Rindu Tingkat Dewa-Ookanehira x Uguisumaru

87 5 2
                                    


"Rindu itu lebih mematikan dari penyakit apa pun di dunia, apabila dibiarkan begitu saja menjangkiti hati dan pikiran. Kerinduan berat yang mencapai tingkat dewa, dapat menurunkan konsentrasi dan menghilangkan kesadaran."

.

.

Rindu menyengat di dada. Terasa sesak, panas, membuat Ookanehira ingin masuk ke dalam ember berisi air dingin dan juga es. Menunggu detik demi detik agar berlalu, terasa menyebalkan sekaligus mengesalkan.

Ditinggal dua hari dalam ekspedisi, Ookanehira dibuat mati perlahan karena merindu. Tak terbayang seperti apa dulu Uguisumaru yang menunggu kedatangannya setiap hari sembari digerogoti sepi yang menyusup pelan dan nakal ke dalam dada, memakan jiwa.

Abaikan Ookanehira yang datang-datang malah menanyakan Dojigiri. Bertanya sana-sini, tak menghiraukan sang kakak yang waktu itu dibuat patah (hatinya) berkali-kali. Ia memang berengsek dulunya. Untung Ookanehira sudah lama berubah. Dari bad boy menjadi good boy. Uguisumaru takkan salah pilih dalam mengarungi percintaan belok yang sedarah. Ookanehira ada di kualitas nomer satu dan selalu prima.

"Anija," Ookanehira uring-uringan. Tak tenang, tak bisa diam. Anija-nya kini entah ada di mana. Sudah makan atau belum. Dapat kehangatan dari mana, mendadak Ookanehira menjadi waswas sendiri saat memikirkannya. Higekiri yang selalu pura-pura amnesia, ada di urutan nomor satu dari semua orang tukang modus yang doyannya memodusi anija.

Yang boleh memodusi anija, hanya Ookanehira seorang. Yang lain jangan. Berani melanggar, akibat juga penyesalannya disilakan tanggung sendiri.

Kepengin Ookanehira terbang—entah ke mana—lalu tiba di hadapan anija-nya. Teh panas buatan Ookanehira tak pernah senikmat teh buatan anija. "Duh, kamu masih di mana?" Bertanya pada hening yang senantiasa menjadi jawaban. "Kenapa pula malam ini semakin terasa dingin saja." Merapatkan jaket, mengeratkan pelukan pada dada sendiri. Ookanehira duduk seorang diri di beranda kala malam meninggi, lalu bulan mulai tergelincir menuju dini hari.

Hari ketiga ditinggal Uguisumaru, Ookanehira kacau-balau—tak bisa mengurusi diri sendiri. Tidur meringkuk di depan teras kamar, berharap anija akan pulang lalu mengajaknya tidur bersama--karena mereka memang sekamar.

Bebunyian mistis abai dipikirkan. Tetiup nakal di tengkuk, Ookanehira hiraukan. Setan-setan nakal yang biasa ditebas oleh Nikkari, sana pergilah. Waktunya tak cukup jika harus digunakan antara merindu dan mengusir makhluk halus secara bersamaan.

Ia nekat bertahan, menunggu kepulangan anija dengan pinggang ramping yang tampak seksi dan enak didekap. Sekelebat pikiran nakal masuk dan menggerayangi seisi otak. Buru-buru pipi ditampar secara imajiner. Ookanehira tarik napas, lalu membuang pelan—meresapi proses in out dari oksigen dan karbondioksida di paru-paru.

Dari detik ke detik, warna jiwa Ookanehira senantiasa berubah. Dari rindu tingkat satu, menjadi tingkat dua, kemudian tingkat tiga, dan berubah menjadi rindu tingkat dewa. Rambut merah jingkrak diacak, gusar. Sudah pagi lagi, dan anija sayang belum juga pulang.

"Yagen, kauhabis dari gerbang?" Tempat para pedang berkumpul untuk sebuah perjalanan lintas dimensi, Ookanehira menyebut secara singkat sebagai gerbang. "Ada yang datang?"

Yang ditanyai geleng-geleng kepala, Yagen tak melihat ada yang datang. Pergi ke sana pun karena disuruh aruji, mengambilkan doujin-nya yang tertinggal. "Aku tak melihat siapa pun, Ookanehira-san." Wajah datar, bibir mengatup rapat. Tak mau mendengar pertanyaan-pertannyan lain, Yagen adiknya Ichigo itu pergi secepat kilat. Tak ada jejak paha mulus yang pernah lewat. Ookanehira kembali dibuat layu karena rindu tingkat dewa.

Anija pergi dan terlihat lupa kembali. Sesulit apa musuh yang dihadapi olehnya di zaman Restorasi Meiji? Harusnya ia, Ookanehira, pedang tampan namun bukan tenka goken, diutus untuk ikut pergi melaksanakan misi. Biar semua cepat selesai, dan Ookanehira bisa tidur malam yang nyenyak.

