AWAL

132 17 46
                                    

"Rudy! kamu yakin?" Tanya Merdi seakan tak percaya.

"Aku sudah mengirim CV-nya." Rudy menjawab setengah lega.

Merdi mengerjap tidak percaya, entah apa yang ada dipikirannya, sontak dia berdiri memilin dahinya dan berkacak pinggang. Terkejut tak percaya.

"Aku sudah yakin Mer," Amarul Rudy menegaskan. Dirinya begitu mantap untuk menikah. meskipun berbagai hal yang rumit akan dihadapinya seperti gunung es.

Keterkejutan Merdi bukannya tidak beralasan. Sahabatnya, Rudy yang baru genap 23 tahun tiba-tiba ... " Ah ini sudah tak habis di akal," Sergah Merdi.

"Merdi, dengarkan. Aku sudah mantap. kau tahu aku seperti apa, dulu, ketika aku melihat gadis-gadis, imanku selalu goyah. Sekarang aku sudah memerbaiki diri selama satu tahun, memang ketika aku melihat mereka aku tak lagi sudi menatap mereka yang memamerkan tubuh mereka. Namun justru setiap kali aku lewat di depan perempuan-perempuan yang hadir kajian di Masjid-masjid, justru mataku kabu dan selalu merasa jatuh cinta. Padahal kebanyakan mereka bercadar dan berkerudung panjang," jelas Rudy.

"Itu karena standar kamu naik! Mata kamu memang tak bisa digoda oleh setan dengan standar lama. Sehingga setan membuat perempuan bercadar begitu indah di matamu. Aku juga!"

"Justru itu aku tak mau tergoda." Rudy menangkis.

Apa yang dilakukan Rudy memang terlalu dini, setelah mengirimkan CV-nya di program taaruf, Rudy enggan membatalkannya. dia tidak ingin imannya hancur.

Namun setelah perdebatan ini, hati Rudy mulai gundah gulana. Rasa bersalah entah darimana mulai berbayang di benaknya. Seusai Merdi berucap salam dan pergi, dia hanya terduduk. Diam dan termangu.

"Pernikahan bukanlan suatu yang main-main, babak baru hidupmu akan ditentukan usai pernikahan, bagaimana kamu bisa menikah muda, tetapi kamu masih bingung terhadap apa yang hendak kamu lakukan..."

Ucapan itu terngiang. Ucapan dari seseorang.

Rudy bersigera membuka laptopnya dan membuka halaman taaruf, wajahnya terkesiap tak percaya.

***

Rudy berjalan perlahan keluar dari tempat kerjanya. Matanya sayu seusai apa yang dialaminya kemarin. Dirinya sudah melangkah, dan dirinya telah patah arang dengan hatinya yang lembayung. Ditepisnya rasa ragu itu, beralih keinginan kuat demi menjaga kemurnian dirinya. Tubuhnya pun menepi di sebuah resto pinggir jalan karena saat itu bumi dirundung hujan.

Semalam, mediator taaruf mengatakan pada dirinya, bahwa Rudy harus segera menyiapkan pertanyaan-pertanyaan apa yang perlu ditanyakan pada perempuan yang telah mengajukan taaruf pada dirinya setelah menelisi profil perempuan tersebut. Dia adalah perempuan pertama yang mengajukan hal itu padanya, padahal di saat itu dia dirundung keraguan untuk memilih dan mengajukan taaruf pada beberapa perempuan yang ada di media taaruf tersebut.

Pertanyaan pertama:

Simpel, " Siapa namamu?" Tak disadari Rudy justru grogi sampai-sampai dia berbicara sendiri sambil menghadap kaca tembus pandang.

"'Nama kamu siapa? Apa maknanya?' akh terlalu ridiculous," dia menggerutu.

"Nama kamu siapa?" Rudy kembali berlatih.

"Dania bang..." jawab seorang perempuan berkerudung dengan celemek coklat dibelakangnya.

Rudy terkesiap. Rona merah di wajahnya tidak mampu ditanggulangi. " Sejak kapan mbak di sini?" tanya Rudy meminimalisir rasa malu.

"Saat mas datang, saya langsung menghampiri mas tadi, terus mas tanya-tanya gitu...." ujar pelayan itu polos.

Rudy menarik nafas dan mengeluarkannya, " Maaf." Rudi terdiam beberapa detik, " saya pesan coklat hangat," ujar Rudy singkat.

We 2Where stories live. Discover now