7. Ciuman Pertama

735 148 29
                                    

Tahun 2006

“Sudah, belum?” teriak Shakila dari luar pintu. Ia sedang menemani Valerie ke kamar mandi karena ia alergi sari laut jenis tertentu hingga muntah-muntah dan diare ringan.

“Bentar lagi, udah mau selesai kok,” sahut Valerie.

“Aku buka, ya?”

Terdengar gemuruh seperti suara toilet yang disiram otomatis dari dalam, membuat Shakila membuka gagang pintu dari depan. Ia bukan bermaksud mengintip, tetapi ia khawatir jika kondisi sahabatnya memburuk lalu terjadi sesuatu di dalam kamar mandi. Valerie terlihat sedang membasuh mulutnya dengan air minum kemasan dan berkumur-kumur untuk membersihkan sisa muntahan di rongga mulut.

“Gimana? Udah enakan? Mau minum obat atau teh panas?” tawar Shakila. Ia tampak begitu khawatir melihat sahabatnya terlihat pucat dan tak berdaya. Sama sekali tidak terkesan seperti Valerie yang garang dan judes seperti biasanya.

“Nggak usah, kayaknya udah kosong juga perutnya. Nggak ada yang bisa dikeluarin lagi.” Valerie bersandar di dinding kamar mandi yang dingin, membiarkan sahabatnya mengusap tengkuk dan lehernya dengan tisu yang sudah disiapkan sejak awal, untuk menghapus jejak-jejak keringat dingin.

“Mau permen?”  setelah puas melihat seluruh wajah Valerie terlihat kering, Shakila merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan beberapa butir permen rasa karamel. “Biar nggak pahit mulutnya.”

Valerie membuka mulut dengan pasrah, Shakila membuka dua bungkus sekaligus dan menyuapkan padanya. Shakila tahu betul kebiasaan Valerie yang tak pernah makan sebungkus dalam sekali suap. Setelah mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaga yang terkuras karena dipakai muntah, mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran. Tante Diana menyambut anaknya dengan cemas. Beliau menarik sebuah kursi terdekat untuk Valerie duduki.

“Masih lemes, Nak?” tanya beliau. Valerie menggeleng. “Kamu tadi makan apa aja, kali aja kita bisa cari tahu penyebab alerginya?”

Valerie mengangkat tangannya dengan jemari yang direntangkan. “Kerang hijau yang gede-gede dua biji, kerang dara satu sendok—nggak tahu ada berapa biji, scallop sepotong, capit kepiting dua, perut kepiting setengah soalnya setengah lagi dimakan sama Kila, cumi goreng tepung seporsi, sama udang saus padang satu piring.”

Tante Diana tampak pias mendengar pengakuan anaknya. “Kayaknya Mama tahu, kamu mual bukan keracunan makanan tapi kebanyakan makan.”

Dari kejauhan, Tadakara tampak beringsut mendekati mereka sambil membawa sebuah kelapa muda yang masih hijau. Dengan malu-malu ia menyerahkan kelapa tersebut untuk Valerie, lalu kabur tanpa menjelaskan apa-apa. Shakila dan Valerie sampai saling bertukar pandangan keheranan melihat gerak-gerik anak itu.

Tadakara seumuran dengan Divyani, tetapi Valerie sudah lama menaruh curiga jika anak itu mengalami gangguan tumbuh kembang atau apa, karena ia selalu bertingkah tidak sesuai usianya. Di saat Divyani yang kelas 5 SD sudah jago menguping gosip antar ibu-ibu dan menyebarkan untuk kakak-kakaknya, Tadakara terkadang menatap dengan pandangan kosong ketika diajak mengobrol. Sayang sekali, padahal Tadakara semestinya memiliki segala potensi dan kecerdasan yang dibawa dari Om Gun dan almarhumah istrinya.

Istri Om Guntoro meninggal karena keracunan kehamilan, begitu yang Shakila dengar dari Divyani. Beliau bekerja di salah satu lembaga pemerintahan yang ingatan kanak-kanak mereka tak cukup jeli untuk memahami. Intinya, beliau seorang PNS dan selama proses kehamilan Tadakara, beliau bekerja dengan aktif sampai kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Sepeninggal sang istri, Om Gun harus menjadi orang tua tunggal dan beliau mengobati rasa sepinya dengan mendaftar pendidikan dokter spesialis, sehingga peran mengasuh anak hampir seluruhnya ditangani oleh kakek nenek Tadakara dari pihak Om Gun. Mungkin karena itu, Om Guntoro terlambat mendeteksi proses tumbuh kembang Tadakara pada masa keemasannya, sehingga Tadakara menjadi anak yang seperti itu sampai sekarang.

Two Peas In A Pod √Where stories live. Discover now