Selepas Kau Pergi

34 3 3
                                    

"Mbak Din, ke mall yuk. Hangout gitu," ajak Raya padaku yang masih menatap layar komputer di depanku.

"Ga deh, Ya. Kerjaan lagi numpuk banget nih," elakku. Ya, akhir-akhir ini aku memang sering lembur karena pekerjaanku yang menumpuk semenjak partner kerjaku, Endah memilih untuk resign dari kantor.

"Duh, Mbak. Kapan senggangnya kalo begini mulu?" tanya Raya lagi. Aku hanya diam. Aku tahu, dia sedang mencoba membuatku mau mengikutinya hari ini. Tapi sayangnya, pikiranku masih penuh oleh berbagai list pekerjaan yang harus ku selesaikan bulan ini.

"Belom pulang, Ya?" tanya seorang perempuan yang lewat di depan meja kerjaku. Raya menggeleng kuat sambil melirikku.

"Yaelah. Lo nungguin si Dinda mau hangout sama lo? Sampe kiamat juga kagak bakalan mau. Duluan ya," ucapnya nyiyir di sebelah Hawa yang bekerja satu ruangan denganku.

Aku sendiri memilih untuk tetap diam, tak menanggapi apapun. Raya justru malah kelihatan salah tingkah. Mungkin dia merasa itu adalah salahnya mengajak aku keluar.

"Udah ga usah dipikirin. Udah biasa. Kamu pulang duluan aja," ucapku tenang sambil sesekali menatap wajah Raya yang hampir pucat. Mungkin dia merasa tak enak padaku.

"Maaf ya, Mbak," ujar Raya sambil memilin ujung kemejanya. Aku hanya bisa tersenyum tipis sebelum akhirnya Raya meninggalkanku sendirian di ruangan.

Ya, beginilah kehidupanku sebagai seorang Dinda Fredella yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan design yang cukup besar di Indonesia, terutama Jakarta. Sejak dua tahun kemarin, memang ada banyak omongan miring tentangku. Hingga dari yang dulunya hanya mencibir di belakang, sekarang sudah berani secara frontal. Tapi, aku mencoba maklum dan sabar. Karena bagaimanapun, semua cibiran itu datang karena sikapku sendiri.

Tanpa terasa sudah pukul 9 malam. Sudah waktunya untuk pulang ke rumah. Kantor sudah begitu sepi di jam-jam seperti ini.

"Baru pulang, Mbak?" tanya Pak Usman, salah satu satpam di sini.

"Iya nih, Pak. Baru kelar," jawabku santai sambil mengulas senyum.

"Pasti sibuk banget ya, Mbak? Apalagi abis Mbak Endah resign," balas Pak Usman kembali. Aku hanya tersenyum tipis. Ya, memang semenjak Endah resign, pekerjaanku jadi berlipat ganda.

"Ya gitu lah, Pak. Resiko kerjaan. Dinda pulang dulu ya, Pak," pamitku sambil terus berlalu. Sayup aku mendengar suara Pak Usman seperti membalas ucapanku. Tapi, ah sudahlah. Badan ini jauh lebih membutuhkan tempat istirahat.

Untungnya, tadi sore aku sudah memesan taksi untuk mengantarku malam ini. Dan itu membuatku sedikit tertolong untuk tidak menunggu terlalu lama. Aku langsung bergerak ke arah sebuah taksi yang baru berhenti beberapa detik di depanku.

"Dinda," panggil seseorang dari belakang. Spontan ku hentikan langkahku dan mencari sumber panggilan itu.

Dengan bantuan lampu dari pos satpam, aku bisa melihat sosok Kevin, pria yang menurut sebagian besar staff memiliki wajah yang tampan dengan tubuh tinggi semampai tengah berlari ke arahku.

Aku sedikit menautkan alisku dengan rasa heran. Apa yang membuatnya sampai berlari mengejarku?

"Kamu pulangnya sama aku aja. Lumayan kan, ngirit. Lagian searah juga. Ada yang mau ku obrolin juga," ujar Kevin dengan napas yang masih sedikit tersengal.

Sekali lagi alisku bertaut. Ada apa sebenarnya? Seorang Kevin yang biasanya diam, terutama pada perempuan, sekarang malah mengajakku berbicara dengan cukup leluasa? Bahkan mengajakku pulang bersama?

"Ga usah, Kev. Aku ga mau ngerepotin. Duluan ya," balasku saat kembali sadar.

Tanpa menunggu balasan apapun, aku langsung masuk ke dalam taksi dan memilih untuk segera pulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Selepas Kau PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang