3

16K 633 16
                                    

Heningnya malam membuat Aisyah begitu larut dalam sholatnya. Ia angkat kedua tangannya tepat di depan dada dengan sesekali menghembuskan nafasku di sela-sela tangisannya. Lagi-lagi ia mengadu pada sang Ilahi.

"Ya Allah, aku selalu percaya pada janjimu bahwa pasangan hidup adalah cermin diri. Aku selalu percaya wanita yang baik akan mendapatkan lelaki yang baik dan begitu juga sebaliknya, sekalipun engkau uji wanita se-sholeh Asia dengan bersuamikan Firaun."

"Apa yang aku rasakan ini hanyalah sebagian kecil dari caramu untuk menguji ke imanku sebagai hamba yang tak luput dari dosa. Wahai zhat yang Maha pembolak balik hati insan, berikanlah aku kekuatan untuk mempertahankan rumah tangga ini dan menghadirkan benih-benih cinta dalam hatinya. Ya Allah, bantulah aku membawa pernikahan ini pada pernikahan yang engkau ridhoi sebagai keluarga yang sakina, mawadah, warohma."

Aisyah mengusap wajahnya, mengaminkan segala doa yang ia panjatkan. Ia berjalan mendekati Agung yang tertidur pulas, menatap wajah suaminya sekilas, lagi Aisyah melihat kerutan di dahi Agung.

"Mas, ayo bangun tahajut," ucap Aisyah pelan membangunkan.

"Dina, lima menit lagi." Kalimat pendek yang lagi-lagi melukai hati Aisyah.

~~~***~~~

Pagi menjelang, sebagaimana istri pada umumnya, Aisyah mulai menyiapkan pakaian kantor untuk Agung sebelum berkutat dengan alat dapur. Ia pernah mendengar ceramah bahwa sering-sering melihat suami dalam balutan pakaian yang di suaki istrinya akan meningkatkan keharmonisan keluarga karena seorang istri akan semakin mencintai suaminya.

Jika orang lain mengetahu permasalah rumah tangga Aisyah, mereka mungkin akan beranggapan ia bodoh melayani suami yang bahkan tidak ada cinta di dalam hatinya, namun sebagai istri keinginan berbakti itu begitu kuat, meski apa yang ia lakukan ini tidak akan mampu mengubah keadaan pernikahan mereka.

Aisyah menyadari itu tapi setidaknya ia telah berusaha. Aisyah pernah mendengar bahwa, setiap istri yang wafat dan memperoleh ridho oleh suaminya, maka ia akan masuk surga. Ia berharap baktinya pada Agung dapat memperoleh ridho dari laki-laki itu, meski tidak ada cinta dalam hatinya.

Aisyah menghapus air matanya, ia tidak ingin Agung melihatnya menangis. Ia tidak ingin menjadi wanita lemah yang patut dikasihani. Aisyah ingin mas Agung selalu melihatnya sebagai wanita yang kuat yang mampu menjadi penyokongnya dalam kondisi apapun, termasuk saat ini, ketika ia terpuruk kehilangan istri pertamanya.

Tatapan mata Aisyah tidak lepas dari Agung yang turun dari lantai atas. Ia harus menelan kecewa lagi, karena suaminya itu tidak memakai pakaian yang ia siapkan. Namun, dengan cepat Aisyah paksakan menyungingkan senyum menatap laki-laki itu.

"Mas, makan dulu sebelum kekantor!" seru Aisyah.

Aisyah menyendok nasi serta beberapa lauk untuk Agung. Namun, gerakkan tangannya terhenti saat kalimat tajam nan menyakitkan itu keluar dari bibir seorang laki-laki yang satu minggu lalu duduk di depan penghulu untuk mengucap janji dihadapan Tuhan.

"Berhentilah mencoba menjadi pengganti Dina, sungguh tidak akan ada wanita yang mampu menggantikannya," ucap Agung.

"Sungguh ... Sungguh tidak pernah terbesit dalam hatiku untuk menggantikan posisi siapapun. Sejak awal aku hanya wanita yang ingin menyempurnakan sebagian agamanya, bahkan akupun tak pernah tahu ada sosok Mba Dina dalam hidupmu. Namun, sebagaimana takdir yang telah tertulis dalam lauh mafuzh. Saat ini ...," ucapa Aisyah terhenti menahan tangis dan amarahnya.

"Aku adalah istrimu, maka dengan ikhlas aku menerimanya."

Air mata itu telah berkumpul di pelupuk mata Aisyah ketika semua kata - kata itu melunccur, memuat Agung tertegun.

Zaujati Where stories live. Discover now