotak penyimpanan. Jam dinding, masing-masing ada di tempatnya; satu di atas tempat tidur, satu di depan meja belajar, satu tergantung di dalam pintu lemari Rei, satu lagi di dalam kamar mandi di dalam kamarnya. Semuanya lengkap, namun Rei tak melihat jam bandul emas miliknya. Itu dia! Jam bersejarah itu tidak ada di tempatnya.

Rei teringat sosok misterius yang dilihatnya sepulang dari kampus tadi. Mungkin saja orang itu yang mengambilnya, tapi mustahil. Jam itu sudah menghilang sejak Rei bangun dari tidurnya tadi pagi.

Rei mencoba mencari jam itu di semua tempat, namun ia tidak dapat menemukan jam bandul yang lebih mirip kalung itu. Rei telah mencarinya di dalam kotak penyimpanan, di dalam semua laci meja, di dalam kemari, di meja baca yang terletak di sisi tempat tidurnya, di balik selimut dan sprei, bahkan di kolong tempat tidur, namun ia tak bisa menemukannya.

Rei memasukkan kembali semua koleksi jamnya ke dalam kotak penyimpanan yang terbuat dari karton bersampul kertas kado bernuansa emas dan perak, lalu menutupnya rapat dan memasukkannya ke dalam laci meja belajarnya. Rei terduduk di kursi belajarnya, memandang jauh ke luar jendela kamarnya. Tatapan kosong Rei seolah melintasi langit tempat sosok misterius tadi lenyap begitu saja.

Rei terdiam dengan tatapan kosong di depan meja belajarnya.Pikiran Rei perlahan melayang ke saat-saat paling tak masuk akal yang pernah Rei alami beberapa bulan silam. Ia tak lagi ingat akan tugas yang harus diselesaikan malam itu juga. Rei mulai sibuk dengan memorinya.

***

Rei, The Time PlayerWhere stories live. Discover now