Semalaman tak tidur, kelopak mata mulai dibuai kantuk. Perlahan menutup, lalu terbuka kembali saat ia sadar kalau anija-nya belum pulang.

Futon dan bantal, takkan senyaman saat anija ada dalam dekapan.

Batuk-batuk, suaranya parau didengar. Tubuh disiksa meriang yang tetiba datang. Dari belokan koridor, Ookanehira melihat pasangan homo lainnya—Tsurumaru Kuninaga dan Ichigo Hitofuri—berjalan santai ke arah dirinya.

Beranjak bangun. Kaki bermaksud melangkah ke dapur. Perutnya lapar, dan harus diisi asupan. Baru selangkah jalan, kemudian gelap menguasai pandangan—Ookanehira dan rindu tingkat dewanya kini kalah oleh kesadaran yang hilang sepenuhnya.

***

Dingin meresap pada kulit. Meriang—panas dingin—menjilati nakal di hampir seluruh tubuh. Demam tinggi dan juga kurang nutrisi. Ookanehira divonis untuk tidur seharian dan makan semua masakan yang disiapkan oleh Mitsutada, berdasarkan instruksi dari Yagen—selaku tabib Citadel.

Pulang dalam keadaan lelah dan lecet di sana-sini, Uguisumaru dibuat kena serangan panik saat tahu bahwa adiknya yang takkan bisa ditempa ulang kalau patah itu kini pingsan. Terbaring pasrah dan lemah dengan handuk basah menempel di kening.

Ookanehira adalah pedang yang gagah juga perkasa. Uguisumaru sudah membuktikannya sendiri, berulang kali. Ekhem, maksud dari kalimat sebelumnya, tolong jangan diartikan secara liar. Jika Ookanehira sampai tumbang, pastinya adalah hal yang gawat.

"Jadi adikku ini kenapa, Yagen?" Wajah cemas terpeta, kentara. "Dia busung lapar? Atau kurang kasih sayang?"

Pertanyaan si hijau ramping, melantur ke mana-mana. Yagen tetap dingin tak terusik, sedingin es batu milik Hasebe. Menaikkan bingkai kacamata kemudian fokus pada salah satu tachi milik aruji.

"Ya, hampir benar. Ookanehira-san menolak makan dari tiga hari lalu. Ia kurang asupan nutrisi dan sepertinya, kurang kasih sayang dari anija-nya," ucap Yagen, tetap datar. "Ke-homo-an kalian adalah yang paling tersohor di Citadel, adikmu ini sepertinya memang kurang kasih sayang selama tiga hari ini."

Megap-megap, sulit bernapas. Uguisumaru kelimpungan untuk menjawab semua pernyataan dari Yagen. Bajunya mendadak terasa sesak—bukan di bagian celana. Adiknya Ichigo, memang berbisa semua. Sebagai contohnya, Yagen yang mulutnya tak pernah difilter. Bikin Uguisumaru terdiam, kehabisan kata.

"Terima kasih, Yagen. Aku akan membuat dia makan semua makanan ini dan juga menghabiskan obatnya."

Mengangguk sekali, Yagen pergi keluar. Meninggalkan dua pedang tampan yang kini berada di dalam kamar. Ookanehira masih tidur dengan napas satu-satu, terdengar berat. Mencelupkan handuk ke dalam baskom berisi air, sekali lagi Ookanehira dikompres keningnya.

Membuang napas, lelahnya berganti gusar. Uguisumaru tak biasa melihat Ookanehira terbaring pasrah lemah seperti ini. Hijau lembut menatap, meneliti semua pahatan wajah. Terlalu tampan. Jemari bergerak menelusuri garis rupa, dari kedua alis, kemudian menuju hidung bangir. Lalu rahang tegas dan berakhir di bibir merah pucat.

"Hei, bangun. Aku sudah pulang. Kata Yagen dan Tsurumaru, Ookanehira menungguku mati-matian hanya karena aku pergi tak bilang-bilang." Kepala menunduk, menyejajarkan wajah dengan si rupa tampan. Mengecup bibir kering dengan pelan. Berharap adik sekaligus kekasihnya terbangun, seperti di dalam cerita-cerita romansa.

Ajaib, Ookanehira terbangun walau mata masih sayu. Mendekap posesif si hijau ramping, "Hei, kaubetah sekali di sana. Jangan-jangan ada yang baru."

"Aku pulang cepat ini. Haruskah aku pergi lagi?"

"Jangan!"

Terkekeh, kadang tsundere-nya Ookanehira memang menggelikan. Bilang rindu saja, sulitnya minta ampun. Berbelit-belit dan banyak persimpangan. Namun, untung Uguisumaru paham.

"Tadaima."

"Okaeri," setidaknya Ookanehira sudah setingkat lebih dekat untuk sembuh dan tak lagi demam.

-Owari-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 02, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ficlet(s)-Touken RanbuWhere stories live. Discover now