Chapter 1

275K 9.2K 427
                                    

Note: Cerita ini akan aku revisi ya penggunaan katanya mulai hari ini. Biar lebih nyaman lagi aja dibacanya yakss 😃 Kalau merasa terganggu dgn notifnya, boleh dihapus dulu aja.

~Happy Reading~


"Lena..."  suara seorang wanita 40an tahun menggelegar nyaring. Langkahnya dientakkan dengan kesal, memasuki rumah minimalis berlantai dua itu sambil agak sedikit membanting barang belanjaannya ke lantai—jengkel— ketika tak sedikit pun mendapatkan sahutan dari gadis bodoh yang sedari tadi ia panggil. "Ini anak kebiasan. Tuli apa dia!" gerutunya.

Saat langkahnya kembali dihela, naasnya tubuhnya malah tergelicir ke belakang membentur lantai cukup kencang.

"ALENAA...!"

Jeritan kalap itu akhirnya sampai pada indra pendengaran gadis muda yang sekarang tengah terbirit menghampiri sumber suara. Alena. Perempuan 20 tahun itu membulatkan mata melihat tantenya terlentang di lantai yang baru saja dipelnya dalam keadaan yang cukup memprihatinkan.

"Tante lagi ngapain selonjoran di lantai gitu? Itu masih basah!" pekik gadis itu seolah keadaan lantai lebih mengkhawatirkan di matanya saat ini.

Megie melotot tajam pada Alena. "Selonjoran?!" Jeritnya tertahan. "Dasar bodoh! Tante jatuh gara-gara kecerobohan sialan kamu! Berapa kali sih, tante bilang, kalau udah selesai ngepel, langsung dikeringin pake kain kering. Ini udah kesekian kalinya, Alena! Bukan sekali-dua kali."

Karma keles. Pagi-pagi udah jerit-jerit macam singa kelaparan. Udah tahu lantai basah, malah diinjek. Ngaduprak, nyalahkeun aing! Gerutunya dalam hati.

"Iye, maaf, tadi kebelet. Udah tahu lantai basah, malah lomba lari." Decak Alena pelan. "Lagian juga ya, Tan, kata Nenek, kita harus menyelesaikan apa yang udah kita mulai dengan ba,—"

"Diem! Nggak usah ngoceh. Jika memang kamu diajarkan dengan baik tata cara menyelesaikan segala sesuatu sampai tuntas, ngapain tinggalin lantai dalam keadaan basah? Ceroboh itu nggak usah keterlaluan, Len!" selorohnya.

Alena memutar bola matanya malas seraya mengembuskan napas kasar.
"Tadi 'kan sudah dijelasin. Pengen boker. Nggak usah terlalu berlebihan gitu. Ucapan adalah doa yang tertunda. Mau doanya nanti kejadian beneran?" tantang Alena. "Lagian, dulu juga tante pernah gulintingan di lantai, dan masih hidup. Cuma kekilir sikit. Artinya, tante itu kuat!" Alena mengarahkan ibu jarinya pada Megie seraya tersenyum kaku. Padahal ia setengah mati menahan takut melihat raut wajahnya yang sudah memerah.

Rasa-rasanya Alena harus bisa dengan baik melayangkan hati tantenya ke atas awan supaya dia tidak marah berkelanjutan. Dan dengan kurang ajarnya, Alena malah tiba-tiba terkekeh geli ketika kilasan kejadian dua tahun lalu terputar di kepala. Saat itu, ia baru tiba di Jakarta—di rumah ini—belum dua jam duduk, sudah disodorkan pel-an. Kejadian itu pula yang membuat Megie tergelincir dari tangga ke lantai. Untung tidak mati.

Megie semakin geram di tempatnya sambil menahan sakit pada bokongnya. "Gadis Gila! Cepat beresin semuanya jangan bercong-cong saja mulut kau tuh, pusing aku dengernya." Sentaknya. "Belanjaan masih di depan. Sebentar lagi jam delapan, matahari sudah mulai panas. Jemur pakaian-pakaian. Buang sampah di kamar mandi atas dan bawah. Dan satu lagi, Dina minta dimasakin makanan favoritenya." Perintah Megie seperti suara Eminem sedang melantunkan lagu andalannya berjudul Rap God.

Alena mendengus pelan. "Banyak amat," Alena mengangkat kedua tangannya. "Ini tangan cuma punya dua, dikira aku bisa terbang urus semuanya." Protesnya sambil mulai menghela langkah bersiap meninggalkan. Mau tidak mau, tetap saja semua pekerjaan itu harus dilakukan.

My Cute Office GirlWhere stories live. Discover now