2. Ikut festival

8.6K 658 152
                                    

Arin menutup buku yang barusan ia baca dengan kasar, ia menghela nafas, kemudian menidurkan kepalanya diatas meja. Tatapan gadis itu kosong. Hari ini, Arin sedang merindukan seseorang. Seseorang yang sudah menjalin hubungan dengannya sejak kelas dua SMP, sampai saat ini. Tapi, lebih tepatnya sampai beberapa bulan lalu.

Setelah memutuskan orang yang Arin anggap spesial itu, rasanya ia sangat menyesal. Sesuatu yang mengganjal didadanya, terus terasa. Gadis itu memegang dadanya sendiri dengan tangan kanannya, ia menghelusnya pelan, sesekali bersumpah pada dirinya sendiri untuk tetap kuat.

"Aih," Arin melengos. Perlahan, gadis itu memejamkan matanya. Berharap ia bisa bermimpi, dan bertemu dengan seseorang yang ia rindukan saat ini dialam mimpi. Ya, semoga saja.

Bukannya malah tertidur, kini Arin justru malah menumpahkan air matanya. Ia menegakkan lehernya, sambil membuka matanya perlahan. Yang benar saja, sekarang matanya memerah, dan berkaca-kaca. Pipinya mulai basah. Bodoh sekali, untuk keberapa kalinya ia harus menangis seperti ini karna merindukannya? Sungguh, ia lebih terlihat seperti orang lemah yang tak punya prinsip hidup.

"Ah! Gak tahan!" Gadis itu berteriak. Untung saja saat ini kelas yang ditempatinya sedang sepi, jadi ia bisa puas berteriak. Arin mengambil handphone-nya yang terdapat didalam tasnya. Sebelum itu, ia terdiam sejenak untuk berpikir. Untuk apa ia mengambil handphone?
"Gue telfon dia gitu?" Pikir Arin.

Ia menggelengkan kepalanya, kemudian memasukkan kembali handphone-nya kedalam tas.

"Malu banget gue, kalo tiba-tiba telfon dia. Keliatan banget gue sengsaranya gara-gara gak ada dia, hhh. Eh, tapi emang sengsara sih, ahh tau ah!" Arin mengacak rambutnya, dan kembali menidurkan kepalanya diatas meja.

"Rin? Lo gak apa-apa?" Seorang pria tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas. Kedua matanya tersorot pada Arin tengah frustasi itu. Brian, pria yang dimaksud langsung berjalan menghampiri Arin. "Eh? Lo nangis? Kenapa?" Raut wajah Brian seketika berubah menjadi panik, melihat kedua mata Arin yang dibanjiri air mata.

Tentu saja, gadis itu langsung menggelengkan kepalanya seraya menghusap air matanya.

"Lo gak jelas deh, akhir-akhir ini suka nangis," gumam Brian yang tatkala masih menatap Arin. "Nangisin apa lagi sih? Jae? Mantan lo itu? Lo kangen sama dia? Ajak ketemuan lah, ngapain nangis gak jelas gini. Gue gak suka!" Omel Brian.

Arin hanya bungkam dan menundukkan kepalanya, memang Brian yang telah menjadi sahabatnya ini selama tiga tahun, sangat sensitif bila melihatnya menangis. Bagi Brian, rasanya sangat berat bila melihat seorang gadis sedang menangis.

Brian berdecih, kemudian ikut menghusap air mata Arin yang terus menerus mengalir membasahi pipinya.
"Gak usah nangis lo, malu tau gak! Udah kelas tiga SMA, tapi kelakuan masih kayak bocah kelas lima SD?."

Bukannya malah diam, justru Arin tambah menangis, sehingga suara isakan tangisnya terdengar hingga keluar. Brian melebarkan matanya, begitu terkejut dan panik saat Arin malah tambah menangis.

"Eh eh, Rin. Kenapa jadi tambah kejer sih nangisnya, aduh woy!" Brian berusaha menenangkan Arin, meskipun wajahnya kini  terlihat dua kali lebih panik. "Duh, Rin. Astaghfirullah, jangan nangis," cowok itu masih berusaha membuat Arin agar berhenti menangis.

"Jae---" kalimat Arin langsung terpotong seketika, karna Brian yang langsung mendekapnya didalam pelukan. Membuat si gadis itu sukses bungkam dari tangisannya. Aroma parfum baju Brian yang khas, terus terasa dan memberinya sebuah ketenangan. Hati Arin yang tadinya sangat kacau, langsung menjadi tenang dalam sekejap saat Brian memeluknya.

"Jangan nangis lagi, oke?" Ujar Brian.

Arin tidak berkutik sama sekali. Ia masih melongo dipelukan cowok itu.

Mantan Where stories live. Discover now