AKU BOSAN.
Yang kulakukan dari tadi hanyalah duduk, diam, menjawab ketika ditanya, scroll timeline, scroll notification, atau apa saja yang bisa membuat waktuku habis dengan cepat. Aku mendecak pelan,
Kenapa gue harus ikut kalau gak penting gini sih? lebih baik tidur dirumah.
Aku tidak mengerti jalan pikiran mama. Kalau hanya untuk didiamkan seperti ini, apa gunanya? Aku mematikan handphoneku mencoba mencari kesibukan lain. Bisa kubilang tante Dian bukanlah orang biasa, Ia pasti orang-orang kalangan atas. Selain rumahnya yang seluas lapangan bola—sebenarnya tidak seluas itu, hanya aku yang melebih-lebihkan—perabotan di dalam rumah pun merupakan barang pilihan. Guci yang berjejer dengan warna dan bentuk yang berbeda, kursi dan meja dari kayu terlihat mengilap benar-benar berkelas, lampu kristal berwarna keemasan, karpetnya yang lembut, sebuah meja panjang yang diatasnya berjejer souvenir dari penjuru dunia, dan masih banyak hal menarik lain yang akan membuatmu langsung jatuh cinta dengan rumah ini.
Astaga! Kalau ini rumah gue, gue pasti gak akan lama-lama di sekolah!
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar namaku dipanggil. Tante Dian dan mama menatapku dengam dua pandangan yang berbeda. Tante Dian dengan tante-menunggu-jawaban-kamu-kei sementara mama dengan pan—ah sudahlah tidak usah dijelaskan lagi.
"Nng.. Ya?" kataku yang lebih seperti pertanyaan.
"Tadi tante Dian tanya Kamu suka makan apa Kei," mama menjelaskan dengan wajah kesal karena aku tidak mendengarkan dan bisa kupastikan itu bukan sifat anak manis yang dia inginkan.
"Kei suka nasi goreng tante," jawabku tersenyum ke tante Dian. "Maaf ya tante, tadi kei cuma agak capek saja," aku merasa tidak enak dengan tante Dian karena tidak mendengarkan pertanyaannya. Aku memang benci dengan pernikahan yang selalu mama bicarakan tapi bukan berarti aku membenci tante Dian—malah aku menyukainya—karena selain ini tidak ada hubungannya dengan dia, tante Dian juga sangat baik.
"Duh maafin tante ya, Kei? Kalau bukan tante yang ajak mama kamu ketemu hari ini, pasti kamu bisa istirahat. Kei mau tidur dulu sebentar?" tante Dian memandangku dengan khawatir.
Aku tersenyum sopan, "Gak apa-apa, tan."
"Tunggu sebentar lagi, ya? Harusnya Ivan sudah datang Kei. Gak tahu tuh dia keluyuran ke mana dulu."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan tante Dian, yang kemudian balas tersenyum dan kembali mengobrol dengan mama.
Kalau perlu Ivannya gak usah pulang saja sekalian, tan! Siapa juga yang mau ketemu dia?
Senyumku bukan berarti aku ingin bertemu dengan Ivan. Diam-diam aku menghela nafas. Aku suka rumah ini tapi lebih baik aku pulang secepatnya sebelum si Ivan itu pulang. Aku tersentak saat mendengar suara pintu dibuka lalu ditutup. Beruntung posisi sofa yang aku duduki membelakangi pintu depan jadi aku tidak perlu melihat sosok yang baru saja datang.
"Ivan! Kamu dari mana saja? Bunda kan sudah bilang pulang ya langsung pulang!" tante Dian menatap sosok—Ivan—yang tidak jauh berada di belakangku.
Oh shit. Ivan sudah pulang.
"Ivan kan gak janji bun," suaranya berat dan terdengar menjengkelkan. Suaranya saja menjengkelkan apalagi orangnya? Aku bahkan terlalu malas untuk menoleh melihat Ivan.
"Ivan, jaga omongannya! Ada Ibu Farah, Gak sopan tahu!" tante Dian memarahi Ivan dari tempat duduknya.
HAHAHA, Bagus tante!
"Sore tante" Ivan menyapa mama dengan nada datar, ia mengacuhkan omelan dan tatapan kesal tante Dian. Kudengar langkah kaki menjauh yang berarti Ivan akan pergi dari ruangan ini. Aku tersenyum senang mengetahui fakta ini tapi apa yang dikatakan tante Dian melunturkan senyumku.
"Kamu mau kemana? Ini ada Kei sudah capek nungguin kamu daritadi, kamu malah main pergi aja."
Shit.
"Siapa?" Langkah kakinya terhenti. Aku tidak siap untuk bertemu dengan Ivan. Tidak, bukannya aku takut. Hanya saja aku tidak suka dengan dia, apalagi dengan suaranya yang berat dan dapat ku asumsikan umurnya sekitar 20 tahun keatas. Mama benar-benar ingin aku menikah dengan om-om. Haruskah aku memanggilnya om Ivan?
"Kei, Ivan! Kiara Savira, bunda kan sudah sering bilang!" aku terkikik geli mendengarnya. tante Dian terlalu larut dalam perdebatan ini sampai tak sadar aku dan mama ada di sini. Yah, setidaknya aku tahu bahwa aku dan si om punya perasaan—acuh satu sama lain tentu saja, memangnya kalian berharap apa?—yang sama.
"Oh"
"Kalau gitu kamu temenin Kei melihat-lihat rumah kita gih, Van. Kasian Kei daritadi duduk disini ga kemana-mana."
Dan kata-kata tante Dian membuatku terdiam.
***
sorry for the short chapter! Jadi kalian lebih suka chapternya panjang gitu atau yg pendek kayak.gini? dijawab yaa:)
ditunggu vote dan commentnya!
xx dai
KAMU SEDANG MEMBACA
Highschool Marriage
Teen FictionAku menyayangi mama dan tidak pernah membantah,tapi menikah? yang benar saja! Mama pasti sedang bercanda, kan? Walaupun aku pernah berkata ingin nikah muda, bukan berarti Ia harus menikahkanku di umur 16 tahun! terlebih lagi dengan kakak kelasku sen...